Yang Diambil Alih - Julio Cortázar

Desember 08, 2017

Kami sangat mencintai rumah kami, karena selain memang usianya sangat tua dan berukuran sangat luas (walaupun diluar sana banyak juga rumah tua sejenis ini yang di lelang oleh pemiliknya sendiri hanya untuk meraup untung semata), rumah ini juga telah begitu banyak menyimpan kenangan tentang para leluhur kami, kakek kami, orang tua kami, dan juga seluruh kenangan masa kecil kami.

Irene dan aku memutuskan untuk tetap tinggal di rumah ini, terdengar gila memang, karena sebelumnya bahkan, delapan orang sekaligus harus tinggal di dalam rumah ini, dan akibatnya hampir tak ada cukup ruang yang tersisa lagi. Kami semua mulai terbangun pada saat jatuh pukul tujuh pagi dan langsung membersihkan setiap jengkal bagian rumah ini, dan kemudian sekitar pukul sepuluh aku biasanya akan menyuruh Irene untuk membantu menyelesaikan segala macam pekerjaan rumah, sementara aku sendiri sibuk di dalam dapur. Lalu kita akan sarapan pada saat menjelang siang; dan tak ada lagi yang bisa dikerjakan setelah itu, selain sibuk menyirami tanaman. Bagi ku, sarapan bersama pun sudah cukup membuat kita nyaman, walaupun seolah ada tembok pembatas yang memisahkan satu dan yang lainnya dalam satu ruang. Namun tetap rumah ini begitu sunyi, dan hanya dengan terus membereskan rumah saja, sudah cukup bagi kami yang selalu ingin terus menyibukan diri. Satu ketika Irene pernah menolak dua kali lamaran seseorang pria terhadap dirinya tanpa ada alasan yang jelas, sementara itu Maria Esther meninggal dunia didepan mataku sendiri, sebelum kita sempat menginjakan kaki di atas pelaminan bersama. Namun perlahan-lahan hingga usia kami menginjak empat puluh tahun, aku dan Irene, akhirnya dapat saling memahami satu sama lain, walaupun dengan tetap tak banyak berucap dalam harmoni kesunyian rumah ini, bersama dengan sebuah ikatan pernikahan antar dua saudara yang merupakan hasil akhir dari semua ini, yang tak lagi bisa terelakkan dari garis keturunan keluarga yang dibangun oleh kakek dan nenek kami di dalam rumah ini selama bertahun-tahun lamanya. Dan hingga kelak satu hari nanti, kita berdua akan meninggal di dalam rumah ini,  dan seorang sepupu yang entah siapa, kelak akan mewarisi rumah ini, merobohkannya, dan menjual segala isinya satu persatu dan menghasilkan banyak uang dari hal itu; atau mungkin akan lebih baik lagi, bila kita terlebih dahulu merobohkannya sendiri, sebelum semuanya terlambat.

Irene tak pernah mengganggu siapapun. Satu pagi ketika semua pekerjaan rumah telah usai, dia akan menghabiskan sisa harinya, di atas sofa di dalam kamarnya, seraya sibuk merajut sepanjang waktu. Aku tak dapat mengatakan padamu mengapa ia sering sekali merajut; Aku pikir wanita hanya akan merajut, pada saat mereka menyadari bahwa tak ada lagi yang bisa dikerjakan selain melakukan hal tersebut. Tetapi, Irene bukanlah orang seperti itu, ia selalu merajut untuk menghasilkan berbagai macam rupa perlengkapan sehari-hari, seperti sweater untuk musim dingin, kaus kaki untukku, pakaian pagi dan jaket tidur untuk dirinya sendiri. Terkadang, ia bahkan mengambil lagi jaketnya, kemudian ia bongkar jaket itu hingga terurai tak berbentuk seperti semula karena menurut dirinya, di jaket tersebut ada sesuatu yang selalu membuat pikirannya tidak nyaman; dan senang rasanya, ketika aku melihat tumpukan wol kusut di dalam keranjang rajutnya yang dimana kemudian benang wol itu nampak terus saling bergulat bersama jari jemari Irene, guna terus bersikeras, mempertahankan bentuknya yang acak. Hari sabtu, aku pergi ke pusat kota untuk membeli benang wol yang baru; Irene selalu mempercayakan segalanya terhadap selera ku, yang senang dengan berbagai macam warna dan tak pernah mengecewakan dirinya. Sementara, aku memanfaatkan waktu ini juga untuk berjalan-jalan sembari mampir ke toko buku, dan bertanya pada mereka, apakah mereka memiliki buku sastra Prancis yang terbaru. Yang tak pernah ada lagi di Argentina sejak 1939.

