' Jatuhnya Kekaisaran Roma, Perlawanan Para Indian di Tahun 1881, Invasi Hitler ke Polandia, dan Ketika Angin Sedang Mengamuk. ' - oleh Haruki Murakami

Desember 10, 2017

Aku baru sadar, bahwa di luar sana angin rupanya bertiup sangat kencang pada suatu senja di hari Minggu. Atau lebih tepatnya, pada jam tujuh sore lewat dua menit.

Pada saat itu, seperti yang aku lakukan — dan memang selalu aku lakukan setiap senja pada hari Minggu, yaitu — aku duduk di meja makan di ruang dapur, mendengarkan beberapa musik di minggu ini, yang sebelumnya sudah aku tulis daftarnya di dalam buku harian. Dan tak hanya itu, aku pun juga sedang membiasakan diri untuk menuliskan setiap kejadian yang telah aku alami sepanjang satu minggu ini. Dan akan ku tulis semuanya di buku harian setiap hari Minggu.

Aku baru selesai menulis sepanjang tiga hari belakangan, hingga hari Selasa aku menjadi semakin waspada dengan angin-angin kencang yang selalu menabrak bahkan sesekali menembus jendela apartemenku. Aku meletakan buku harian itu, dengan sebuah bolpen, lalu berjalan ke beranda untuk mengangkat semua jemuran yang ada disana. Barang-barang di dalam apartemen pun lantas diterpa kencangnya angin dari luar, semuanya nampak saling berhamburan tiada ampun, dan akibatnya beberapa kali terdengar suara retakan dan pecahan entah darimana, seolah alam sedang asyik menghamburkan segalanya ke angkasa.

Aku tak tahu sama sekali bahkan, angin kencang ini sekonyong-konyong datang entah dari mana. Ketika aku menjemur pakaian di beranda keesokan harinya — tepat jam sepuluh lewat delapan belas pagi, kira-kira — tak ada sama sekali angin yang berhembus. Seingatku saat itu, semuanya nampak seolah kedap udara seperti tungku perapian yang tertutup. Dan untuk beberapa saat aku rasa: tak perlu lagi angin untuk menjemur pakaian-pakaian ini di hari yang sudah cukup cerah dan tenang seperti sekarang.

Sejujurnya memang akan lebih baik bila tak ada angin sama sekali.

Hanya beberapa saat saja, aku sudah bisa mengangkat lagi jemuran itu., lalu aku menutup semua jendela yang ada di dalam apartemen. Sesudah menutup semua jendela, aku bahkan tak bisa lagi mendengar sedikit pun suara angin dari luar. Di luar sana tak ada suara angin, selain pepohonan — yang kebanyakan adalah pohon cemara dan berangan asal Himalaya — yang hanya tengah sibuk menggoyangkan dahan-dahannya, seolah anjing yang tak tahan dengan rasa gatal ditubuhnya. Awan-awan di langit pun nampak saling bertabrakan dan menyelinap bersembunyi diantara satu dan yang lainnya, serupa dengan para penguntit bermata licik, sementara di beranda apartemen di seberang jalan itu, nampak beberapa kemeja masih bergelantungan erat di tali jemuran plastik, seperti anak yatim yang baru ditinggalkan orang tuanya sendirian.

Saat itu, angin rupanya benar-benar sangat ganas, pikirku.

Saat aku membuka koran dan melihat kolom perkiraan cuaca, aku tak melihat adanya tanda-tanda badai yang akan datang. Kemungkinan turun hujan adalah 0%. Satu senja di hari Minggu yang benar-benar mengingatkanku pada masa kejayaan Kekaisaran Roma, dan seperti inilah rasanya.

Aku membiarkan semuanya berjalan seperti biasanya, sekitar kurang lebih 30% untuk bernafas dan sisanya membaca koran, merapihkan pakaian lalu meletakannya di lemari, membuat kopi sembari mendengarkan musik, dan dilanjutkan membuka buku harian milikku seraya ditemani oleh secangkir kopi hangat.

