Kupu - Kupu Biru - Andika Wahyu Adi Putra
Desember 31, 2017Sudah beberapa bulan ini aku kembali menulis, setelah sekian lama aku tidak menyentuh alat tulis, dan kertas-kertas kosong yang akan aku salin kembali ke layar komputer milikku di apartemenku nanti, membuat beberapa draft tentang cerita pendek, atau mungkin meneruskan beberapa ide tentang novel yang tengah aku garap belakangan.
Di sudut kafe, aku duduk termenung, ditemani secangkir kopi arabika dan beberapa orang yang lalu lalang. Aku berdiam, kembali, ditempat ini seperti biasanya. Beberapa bulan mendadak aku rajin menjadi pelanggan setia mereka. Seorang barista mengenalku sedikit banyak karena itu. Aku bahkan bisa “hutang” bila sedang tidak ada uang. Setidaknya, tempat ini cukup bersahabat untuk tempatku mengambil banyak inspirasi, bukan hanya soal aku dekat dengan barista yang ada disini, melainkan tempat ini sungguh sunyi dan cukup sejuk untuk ditempati, tidak banyak riuh orang, hanya beberapa anak muda yang bersandar dikursinya masing-masing, sibuk dengan laptop, buku, atau obrolan ringan sembari canda tawa memecah suasana.
Beberapa jam, kekasihku akan datang, menjelang senja. Ada sesuatu yang juga aku harus bicarakan padanya, sementara menunggu. Aku sibuk memikirkan gagasan selanjutnya.
Kertas ini masih kosong melompong, jari jemariku memainkan bolpoint memutar-mutarnya seperti gangsing, diantara jari telunjuk — jempol — tengah — kelingking. Sebuah musik jazz dari sebuah soundtrack film ternama mengiringi otakku yang sedang berputar-putar mencari sesuatu yang tak pasti. Judulnya aku ingat, Like Someone in Love oleh Ella Fitzgerald. Pertama kali mendengarnya saat masa-masa sekolah menengah, salah satu pengisi soundtrack film drama-romance favoritku.
***
Gadis itu duduk tak lama setelah kedatanganku, di sudut kafe, berseberangan tak jauh dari tempatku duduk, dibawah jam dinding yang menunjuk pukul dua lewat tiga puluh siang. Beberapa orang melintasi meja tempat dia berada, ia sendiri memegang buku Stephen King — setidaknya itu yang terlihat di bagian sampulnya — dan duduk ditemani oleh secangkir moccachino yang mengepul baru saja disajikan oleh seorang barista di kafe ini.
Angin menembus celah pintu dan jendela kafe, beberapa terbawa oleh orang-orang yang datang dan pergi meninggalkan tempat ini. Beberapa dengan sendirinya masuk tanpa diundang siapa-siapa. Aku tetap terduduk mengamati, sesekali memikirkan apa hal baru yang bisa kucapai untuk merajut kembali novel atau setidaknya membuat satu kisah baru untuk antologi cerita pendek yang sedang kurancang. Memejamkan mata sedikit rasanya bisa membuatku hanyut dalam semua hal terkait masalah-masalah itu. Aku tak lagi memainkan bolpoint, berhenti. Meletakkannya diatas kertas, sebuah ruangan gelap jelas-jelas terpampang, namun kosong, bahkan.
Tak ada yang dapat kuperbuat sebelum kedatangan kekasihku senja nanti. Masih banyak waktu. Namun itu bukan pilihan yang bagus, aku tidak bisa membuang waktu.
Mataku ditembus sinar matahari, perlahan memerah dari semula gelap gulita. Bibir tipis seorang wanita terpampang dihadapanku, seringkali aku melihatnya, rambutnya terkurai panjang, berwarna pirang. Lurus dan menawan. Di sudut ruang itu aku sering melihatnya, ia membaca buku Stephen King, kadangkala, aku datang pada satu minggu ketika bertemu dengannya, ia membawa sebuah tas berisi berbagai macam novel untuk dinikmati kala senja, berjalan menggiringnya ke satu meja dan memesan moccachino — atau mungkin capucchino, ia nampaknya tak begitu menikmati kopi apapun itu. Hanya nuansa kafe ini yang membuatnya rajin datang kemari. Sama seperti halnya dengan diriku, duduk disamping jendela menghadap ke arah jalan raya, melihat orang-orang berjalan, suaranya teredam oleh dinding dan kaca yang tebal. Walaupun sayup berdengung hebat, tak kuasa menjebol ketebalan bahannya.
