Noé Gaspar, Sebuah Koreksi Terhadap Sinema Masterpiece Hollywood

November 09, 2017


Satu hari saya mencari-cari tentang sebuah film yang pernah di share oleh seorang kawan di akun sosial medianya, berjudul “Dans ma Peau”, sebuah film thriller psikologis tahun 2002, tentang seorang wanita karir yang mengidap “candu” dengan menguliti dirinya sendiri setelah pada satu malam di tengah pesta, ia mengalami kecelakaan. Dan belakangan saya baru tahu jenis kelainan kejiwaan semacam ini namanya adalah “masokisme”, sebuah penyakit kejiwaan yang menyebabkan seseorang memiliki keinginan untuk meraih kesenangan dengan menyakiti dirinya sendiri, dan saya rasa Dans ma Peau termasuk salah satu yang mengangkat tentang hal itu.

Hanya saja, setelah saya menonton film itu, saya menjadi lebih candu lagi untuk menguliti segala hal mengenai film thriller sinema Prancis di awal tahun 2000-an, dan disanalah saya berkenala dengan Noe Gaspar, nama yang tidak asing, sebab beberapa kali saya pernah mendengar namanya di kelas mata kuliah di kampus saya, walaupun tidak pernah ada dosen yang lebih jauh membahas sosok ini. Nyatanya, keinginan saya mengulik karya-karya sinema buatan Noe, dilatari, pada satu artikel — dan saya lupa artikel dimana — bahwa sebuah genre baru buatan para kritikus bertajuk “French Extrimity Wave”, sebuah gelombang gejala aneh di awal tahun 2000-an dimana, banyak filmmaker sinema Prancis, yang mendadak menjadi kecanduan dengan adegan-adegan vulgar, dan penuh kekerasan. Dan konon yang memprakarsai mulainya gelombang sinema yang tak wajar ini, adalah sosok Noe Gaspar, di tahun 1998 atau diakhir abad dua puluh, dengan film yang berjudul Seul Contre Tous (1998), dan ya seaneh konon kabarnya, film ini memang penuh dengan narasi, dan alur yang tak wajar menurut saya.

Hanya saja, filmnya yang ditahun 2003 lebih lagi menarik perhatian saya, dan masih terbayang-bayang hingga sekarang, dan mungkin menjadi titik balik diri saya yang sejak dahulu tak pernah gemar mengamati perkembangan sinema prancis — walaupun saya sering diajarkan oleh siapapun di kampus, bahwa prancis adalah awal mula sinema sesungguhnya — sebab banyak dari film-film mereka terlalu menonjolkan hasrat sex yang berlebihan, mungkin terlepas dari kebijakan negara yang liberal, itu mempengaruhi, mungkin.

Judulnya, Irreversible atau jika diterjemahkan, “sesuatu yang tidak dapat dirubah”, awalnya aku menganggap film ini adalah drama dengan alur pelan yang mendayu-dayu. Namun ternyata salah, film diawali dengan kamera yang berputar-putar memperlihatkan sebuah apartemen kecil yang dihuni oleh beberapa orang, salah seorangnya adalah pria tua yang  bercerita bahwa ia pernah memperkosa si anak gadisnya di masa lalu, satu lagi kawannya hanya terduduk mendengarkan curhatan si pria tua di atas dipan. Hingga akhirnya ada beberapa orang dibawa keluar dengan luka lebam dan darah bercecer kemana-mana menuju ambulance dari sebuah klub malam di dekat apartemen si pria tua itu. Dan disinilah kegilaan konsep terjadi: sebab segalanya berjalan mundur, dengan transisi satu act ke act yang lain adalah bukan cut biasa, melainkan kamera yang berputar-putar ke arah langit yang satu kali hanya kosong melompong, atau atap-atap gedung di sebuah malam di jalanan prancis, dan saya ingatkan lagi bahwa segalanya di film ini berjalan, “mundur”, bukan flashback seperti film-film mainstream, tapi “mundur”, dan benar-benar mundur. Hingga film diakhiri adegan awal, atau scene awal film yaitu sepasang kekasih yang tengah bercinta di sebuah kamar — ditambah dengan metafora si gadis yang tengah hamil, dan berdiam di satu taman dengan banyak anak-anak kecil yang bermain disekitarnya.

Terlepas dari genrenya, siapapun jelas akan menyangkut pautkan hal ini dengan karya di dua tahun sebelumnya milik Christopher Nolan, yaitu Memento di tahun 2000, yang dianggap banyak orang dan bahkan kawan, serta dosen-dosen saya, sebuah masterpiece sinema. Namun apapun itu saya kurang setuju dengan mereka, entah ini sentimen antara prancis-hollywood, atau hanya sekedar adopsi yang ingin dioptimalisasi. Hanya saja, jika boleh memilih, Noe Gaspar, benar-benar memaksimalkan segala potensi, reverse chronology, yang saya anggap tak optimal di film Memento arahan Nolan. Jelas siapapun akan merasa bahwa Memento mengandung sidikit unsur memanjakan penonton untuk hanya sekedar film eksperimental gaya industri. Masih kalah ketimbang David Lynch yang berani menyiksa penontonnya demi membuahkan sebuah art cinema di industri hollywood. Dan selalu berhasil.

Jelas dibanding Memento yang masterpiece itu, Noe dengan Irreversiblenya berhasil menuntaskan segala ke-gregetan gaya penceritaan mundur yang dimaksud Nolan yang sempat mengecewakan saya ketika menonton Memento pada satu malam, sebab walaupun alih-alih dengan konsep alur mundur, justru malah jatuh di konsep flashback, dan itu selalu membuat saya ingat film Donnie Darko beberapa waktu sebelumnya. Namun bukanlah sebuah kesalahan Nolan tak memaksimalkannya, sebab bagaimana pun penonton harus mengerti jalan cerita pula jika menonton sebuah karya film (walaupun itu sebuah eksperimental film), lagipula Nolan nampaknya tak terlalu berhasrat untuk menciptakan film yang membingungkan seperti Lynch di masanya, dan itu wajar-wajar saja, setiap seniman akan selalu ingin karyanya dapat dipahami oleh penonton yang bagaimanapun adalah apresiatornya, dan itu bukan lah sebuah kesalahan apalagi kecelakaan fatal yang dilebih-lebihkan.

Hanya jika boleh berpendapat, saya lebih menganggap Noe Gaspar lebih berhasil mengembangkan konsep reverse chronology, ketimbang Nolan. Dan ya, Irreversible akan selalu diingat sebagai sebuah karya yang menjadi pemuas hasrat penasaran bagi siapapun mereka yang selama ini memendam rasa gregetan — sebab kurang berasa — dengan gaya film Memento dua tahun sebelumnya.

You Might Also Like

0 komentar