Orang - Orang Indian - Ernest Hemingway
Desember 31, 2017
Di tepi sungai itu terdapat beberapa perahu. Dan dua orang dari suku Indian nampak tengah berdiri sembari menunggu.
Nick dan ayahnya nampak langsung masuk ke bagian belakang salah satu perahu, dan tak lama setelah itu, seorang Indian duduk di bagian depan seraya mendayung perahu tersebut menuju pemukiman mereka, sebelum satu perahu yang lainnya membuntuti mereka dari arah belakang. Dan di sana nampak Paman George yang tengah duduk dibagian belakang perahu bersama seorang pemuda Indian dengan dua dayungnya yang sedang mengikuti perahu yang sudah melaju di depannya.
Dua perahu tersebut nampak perlahan menghilang ditelan kegelapan. Nick mendengar suara penyangga dayung dari perahu yang lainnya tak jauh dari mereka walaupun tertutup dan tenggelam ditelan kabut. Mereka mendayung hingga air nampak bergelombang. Sementara Nick berbaring disamping ayahnya. Air sungai itu benar-benar sangat dingin, pikirnya. Seorang Indian yang mendayung perahu mereka nampak bekerja begitu keras di bagian depan, namun satu perahu yang lainnya nampak sudah semakin jauh ditelan kabut malam.
“Kemana kita akan pergi, ayah?” tanya Nick.
“Kita akan pergi ke sebuah pemukiman suku Indian. Kabarnya, disana ada seorang wanita Indian yang sedang kesakitan.”
“Oh,” ujar Nick.
Diseberang sana, mereka melihat satu perahu yang nampak sudah berlabuh di tepi pantai. Dan paman George terlihat sedang sibuk menyulut rokoknya di dalam kegelapan. Pemuda Indian itu pun lantas membantu perahu yang lainnya untuk mendarat di tepi pantai yang sama. Dan Paman George memberikan dua rokok pada mereka berdua.
Mereka berjalan dari tepi pantai menuju sebuah padang rumput yang sedikit basah namun sangat indah, sembari tetap mengikuti pemuda Indian yang mengantarkan mereka dengan menggunakan sebuah lentera. Kemudian mereka masuk ke dalam belantara hutan dan mengikutinya sepanjang jalanan setapak untuk sampai ke sebuah bukit. Disana kondisi jalanannya sudah lebih baik dengan nampak beberapa batang pohon yang sudah di tebang di sisi kanan dan kirinya. Si pemuda pun berhenti, dan memadamkan lentera miliknya, kemudian mereka berjalan kembali menyusuri jalan tersebut.
Mereka pun tiba di sebuah tikungan dan seekor anjing menggonggong pada mereka. Tak jauh dari tempat itu nampak beberapa cahaya yang muncul dari tenda-tenda kulit milik para suku Indian. Beberapa anjing bergegas menghampiri mereka. Dan dua orang Indian yang lainnya mendatangi mereka, untuk mengantar mereka ke dalam pemukiman. Di salah satu tenda yang berhiaskan cahaya lampu menyala di dalamnya. Seorang wanita sudah menunggu di pintu masuk, sembari memegang sebuah lentera.
Di dalamnya nampak seorang wanita muda berbaring di atas ranjang. Dan kabarnya, ia sudah berusaha melahirkan seorang bayi selama kurang lebih dua minggu lamanya. Para tetua di pemukiman itu telah berusaha membantunya. Lantas para pria pun keluar dari tenda tersebut dan duduk di jalanan seraya menghisap sepuntung rokok yang ada di tangan mereka, sekaligus menjauh dari tempat dimana si wanita akan melahirkan. Wanita itu tengah menjerit ketika Nick bersama dua orang Indian mengikuti ayahnya dan Paman George untuk masuk ke dalam tenda tersebut. Wanita itu tengah berbaring pada sebuah ranjang yang cukup lebar, yang juga dilengkapi dengan selimut. Kepalanya menengok ke satu sisi. Dan di ranjang yang sama pula, nampak sosok suaminya yang sedang mendampingi sang istri. Dan kabarnya, tiga hari yang lalu, pria itu baru saja memotong kakinya sendiri dengan sebuah kapak. Dan kini ia nampak tengah menghisap pipa rokok disamping istrinya. Membuat ruangan itu benar-benar bau bukan kepalang.
