' Persekutuan Maha Agung ' - Andika Wahyu Adi Putra
Desember 19, 2017Para Jenderal Revolusi — yang sebenarnya — terkagum-kagum oleh cahaya merona yang timbul di gelapnya awan yang menyatu menjadi kesatuan. Membuat suasana menjadi semakin gelap gulita dan mencekam, sementara jalanan macet di bawah sana. “Ini pasti gawean Che Guevara yang lagi baik hati bagi-bagi cerutu ke kawan lama seperjuangan. Kopi darat di Rusia dengan asap mengebul-ngebul dari mulut macam knalpot rusuh mancing polisi lalu lintas buat nilang.”, ujar Swargapati yang duduk disamping Ashura. Hanya ditempat itu mereka bisa merasakan indahnya alam di khayangan. Berencana esok membuat real estate untuk dijual ke manusia-manusia sok kaya raya, apalagi pengacara yang kemarin ngaku duitnya gak habis-habis tujuh turunan.
“Mungkin disana mereka lagi rebutan makam Vladimir Lenin.”
“Nggak mungkin,” ujar Swargapati.
“Kecuali mereka berbalik muka ke negeri Ming, cuma buat jilat batu-batanya. Dan menyeberangi sepanjang setapak yang kukuh berdiri dari ujung ke ujung sambil selfie.”
Sebab, bagaimanapun mereka yakin Angkara Murka tengah bergerak dari singgasana Alengka. Itu adalah ketika Rahwana pertama kali ingin menguasai segala celah tanah dan air masing-masing penguasa. Mereka tahu semua ini dari Rama, sohibnya itu memang terbaik kalau soal persoalan singgasana Alengka. Ia pernah berkata di musim dingin yang menggigil di pucuk eropa. “Bahwa, aku sebenarnya membenci Rahwana, dan itu memang benar adanya.”
“Aku tak sekalipun meragukan dirimu Rama, setidaknya sejak Bali tumbang dibawah kuasamu itu.”
“Terimakasih banyak. Aku kira setelah sekian lama tak jumpa, kalian membenciku karena memilih mengasingkan diri ke belantara bersama Sinta dan Laksmana, serta begitu saja menyerahkan kuasa Kosala kepada Bharata.”
Beberapa bulan berikutnya, ia melapor pada dua paduka Jenderal Revolusi khayangan, Swargapati dan Ashura, bahwa Jatayu tewas oleh Rahwana yang membawa Sinta ke negeri Alengka. Mereka cekikikan terhadapnya, lucu memang, Sinta diculik dan Rama kebingungan, lha yo opo seh arek iki? Tapi mereka tetap percaya akan Kala yang kelak segera membantu dan langsung turun tangan terhadap kasus yang baru-baru ini sampai padanya. Karena sejatinya, ia tak sedih, oleh Jatayu. Sebab, sukma si burung raksasa itu masih akan tetap hidup dari serpihan raganya yang hangus terbakar menjadi abu.
Dan tampaknya sejauh ini, Batara Kala masih goleran dengan nyantai di sebelah mereka berdua sambil nikmatin salak pondoh, ketika kabar tentang Jatayu itu tiba. “Ini pasti karena Rama yang tak tahu menahu tentang Sinta”, Berpikir, bahwa mungkin sekarang Sinta sedang santai di kandang yang dibuat Rahwana. Menikmati spaghetti atau burger king sepaket dengan pepsi. Lagipula apa gunanya melapor dengan Swargapati, bahkan ia tak ingin menyebut namanya sendiri karena sudah tersemati di raga Indrajit putra mahkota Alengka. Penghinaan paling buruk baginya. Keajaiban dunia kalau dia akhirnya tak tahu malu sampai turun ke bawah sana untuk menolong Rama yang tengah kelimpungan, tahu bahwa kekasihnya diculik oleh penguasa negeri adidaya.
Bagaimanapun, “Che Guevara orang yang cerdas, ia nggak mungkin bagi-bagi sembako (saweran tembakau dan rokok) untuk empat revolusioner semenjana. Lebih baik untukku dewe, beli roti atau mie instan indomie, buat cemilan tengah malem.” Tapi segera ia memerintahkan antara Anjani atau Hanoman untuk mengetahui bagaimana kondisi di bawah sana, daripada mendengarkan dua orang disebelahnya ini ngegosip penuh kemungkinan-kemungkinan imajinasi belaka.
“Kenapa kau malah menyuruh Anjani dan Hanoman?”, ujar Ashura. “Ku kira kau akan turun menangani keadaan disana sendiri.”
“Ngapain?”, balas Kala. “Urusanmu-urusanmu, urusanku-urusanku. Lagipula gimanapun manusia bakal mbandel, dikasih tau sekali ngeyel, kecuali mereka pernah saling bunuh atau saling tikam. Baru percaya. Dulu dirimu juga begitu waktu masih balita, ngeyel, kalo belum jatuh, belum nangis.”
Begitulah sikap Batara Kala terhadap konflik antara Alengka dan pangeran Kosala. Menunggu beberapa hari untuk Anjani atau Hanoman tiba mengabari.
* * *
Beberapa bulan kemudian, Anjani tiba, mengatakan bahwa Hanoman baru saja bergabung dengan kelompok Rama. Mengatakan, bahwa Sinta tak mempercayainya, ia kini tengah terkukung di Alengka dengan gemerlap intan dan emas. Sungguh negeri mempesona, dari seorang yang disebut Angkara Murka. Tapi, bentrok terjadi diluar negeri itu, bala bantuan datang dari segala penjuru, mengusir Rama yang ingin merebut Sinta dengan bala bantuan dari pasukan kera dibawah komando Sugriwa. Tumpah darah dan belulang tak terelakan, katanya.
