Menerjemahkan Sebuah Karya Sastra

November 08, 2017


Beberapa hari belakangan, saya berjanji hanya akan membaca lebih banyak karya-karya Borges, Kafka, dan bila memungkinkan, Etgar Keret. Penulis-penulis yang saya kagumi, dan bila selagi saya belum memiliki salah satu buku novel dari karya mereka, setidaknya saya harus membaca beberapa cerita pendek mereka. Itulah yang terjadi, akhirnya saya lebih dahulu membaca beberapa cerita pendek karya mereka. Tentu dengan rasa was-was, terlebih tak banyak cerpen mereka yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dan entah mengapa, saya lebih senang membacanya ketika masih menjadi mentahan bahasa Inggris, was-was sebab takut-takut saya salah mengartikan pemaknaan kisah-kisah itu. Tak terhitung berapa banyak orang yang mencoba memahami pola pikir penulis semacam Kafka, dan Borges. Namun tetap, pembaca adalah hakim bagi segala hal yang masuk ke dalam pikirannya, tentu sama sekali tak akan pernah merubah pemaknaan dalam sebuah karya.
Beberapa karya membuat saya sedikit pusing tentu saja. Bahkan beberapa dibuat termenung apa yang sebenarnya mereka maksud dengan cerita pendek, saya pernah membaca Albert Camus, atau bahkan Pramoedya. Tapi lebih jauh lagi, kisah-kisah racikan Borges dan Kafka (contohnya), adalah kisah yang bermuatan lebih luas. Terkadang akan terlampau panjang di jabarkan secara harfiah, kadang hanya beberapa paragraf — Kafka bahkan dalam the Trees hanya membuat dua hingga tiga baris kata — dan tentu saja, itu membuat saya terpacu untuk membaca karya-karya mereka. Bukan karena aspek kisah atau semacamnya, tapi lebih kepada apa yang ingin disampaikan si penulis kepada para pembaca, bahkan dengan hanya tiga baris seperti di the Trees. Tentu penulis tak akan main-main, dalam sudut yang sempit beberapa kali saya mengikuti teknik itu, hanya untuk sekedar coba-coba, tidaklah gampang, harus ada substansi dari apa yang terkandung di dalamnya dengan muatan yang akan terbentuk di teather of mind para pembaca tentu saja. Sebab salah-salah, yang ada hanya pembaca akan menganggap tulisan super pendek yang kita buat hanyalah sekedar guyon tak penting belaka. Tapi itulah yang terjadi dan akhirnya saya mengerti, beberapa rumor mengatakan Kafka dan Borges adalah penulis-penulis yang gemar filsafat, dan sepertinya itu mempengaruhi banyak dari karya-karya mereka, bahkan bila tak salah the Metamorfosis juga salah satu korban penjajahan filsafat pula.

Hingga satu hari akhirnya saya mencoba memutuskan untuk menerjemahkan beberapa cerpen mereka-mereka yang saya sebut di bait pertama barusan. Dan ya, cukup sulit, sebab harus lebih hati-hati karena cerpen-cerpen mereka layaknya esai dalam bungkus yang alih-alih short stories. Tapi itulah tantangannya mungkin, sebab — khususnya Kafka — tak banyak yang bersedia menerjemahkan karya tulisnya ke dalam bahasa Indonesia, kecuali hanya beberapa orang saja, dan itu telah dibukukan. Hingga beberapa cerpen harus saya kumpulkan dari berbagai sumber, dan kebanyakan adalah bahasa Inggris yang baku dan penuh metafora tentunya. Butuh waktu lama pula untuk mengartikan beberapa kata yang janggal dan tak wajar, bagi saya. Sebab bagi saya semakin ringkas sebuah kisah, akan semakin ringkas pula kata-kata yang diperlukan dalam proses menulisnya, dan mungkin itulah yang dirasakan penulis-penulis ini. Meringkas dengan segala metafora yang ada — sebab dengan itu lah mereka tak hanya menyusn kata-kata yang berkaitan jalan dan kisah, namun juga harus membuat apa yang ingin disampaikan harus bisa tersampaikan.

Namun tidak akan dapat disangkal, karya yang diterjemahkan mungkin akan mempunyai cara menyampaikan kisahnya masing-masing, tergantung pada gaya kosakata si penerjemah itu sendiri. Dan itulah yang diminimalisir oleh “kehati-hatian”, walaupun akhirnya, apa yang akan disampaikan telah tersampaikan dalam bentuk bagaimana, pembaca yang memutuskan. Bagi saya, menerjemahkan karya-karya mereka adalah sebuah pelajaran menulis yang teristimewa, sebab dengan itu kita dapat memahami pola pikir para penulis disaat mereka menuliskan apa yang sedang kita terjemahkan sekarang ini. Benar kata Eka Kurniawan di dalam sebuah jurnalnya tempo lalu bahwa dengan menerjemahkan karya sastra kau sekaligus bisa belajar menulis langsung pada penulisnya, sebab kau juga akan bisa merasakan bagaimana menjadi seorang Borges, saat menulis Borges and I, atau menulis sebagai Kafka, yang menulis The Street Window, atau seorang Marquez, kala menulis esai pertemuannya dengan Hemingway.

You Might Also Like

0 komentar