“Siapa namamu?” aku ingin mengatakan kalimat itu. Seringkali pikiranku memang liar, melihat sesuatu yang menarik aku ingin tahu lebih. Bahkan bila itu wanita, tak lebih menawan ketimbang Marla. Matanya memang sayu, dan tubuhnya semampai ketimbang Marla. Aku rasa, diriku memang liar dan terlampau liberal jika berbicara tentang wanita. Atau mungkin tidak.
Satu masa dalam hidupku aku terdorong untuk mencoba berbagai hal tentang kelumit dunia, merasakan pusingnya menghisap marijuana. Atau mencoba menghabiskan sebotol wine di usia muda. Bahkan aku bercinta dengan kekasihku yang pertama saat menginjak tahun pertama sekolah menengah atas. Aku masih ingat harumnya, aku masih ingat tentang ciuman kita yang pertama. Segala macam hal itu membuat pikiran dan imajinasiku liar dan semakin tak terkendali. Begitu bebas. Bukan gila, namun hanya tak terbatas oleh norma-norma kuno belaka. Setidaknya, dengan begitu satu lagi kupu-kupu yang akhirnya berhasil terbang bebas dari cangkangnya. Warna birunya tak berubah bahkan sejak bertahun-tahun kelahiran.
Di hari lain, aku melihatnya untuk yang kesekian kali, kertas ada di bawah jari jemariku, siap untuk aku isi memenuhi segala keinginan dan imajinasi, menambah draft dan mencoba untuk mengulik hal-hal lain seperti biasanya. Gadis itu datang melintas tepat disampingku dengan aroma parfum yang semerbak, rambut pirangnya mengibas menimbulkan riak angin yang menabrak wajah. Aku hanya bisa merasakannya, aku terlampau sibuk untuk mengurusi semacam pekerjaan di dalam kepala. Ketika ia tiba, pandanganku tak bisa lagi lepas darinya, hidungnya mancung dengan mata yang sayu. Kulitnya putih serupa wanita khas Paris, belum lagi rambutnya yang blonde terkurai hingga punggung. Dia bisa menjadi model majalah ternama jika ia mau, namun aku hanya diam, tak tahu apa yang ia pikirkan tentang dirinya sendiri.
Kopi diatas mejaku telah habis tak terasa kusesap beberapa kali, senja belum tiba, namun ini terlampau cepat. Aku menyambangi kawanku seorang barista, memesan kopi yang sama, melihat ia melakukan prosesnya sekali waktu mengobrol ringan dengannya, aku masih bisa melihat gadis itu di ujung ruangan. Matanya terus tenggelam dalam keasyikan membaca novel yang ia genggam. Mungkin ia bahkan tak merasa ada di dalam kafe ini setelah beberapa saat kedatangan. Siapa yang peduli, ia bahkan duduk sendiri, aku tak berhak untuk mengganggu orang lain bahkan bila itu seseorang yang asing.
Dia memberiku secangkir kopi arabika yang masih mengepul hangat, dan aku berjalan ke arah mejaku kembali, di dekat jendela, berseberangan cukup jauh dari tempat gadis itu berada. Aku belum menulis apapun di kertas ku, namun rasanya waktu berjalan begitu cepat.