Kamis, aku tidur bersama kekasihku. Dia selalu memakai penutup mata setiap kali kita berdua sedang asyik bercinta. Dan dia pun selalu membawa satu setel pakaian saja di dalam kopernya hanya untuk melakukan ini semua.

Aku tidak mengada-ada, tapi memang, dia nampak sangat cantik dengan penutup matanya saat kami sedang bercinta. Aku bukan seorang yang sempurna memang. Karena itulah manusia, dan bagaimanapun juga, setiap orang pasti memiliki satu rahasia yang tersimpan jauh di dalam dirinya sendiri.

Itulah yang aku tulis di dalam daftar hari Kamis di buku harian milikku. Delapan puluh persen fakta, sisanya hanya komentar belaka, itulah aturan yang ku buat sendiri, ketika aku menulis di buku harian.

Jumat, aku menemui seorang kawan lama di toko buku tepat di daerah Ginza. Saat itu ia mengenakan dasi dengan motif fasik yang sedikit mengganggu mata. Namun entahlah, panggilan telepon tadi, seolah membuatku tidak lagi perduli dengan latar motif bergaris yang ia kenakan — walaupun sebelumnya aku tahu ia akan mengenakannya, setidaknya sebelum panggilan itu tiba.

Saat itu, jam dua lewat tiga puluh enam menit ketika telepon berbunyi. Mungkin dia — kekasihku dengan penutup matanya, mungkin — pikirku saat itu. Ia memang berencana untuk datang kemari di hari Minggu nanti, dan dia selalu menghubungiku sebelum hari itu tiba. Dan dia juga lah yang akan membeli bahan-bahan untuk makan malam kita berdua. Kita pun sudah sepakat untuk membuat ikan tiram rebus ketika makan malam nanti.

Dan, saat itu telepon berbunyi pada jam dua lewat tiga puluh enam dini hari. Sebab, aku menaruh jam alarm di samping teleponku. Itulah mengapa aku tahu tepatnya panggilan telepon itu masuk. Lalu, aku pun dengan santai menjawab panggilan itu.

Namun ketika aku mengangkat gagang telepon tersebut, yang aku dengar hanyalah suara riuh angin yang bertiup sangat kencang. Suara gemuruh yang dipenuhi amarah, seperti orang-orang Indian di tahun 1881 dimana mereka mulai melakukan perlawanan di medan perang, tepat disana di dalam panggilan telepon itu. Mereka membakar semua tempat berlindung para perwira militer, memotong saluran komunikasi yang ada, dan bahkan mereka memperkosa seorang Candice Bergen.

“Halo?” aku memberanikan diri untuk berkata, tapi suaraku justru tenggelam dalam hiruk pikuk perjalanan sejarah yang luar biasa.

“Halo? Halo?!” Aku berteriak semakin keras, namun tak ada suara yang membalas.

Telingaku pun lantas menegang, dan aku bahkan tak dapat mendengar sedikit pun suara seorang wanita diantara angin yang tengah melanda sebegitu ganas. Atau mungkin setelah itu, aku memang mendengar sesuatu. Dan apapun itu yang pasti, angin sudah terlalu kencang bagiku untuk hanya sekedar ingin memastikan siapa orang dibalik suara itu. Aku rasa saat itu sudah terlalu banyak kerbau yang terjebak diantara badai pasir.

Kemudian, aku tak bisa mengatakan apapun. Aku hanya terdiam, dan membisu, dengan gagang telepon tetap menempel di telinga. Semakin lama semakin erat, bahkan seolah aku menggunakan lem untuk menempelkannya. Aku hampir mengira bahwa tak akan ada jawaban sama sekali di dalam panggilan itu. Namun kemudian, sekitar lima puluh atau dua puluh detik setelah itu, panggilan telepon itu putus dengan sendirinya. Seolah-olah kehidupan telah berhenti begitu saja. Setelah semua keheningan yang melanda, hanya hawa panas dibalik pakaian dalam milikku, yang masih tetap terasa.