Namun sebenarnya, rumah ini yang ingin aku bicarakan, rumah dan Irene, dan aku bukanlah sosok yang penting dalam kisah ini. Aku penasaran apa yang akan ia lakukan jika tidak sibuk merajut. Seseorang dapat membaca buku berulang kali, tapi begitu kau selesai membaca bagian terbaik di dalam buku itu, kau tak dapat merasakan sensasi yang sama untuk yang kedua kalinya, seolah hal seperti itu merupakan sebuah dosa besar jika kau melakukannya untuk yang kesekian kali. Dan satu hari aku menemukan sebuah laci di bagian bawah bufet, dipenuhi oleh kapur barus, dan diisi oleh banyak sekali syal, berwarna putih, hijau, ungu. Terjebak diantara aroma kamper — seperti aroma barang-barang baru di sebuah toko; namun aku tak berani bertanya apa yang sebenarnya sedang ingin dia lakukan dengan itu semua. Disisi lain, kami pun tidak bekerja mencari nafkah, sebab kami masih memiliki hewan ternak, bahkan masih sangat banyak. Namun sebenarnya, Irene tak hanya tertarik dengan sekedar merajut saja, namun ia juga gemar memamerkan keahliannya, dan bagiku, waktu demi waktu dalam sisa hidupku, banyak terkuras habis hanya untuk memandangi sosoknya saja, dengan tangannya yang bagaikan bulu babi perak, sementara jarum rajut tak henti-hentinya berkedip memantulkan cahaya padaku, bersama satu atau dua keranjang rajut yang diam setia disisinya, sementara bola benang sekali waktu akan nampak melompat-lompat riang gembira. Dan untukku yang melihatnya saat itu, semuanya sungguh nampak menyenangkan.

Bagaimana bisa aku melupakan bentuk dari rumah ini. Dengan ruang makan, ruang tamu dengan hamparan karpetnya, ruang baca, dan tiga kamar tidur yang cukup lebar di sudut rumah yang paling tersembunyi, yang juga saling berhadapan dengan lukisan seorang Rodriguez Pena. Ditambah sebuah lorong dengan pintu kayu besarnya yang memisahkan bagian itu dengan bagian kanan rumah kita, dimana disana ada sebuah kamar mandi, dapur, ruang tidur dan ruang keluarga. Sementara semua orang hanya bisa masuk ke dalam rumah melalui pintu di ruang depan, dan langsung akan disambut dengan ubin-ubin yang berenamel, bersama dua lapis pintu besi menuju ruang keluarga. Kau harus terlebih dahulu masuk ke ruang depan sebelum kemudian membuka pintu gerbang itu, untuk masuk ke dalam ruangan keluarga; pintu menuju kamar tidur kami pun akan nampak berada di kedua sisinya, dan di arah yang berlawanan terdapat lorong menuju bagian belakang rumah; berjalanlah menyusuri lorong itu, lalu bukalah pintu kayu ke arah depan dan disanalah akan nampak bagian lain dari rumah itu; atau sebelum sampai di pintu kayu itu, kau bisa berbelok ke arah kiri, lalu menyusuri lorong lainnya yang terbilang cukup sempit untuk bisa masuk ke ruang dapur dan kamar mandi. Dan ketika pintu terbuka, kau akan sadar bagaimana ukuran dari rumah ini; ketika pintu itu tertutup, kau akan merasakan nuansa seperti sebuah apartemen yang baru, dengan ruangan yang cukup sempit untuk ditinggali. Irene dan aku selalu tinggal di bagian rumah yang ini, dan hampir tak pernah sama sekali menyentuh pintu kayu itu kecuali jika kami ingin membersihkannya saja. Dan sungguh menakjubkan bila melihat banyak sekali debu yang menempel di banyak perabotan rumah. Mungkin benar bahwa Buenos Aires adalah kota yang sangat bersih, tapi sebenarnya ia masih berhutang pada para penduduknya. Sebab, masih banyak sekali debu di udara, ikut bersama angin yang berhembus jinak, sebelum kemudian mereka mendarat diatas marmer dan diatas permukaan meja dengan pola berlian mungil mereka yang khas. Sungguh pekerjaan yang tak mudah untuk membersihkan debu-debu itu menggunakan sebuah kemoceng saja; karena mereka akan berterbangan lagi di udara, dan akan menempel kembali diatas piano dan segala perabot rumah lainnya.