Dan sampai titik itu, Batara Kala masih kalem-kalem saja. “Apa yang terjadi, kenapa bukan dirimu saja yang membantu Hanoman menemui Sinta di kurungannya?”
“Aku tak bisa masuk, bahkan Hanoman harus menyusup. Apalagi aku bukan penduduk Alengka. Tak bisa aku melalui jalur legal untuk masuk ke dalamnya, bahkan aku tak pandai dalam bergrilya.”
“Kenapa tidak bisa?”
“Aku tak tahu. Seorang pria paruh baya selalu bungkam jika ditanya.”
Mendengar kabar, dan ketidak berdayaan Sinta diantara kawanan para pejuang dibawah komando Rahwana. Yang konon berani maju, membabi buta demi mengusir kawanan kera dan sesosok Sri Rama. Mengingatkannya kepada perjuangan Sparta mengusir rezim Mesir yang otoriter.
“Kalau kau tak mau melakukan apapun,” kata Swargapati, “Aku akan turun tangan membantunya.”
“Dengan apa?”
“Kereta perang kencana.”
“Hahaha..” tawa Batara Kala, “Yasudah, sak karepmu le..”
Berhari-hari berikutnya, langit kelam masih mempesona dibawah kaki mereka, tapi nampaknya siaran televisi masih adem ayem dengan tontonan berita indahnya Nusantara dan pulau dewata. Beberapa kali sehari disiarkan pidato-pidato membahana berwarna hitam putih, atau pula, lagu-lagu keroncong lama yang nikmat di dengar kala malam tiba.
“Nampaknya diatas sini, media-media televisi masih adem ayem”, ujar Ashura pada sobatnya. “Acara telenovela sama ftv belum dipotong siaran darurat perang.”
“Hidup dibawa santai, spirit kita. Lagipula kita bukan penjahat perang di dalam konflik antara Rama dan Rahwana.” jawab Swargapati. “Satelit juga masih sampai ke Ayodya hingga pelosok-pelosok desa. Kita membantu saja untuk penduduk yang lebih sejahtera. Lebih baik memberi motivasi daripada menggambarkan kekacauan terkini.”
“Jadi, ini yang mereka tonton juga?”
“Ya. Pikirku.”
Batara Kala kembali datang dengan segelas limun sembari merogoh sempoerna dan ngudud di samping mereka, kepulannya membahana tak beda dengan awan-awan yang sliweran seenak udele dewe. Tapi mereka kembali berkumpul di tempat yang sama bukan hanya untuk bersantai-santai ria. Menunggu kabar dari laksamana yang tengah asyik berkendara diantara gelimang getih dan carut marut mayit yang bergelimpungan diatas tanah. Mendengarkan dua bersaudara berciut-ciut ria di sebelahnya. Mereka tak terpisahkan seperti karet gelang yang salah cetak. Atau, mainan anak-anak yang menempel karena kebakar pentol korek kobong.
Sebenarnya, ia tahu apa yang terjadi di bawah sana prihal Sinta dan Rahwana, bukan tentang gerombolan kera dan Rama. Itu yang selama ini ia simpan tak digemborkan kepada dua kawanan Dewata di sebelahnya ini.
“Kalau, aku jadi Rama Wijaya, aku gak akan berani jadi Rambo sendirian ke Alengka, kalau gak mau taruhan mati atau terluka parah. Tapi, mungkin cinta akan mengokohkan segalanya, menanggalkan ucapanku tadi untuk kemurkaan batin dan rasa semata.”, Ujar kala pada mereka berdua.
“Ah, kau ini mbah. Palingan kalaupun kau jadi Rama Wijaya, belum tentu bisa secerdik dia merujuk Sugriwa yang terasing selama bertahun-tahun untuk bergabung dan berjuang bersama hanya demi wanita. Tahu apa dirimu tentang wanita mbah?”
Kata Ashura yang hanya pakai kacamata hitam kece untuk berjemur di indahnya mentari walaupun awan gemerlap api di bawah telapak kaki.
“Wanita itu sulit, kala kau berusaha tahu, dia akan lebih tahu. Ketika kau tak tahu, apalagi dia. Matanya ada dimana-mana, liar menggoda, sekalipun perasaannya tetap membuncah hanya pada satu pria.”
“Rama tak tahu semua itu.”
* * *
Setelah berbulan-bulan perang berkecamuk. Anjani berkata bahwa Alengka tumbang dibawah kuasa Rama. Dan ia membangun kembali Alengka yang telah megah kini dalam kehancuran akibat perang atas nama ambisi terhadap cinta. Sementara Sinta, masih diragukan kesuciannya oleh suaminya sendiri.
Sebagian dari jajaran Dewata cekikikan mendengarnya, tidak dengan Ashura atau Swargapati, mereka merayakan kemenangan dengan tarian suka cita, diantara padang semak lantana, sebelum akhirnya turun kembali ke bumi menemui Rama Wijaya. Guna mengucapkan selamat padanya. Seolah kemenangan semua negeri dan dunia ada dibawah kaki mereka. Sementara Batara Kala dan Dewata lainnya masih cekikikan melihat kelakukan sekawanan Dewa nun Agung itu.
“Kita bisa melakukannya. Kau punya kuasa untuk menyelami takdir dan karma”, ujar Siwa.
“Tentu,” balas Kala, “Biarkan mereka gembira, sementara ajian rawarontek tetap melekat di dalam jiwa Rahwana.”
Sebab, itulah ia tetap kukuh, pada pendiriannya: Wanita itu seperti waktu, bagaimanapun tetap sulit dimengerti, bahkan oleh mereka yang dicinta atau sedang mencintai.
0 komentar