Begitulah. Aku hanya bisa menghela nafas. Seraya tetap menulis di dalam buku harian, sebab, aku pikir bahwa kejadian itu perlu aku tuliskan juga ke dalam buku harian.

Sabtu, Hitler akhirnya menyerbu Polandia. Sembari menjatuhkan banyak bom dari atas langit kota Warsaw.

Tidak, itu tidak benar. Itu bukan yang terjadi sesungguhnya. Hitler menyerang Polandia pada 1 September, 1939. Bukan kemarin. Sebab, setelah selesai makan malam kemarin, aku langsung pergi menonton film di bioskop, melihat Meryl Streep di Shopies Choice. Hitler yang menyerang Polandia, adalah salah satu adegan di dalam film itu.

Di dalam film, Meryl Streep bercerai dengan Dustin Hoffman, tapi kemudian ketika ia menaiki kereta komuter, ia bertemu dengan seorang insinyur yang diperankan oleh Robert De Niro, yang kemudian keduanya sepakat untuk menikah. Film yang sangat bagus, menurutku.

Sepasang siwa-siswi sekolah menengah duduk di sebelahku saat itu, dan mereka nampaknya saling merangkul perut pasangannya sepanjang waktu. Tidak ada yang salah, dengan merangkul pasanganmu sendiri. Bahkan aku, dahulu sering melakukannya ketika masih berada di sekolah menengah.

Seusai menulis apa yang aku ingat minggu lalu di buku harianku. Aku berjalan menuju rak musik dan mengambil beberapa kaset musik untuk aku dengarkan saat senja di hari Minggu. Aku memilih Shostakovich cello concerto dan satu album Sly and the Family Stone, aku memang sengaja memilih musik yang sekiranya cocok untuk di dengarkan ketika cuaca sedang berangin, dan aku dengarkan dua rekaman musik itu satu persatu.

Satu waktu sesuatu dari luar sana masuk menembus jendela dan masuk apartemenku. Dan ketika itu, tepat diluar sana, aku melihat sehelai kain putih nampak terombang-ambing oleh derai angin, sekali waktu ke kanan, sekali waktu ke kiri, seperti seorang penyihir yang sedang membuat obat mujarab dari akar atau rempah-rempah. Dengan tubuhnya yang tinggi dan kurus, serta tulang punggungnya yang terlihat jelas melengkung, bagaikan seorang pecandu seks anal.

Aku sedang memandang ke luar jendela sembari mendengarkan Shostakovich cello concerto ketika telepon tiba-tiba berbunyi kembali. Jam alarm di samping telepon itu memperlihatkan pukul 3:48.

Aku sontak langsung mengambil gagang telepon itu dengan harapan akan mendengar suara mesin jet Boeing 747 di dalam panggilan yang satu ini, namun ternyata tak ada suara angin yang terdengar riuh seperti tadi.

“Halo,” kata seorang wanita di dalam telepon.

“Halo,” balasku.

“Aku pikir, biar aku saja yang membeli bahan-bahan untuk membuat tiram rebus untuk besok, bagaimana menurutmu?”, ujar kekasihku pada saat itu. Dan aku rasa ia akan
melakukannya dengan tetap menggunakan penutup mata.

“Ya, menurutku tak masalah, tapi — ”

“Apa kau punya casserole?”

“Ya, tapi,” kataku, “Apa yang terjadi? Sepertinya sekarang tak ada suara angin sama sekali.”

“Ya, angin kencang itu sudah berhenti. Di Nakano sudah jam tiga lewat dua puluh lima menit. Jadi aku rasa angin ganas itu tak akan lama lagi.”

“Oh, begitu,” balasku singkat sebelum menutup telepon, lalu aku menurunkan casserole dari atas lemari tempat tidur dan mencucinya di washtafel.

Seperti yang telah ia prediksikan, angin kencang itu sudah berhenti, pada pukul 4:05. Aku membuka jendela dan melihat ke arah luar. Dibawah sana, seekor anjing hitam nampak sedang sibuk mengendus-endus diatas tanah. Selama lima puluh atau tiga puluh detik, anjing itu terus melakukannya tanpa rasa lelah. Aku bahkan tak mengerti kenapa anjing hitam itu melakukan hal tersebut.