Aku selalu ingat semuanya karena itu memang terjadi dan kami berdua tak sekalipun pernah meributkannya. Hingga satu ketika, Irene sibuk merajut di dalam kamarnya, saat itu masih sekitar jam delapan malam, dan aku bermaksud mengambilkan secangkir air minum untuknya. Aku pergi ke lorong tak jauh dari pintu yang masih terbuka, lalu berbelok ke lorong menuju dapur, sebelum akhirnya aku mendengar sesuatu dari arah ruang baca atau mungkin ruang makan di sisi lain dari rumah kami. Suara itu terdengar sangat kecil dan tak jelas, beberapa kali terdengar hentakan sebuah kursi yang menghantam permukaan karpet di lantai, dan terdengar sedikit suara seseorang yang tengah bercakap-cakap disana. Ketika itu atau setelahnya bahkan, aku mendengar suara mereka di ujung lorong ini sedang menuju ke arah dua ruangan lainnya di sisi rumah yang tengah kami tempati. Aku pun segera kembali ke pintu kayu tersebut, dan mengunci rapat pintu itu sebelum semuanya terlambat. Menahannya dengan tubuhku untuk beberapa saat; beruntung, sebab kunci rumah ada pada kami; aku pun langsung ingin kembali ke ruangan dimana Irene tengah berada, hanya untuk sekedar menjauh dan berlindung dari orang-orang asing di sudut rumah yang lainnya.

Namun, aku pergi ke dapur sejenak, memanaskan air, dan ketika aku kembali menemui dia, aku berkata padanya: “Aku harus menutup pintu kayu itu. Sebab, disana ada seseorang yang ingin masuk ke dalam ruangan di bagian belakang.”
Ia pun sontak membiarkan rajutannya terjatuh ke lantai dan melihat padaku dengan tatapan yang serius, “Apa kau yakin?”
Aku hanya mengangguk padanya.
“Pada saat seperti ini,” ia berkata, dan meraih rajutannya kembali, “kita harus membiasakan diri tinggal di sisi yang lainnya.”
Aku pun menyuapinya minum sedikit demi sedikit, sebelum akhirnya kemudian ia akan kembali sibuk dengan rajutannya seperti semula. Aku masih ingat saat itu ia sedang merajut sebuah rompi berwarna abu-abu. Dan aku sangat menyukai rompi itu.
Hari-hari pertama sangatlah sulit, sejak kita berdua merelakan segalanya dibiarkan tertinggal di satu bagian dari rumah kami yang telah diambil alih. Koleksi buku sastra Prancis milikku, misalnya, masih berada di ruangan baca. Irene pun banyak sekali meninggalkan perlengkapan belajarnya dan sepasang sendal yang sering ia gunakan kala musim dingin tiba. Sementara aku merindukan pipa rokok milikku, dan Irene, aku rasa, merindukan botol antik Hesperidin miliknya. Itu terjadi berulang kali (namun hanya dalam kurun beberapa hari saja) dimana kita harus menutup beberapa laci atau kabin dan saling menatap dengan roman yang muram.