Aku duduk dan memperhatikannya untuk beberapa saat. Kurasa aku mulai menyukai sosoknya, selain cantik ia tak lebih dari seorang gadis penyuka buku sepertiku, mengingatkan aku dengan diriku sendiri saat masih berkuliah di fakultas sastra, menyendiri dengan buku yang hanya menjadi kekasih. Andaikan aku bertemu dengannya lebih awal, aku tidak akan menjadikan Marla sebagai kekasihku seorang. Namun dia, gadis di sudut kafe ini, yang akan aku jadikan sebagai kekasih, menghabiskan waktu-waktu seumur hidupku berdua bersamanya.
Atau mungkin, segala perasaanku ini hanya lah soal, fetishku pada seorang gadis berambut pirang belaka?
***
Ada suatu hal yang begitu menggangguku tentang Marla. Satu malam ketika kami bercinta, ia terdiam dan tak mengeluarkan sepatah kata. Suasana begitu tenang, seperti kita akan jatuh tidur tanpa melakukan hubungan seksual sama sekali. Aku bertanya apa yang terjadi, ia terdiam. Keesokannya, hal yang sama terjadi, ia pergi begitu saja tanpa berkata apapun padaku lagi. Selama beberapa minggu setelah itu kami tak bertemu, nampaknya ia mencurigaiku perihal sesuatu, namun aku tak tahu apa yang ia maksud. Aku tak pernah berselingkuh (atau hanya tak merasa?) bahkan aku tak pernah dekat dengan siapapun, wanita selain Marla.
Seusai pulang dari acara seminar, menjadi pembicara pada diskusi dan bedah buku novel milikku yang dilaksanakan oleh satu komunitas sastra di kota New York. Aku tiba di apartemen, saat menjelang malam, dengan dia yang sudah ada di dalamnya, mungkin ia sudah menunggu lama. Aku memeluknya. Mencium keningnya. Ia membisu.
“Kau sedang dekat dengan wanita lain?” tanya dia tak lama kemudian.
“Tidak, aku tidak dekat dengan siapapun.” Jawabku seketika.
Selama ini ia mencurigaiku, dan menanyakan hal yang sama berulang kali setelah hari itu. Setiap malam, setiap kami bertemu, tak ada yang lebih penting dari pertanyaan itu. Entah di ruang publik, entah di kamar remang, semuanya tentang hal yang sama.
Semakin lama, hal itu semakin sering ia lakukan, aku merasa ia sudah tidak percaya padaku sama sekali, walaupun aku selalu menjawab dengan jawaban yang tak pernah berbeda, “Aku tidak memiliki siapapun yang kucinta selain dirimu seorang, Marla.”
Nampaknya ia sulit pernah percaya pada ucapan seorang sastrawan yang sering berpikiran liar sepertiku. Dia terus melakukan hal yang sama.
***
Gadis itu masih di bangkunya di sudut lain berseberangan dengan tempatku duduk, dengan novel Stephen King ditangan, dan mata yang tenggelam. Sungguh sosok gadis pirang yang menawan, aku ingin berkenalan dengannya, namun apakah itu waktu yang tepat. Aku tak tahu.
Pukul enam sore, Marla datang dari pintu masuk kafe tempat aku dan gadis itu masih terduduk dengan kesibukannya masing-masing. Dia duduk di hadapanku, menanyakan kabar dan sudah berapa lama aku menunggunya. Aku menjawab tak lama, mungkin sejam atau dua jam. Kebohongan basi yang mungkin ia pun tak gampang percaya, ia terlalu cerdas untuk dibohongi. Dan nampaknya ia memang sudah tahu tentang apa yang ingin kukatakan senja itu. Bahwa aku ingin mengakhiri hubungan kita berdua. Aku rasa tak ada jalan lain untuk melanjutkan asmara daripada saling curiga, ungkapku. Nampaknya ia segenap hati menerima keputusan tersebut. Tidak sekalipun terkejut.
Ketika aku lihat matahari perlahan tenggelam di lahap gedung-gedung menjulang, lampu gemerlap sedikit demi sedikit mulai berkedip memantul di kaca jendela, dan gadis itu masih ada di sudut yang sama, dengan buku yang sama pula. Sementara, kertasku masih kosong. Ke liar-an dan kebebasan diriku, tidak berarti apapun.
0 komentar