Lagipula selain itu, aku rasa, penampilan dunia tidak berubah sedikit pun sejak angin itu mulai mendera. Pohon cemara dan berangan dari Himalaya tetap berdiri kukuh diatas tanah mereka seperti semula. Seolah tak ada yang terjadi. Beberapa pakaian masih tetap bergantung pada jemuran plastik. Di atas tiang telepon bahkan, para gagak masih bisa mengepakan satu atau dua sayap mereka, dan paruh mereka malah nampak lebih mengkilat serupa kartu kredit.

Sementara itu, kekasihku sudah tiba dan langsung mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat tiram rebus. Ia masih berada di dapur membersihkan tiram, memotong kubis Cina dengan secepat kilat, mulai mengeluarkan balok tahu, sembari memasak kaldu.

Aku bertanya padanya mengapa ia tidak menelepon pada pukul 2:36.

“Aku sudah meneleponmu,” jawab dia sembari membilas nasi.

“Aku tak mendengar apapun,” jawabku.

“Ya, saat itu anginnya memang sangat kencang,” jawabnya lagi dengan bersungguh-sungguh.

Aku mengambil sebuah bir dari dalam kulkas, lalu duduk di samping meja sembari meminumnya.

“Tapi, kenapa angin kencang ini bisa muncul tiba-tiba, dan lagipula setelah angin itu berhenti, sepertinya tak ada yang berubah diluar sana, kan?” Aku bertanya padanya.

“Itulah yang kumaksud,” ujarnya singkat, ia sedang membelakangiku ketika ia sedang sibuk mengupas udang dengan jari jemarinya. “Ada banyak hal tentang angin itu yang tidak kita ketahui atau pahami. Sama halnya seperti kita tidak banyak tahu tentang sejarah peradaban kuno atau penyakit kanker atau dasar samudera atau apa yang ada jauh di luar angkasa sana, atau bahkan, tentang sex sekalipun.”

“Hmm,” gumamku. Tidak ada jawaban lagi. Tetap saja, nampaknya tak ada yang bisa dibahas lagi dalam pembicaraan ini bersamanya, jadi aku hanya diam saja dan terus melihatnya mengolah tiram rebus yang sedang ia masak.

“Katakan, apakah aku boleh merangkulmu di bagian perut?” aku bertanya padanya.

“Nanti,” jawabnya padaku.

Jadi, sembari menunggu sampai tiram rebus itu matang, aku pun memutuskan untuk menulis beberapa catatan singkat setiap harinya tentang kejadian-kejadian penting yang baru saja aku alami, sehingga nanti aku bisa mengingat kembali semuanya dan menuliskannya di dalam buku harianku sendiri minggu depan. Inilah yang aku tuliskan:

- Jatuhnya Kekaisaran Roma.
- Perlawanan Para Indian di tahun 1881.
- Invasi Hitler ke Polandia.

Hanya itu saja, dan hingga minggu depan tiba, aku baru akan mengingat kembali apa yang terjadi hari ini. Justru karena hanya dengan cara itu, aku masih bisa tetap menulis di buku catatan untuk dua puluh dua tahun lamanya tanpa harus sekalipun melupakan hari demi hari yang telah ku lalui. Mengingat segala kejadian penting yang pernah aku alami, itulah gunanya aku melakukan hal tersebut. Entah apakah, saat itu angin sedang berhembus sangat kencang atau tidak, karena memang seperti itulah aku menjalani hidup.


CATATAN:
* Diambil dari buku kumpulan cerpen Haruki Murakami, “The Elephant Vanishes”. Cerita pendek ini ditulis oleh Haruki Murakami, dan diterjemahkan oleh Alfred Birnbaum ke bahasa Inggris dengan judul, “The Fall of the Roman Empire, The 1881 Indian Uprising, Hitlers Invasion of Poland, and the Realm of Raging Winds”. Dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Andika Wahyu Adi Putra.


You Might Also Like

0 komentar