“Tak ada disana.”

Satu hal yang rupanya telah lenyap, ditelan sudut lain dari rumah kami.

Tapi ada juga sisi baiknya. Sebab dengan begitu akan semakin sedikit juga ruangan yang harus kami bersihkan setiap harinya, bahkan bila kita bangun terlambat — sekitar sembilan tiga puluh misalnya — dan ketika jam telah menunjuk pukul sebelas kita bahkan sudah bisa duduk-duduk santai bersama. Irene mulai kembali pun mulai sibuk berlalu lalang di dalam dapur bersama denganku, hanya untuk sekedar membantu menyiapkan makanan. Dan akhirnya kita memikirkan hal ini dan memutuskannya: ketika aku bersiap-siap untuk sarapan, Irene akan memasak hidangan yang bisa dimakan di malam hari. Dan kita pun senang dengan pembagian tugas itu, karena itu akan membuat kita lebih sering bangkit dari kamar di sore hari untuk mulai memasak di dalam dapur. Kini, bersama kita menata piring-piring dan gelas-gelas di atas meja makan di kamar Irene, seraya bersiap untuk makan bersama di suatu malam yang dingin.

Juga sejak ia tak lagi terlalu sibuk merajut, Irene nampak begitu bahagia. Sementara aku justru masih merasa kehilangan terhadap buku-buku milikku yang juga tertinggal di ruang baca, namun aku tak pernah memaksakan diri sendiri dihadapan adikku, bahkan aku berencana untuk menata kembali koleksi perangko milik ayah; untuk sekedar membunuh waktu. Kita selalu mencoba menghibur diri kita. Masing-masing dengan barang miliknya sendiri, dan hampir setiap waktu berkumpul bersama di kamar tidur Irene, dimana hal itu sungguh sangat menyenangkan. Sekali waktu, Irene pernah berkata: “Lihatlah, aku baru menyadari bentuk itu, bukankah bentuknya nampak seperti daun semanggi?”

Setelah itu, aku pun meletakan sebuah kertas persegi yang ukurannya tak terlalu besar di hadapan Irene, sehingga ia bisa melihat berbagai macam koleksi perangko yang unik dari dataran Eupen-Malmedy. Dengan ini kita akan baik-baik saja, dan sedikit demi sedikit kita tak akan terlalu mekhawatirkan apapun lagi. Kau bisa hidup tanpa perlu merasa cemas sama sekali.

Selain berbagai omong kosong di malam hari, segalanya begitu sunyi di dalam rumah. Ketika siang hari rumah akan riuh oleh berbagai macam suara, entah suara itu dari jarum rajut, atau gemeresik halaman album perangko yang terus dibolak-balik. Namun, pintu kayu itu sangatlah besar dan kuat, pikir ku. Di dalam dapur atau kamar mandi, yang juga berdampingan dengan bagian yang telah diambil alih, kita berdua seringkali berbicara dengan suara yang lantang, atau sekali waktu Irene akan bernyanyi lagu nina-bobok dengan suara yang juga tak kalah kerasnya. Sementara di dapur akan ada banyak sekali suara-suara, entah piring, atau kaca, yang juga terkadang terganggu lagi dengan suara-suara yang lainnya. Kita jarang berdiam diri di dalam sini, tapi ketika kembali ke ruangan kami atau ruang keluarga seperti biasanya, disanalah saat suasana tiba-tiba menjadi sunyi lagi, setidaknya untuk sementara, kita bahkan sesekali berjalan perlahan-lahan, agar tidak mengganggu satu sama lain. Aku kira itulah alasan mengapa aku sering terbangun tiba-tiba disaat yang sama ketika Irene berbicara dalam tidurnya.

Namun semua itu ada konsekuensinya, karena seolah kita hanya akan terus mengulangi semua adegan seperti ini di setiap harinya. Hingga akhirnya, pada satu malam aku merasa haus, dan sebelum kita berdua pergi tidur, aku berkata pada Irene bahwa aku akan pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Namun, dari pintu kamar tidur (dimana Irene sedang sibuk merajut) aku mendengar suara dari dalam dapur; jika bukan dapur, mungkin di dalam kamar mandi, sebab suara itu terdengar samar-samar dari tempatku berada kini. Irene menyadari bahwa saat itu, aku tak bergerak sama sekali, dan kemudian langsung menghampiriku tanpa berkata-kata atau sekedar bertanya. Kita berdua masih mendengarkan suara-suara tersebut, dan lambat laun suara itu semakin mengeras dan semakin keras lagi, membuat kami semakin yakin bahwa mereka sudah sangat dekat dengan tempat kami berdiri saat ini, tepat disamping pintu kayu itu, jika bukan di dapur, mungkin di dalam kamar mandi, atau bahkan mungkin mereka sedang berada di ruangan itu, ruangan yang tepat berada di sebelah kami sekarang.

Kita berdua bahkan tak sempat untuk bertatap muka. Sebab, aku langsung saja meraih lengan Irene dan mengajaknya untuk langsung pergi ke arah dua lapis pintu besi, tanpa sekalipun melihat ke belakang. Sementara, kau masih bisa mendengar suara-suara itu, tetap teredam namun lumayan keras, jaraknya mungkin hanya beberapa langkah di belakang kita sekarang. Lantas, aku segera menutup pintu besi itu dan kita berdua akhirnya terhenti di ruangan depan. Sementara suasana rumah, perlahan menjadi sunyi kembali.

“Mereka bahkan telah mengambil alih wilayah kita,” kata Irene. Rajutan yang sedari tadi ia genggam sudah tak lagi ada di tangannya, serta benang rajut miliknya bahkan perlahan lenyap dibawah pintu itu. Ketika ia melihat bola-bola benang miliknya tergeletak di ruangan sebelah, di sudut yang lain dari rumah mereka kini, dan tiba-tiba secara tak sadar, ia menjatuhkan jarum rajut miliknya ke lantai dibawah kakinya.

“Apakah kau bisa mengembalikan semuanya padaku?” Ia bertanya dengan nada penuh harap.

“Tidak, aku tidak bisa.”

Kita memiliki apa yang kita miliki. Dan aku teringat lima belas ribu peso di dalam lemari pakaian di kamar tidurku.

Namun kini, semuanya sudah terlambat.

Tapi setidaknya, aku masih memakai sebuah jam tangan, dan aku lihat, jam masih menunjukan pukul 11 malam. Aku pun melihat Irene dan merangkulnya (Aku pikir dia menangis) dan itulah saat kita memutuskan untuk pergi ke jalanan. Sebelum kita pergi, aku merasa sangat kecewa dengan ini semua; aku pun mengunci pintu depan rumah dengan sangat kencang dan membuang kunci itu ke dalam selokan. Sembari berharap, dengan begitu tidak akan ada lagi para bajingan yang berani datang kemari, hanya untuk masuk dan merampok rumah ini untuk yang kesekian kali, pada saat itu, dan bedanya dengan rumah yang telah diambil alih.



* Berjudul asli, "Casa Tomada". Ditulis oleh Julio Cortázar. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Paul Blackburn dengan judul, "House Taken Over". Dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh, Andika Wahyu Adi Putra, dengan judul, "Yang Diambil Alih".

You Might Also Like

0 komentar