Ayah Nick tengah sibuk memanaskan air di atas tungku, ketika ia berkata. “Wanita ini akan segera melahirkan, Nick,” katanya.
“Aku tahu,” jawab Nick.
“Kau tak mengerti,” ujar ayahnya kembali. “Dengarkan aku. Apa yang ia alami sekarang ini, namanya adalah masa persalinan. Bayi yang ada di dalam perutnya akan segera dilahirkan dan wanita itu pun menginginkannya lahir ke dunia ini. Semua tenaganya akan ia kerahkan untuk melahirkan sang jabang bayi. Itulah mengapa ia menjerit-jerit seperti sekarang.”
“Aku mengerti,” ujar Nick.
Tak lama kemudian, wanita itu kembali menjerit-jerit dengan suara yang begitu keras.
“Ayah, bisakah kau memberinya sesuatu agar ia berhenti menjerit seperti ini?” tanya Nick.
“Tidak, aku tidak punya obat bius,” jawab ayahnya. “Tapi, teriakannya itu bukanlah yang terpenting saat ini. Aku tidak akan khawatir karena itu sangat wajar baginya.”
Sementara sang suami yang berada di atas ranjang nampak tengah berguling ke arah dinding. Disaat bersamaan seorang wanita berkata pada dokter, bahwa air panasnya sudah siap. Ayah Nick pergi ke dapur dan menuangkan setengah air yang mendidih dari dalam bejana ke sebuah baskom. Sementara setengah air yang masih berada di dalam bejana itu, ia masukan beberapa barang di dalamnya yang ia ambil tanpa menggunakan sarung tangan.
“Harus sampai mendidih,” ucapnya, dan segera mencuci tangannya ke dalam air hangat yang sudah dituangkan ke dalam baskom, dan tak lupa juga untuk mencucinya menggunakan sabun yang sudah disediakan di dalam pemukiman. Nick hanya memperhatikan ayahnya mencuci kedua tangannya menggunakan sabun di dalam baskom. Dan sembari mencuci tangannya, ia pun berkata.
“Kau tahu, Nick, ketika seorang bayi lahir, yang pertama kali keluar rahim ibunya, adalah bagian kepalanya terlebih dahulu, tapi bisa saja tidak seperti itu. Dan bila suatu saat nanti, kita merasa ada sesuatu yang salah. Mungkin aku harus membedah wanita itu. Entahlah, kita akan mengetahuinya sebentar lagi.”
Setelah ia selesai mencuci kedua tangannya, ia pun pergi ke dalam dan mulai melakukan tugasnya.
“Apakah selimut itu harus dibuka, George?” tanya dia. “Aku memilih untuk tidak menyentuhnya sama sekali.”
Tak lama kemudian, ia dan Paman George mulai melakukan tugasnya, bersama tiga pria Indian turut membantu memegangi wanita itu agar tetap diam ditempatnya. Namun wanita itu sempat menggigit lengan Paman George dan Paman George berkata, “Sialan! Kau bajingan!” dan seorang pemuda Indian yang juga tengah membantu memegangi wanita itu pun lantas tertawa melihat tingkah lakunya. Nick memegangi baskom berisi air yang diisi oleh ayahnya. Dan itu semua nampaknya akan memakan waktu yang sangat lama.
Ayah Nick menggendong si jabang bayi dan menepuk-nepuknya perlahan untuk memberinya ruang bernafas terlebih dahulu, sebelum ia mulai menyerahkannya kepada seorang wanita tua di dalam tenda itu.
“Lihatlah, seorang bayi laki-laki, Nick,” ujarnya. “Bagaimana, apa kau suka?”
Nick menjawab, “Ya, tentu saja”. Ia melihat ke arah lain seperti tak fokus memperhatikan apa yang sedang dilakukan ayahnya.
“Ini, bawalah,” ujar ayahnya sembari memasukan sesuatu ke dalam baskom.
Nick, juga tak memperhatikan itu.
“Sekarang,” ayahnya berkata, “ada sesuatu yang harus kita jahit. Jika kau mau kau bisa melihatnya, Nick, terserah padamu. Aku akan mulai menjahit sayatan yang aku buat sendiri tadi.”
Nick tak melihatnya. Sebab, ketertarikannya akan hal semacam itu telah pudar sejak beberapa saat yang lalu.
Sementara ayahnya nampak sudah selesai dan langsung berdiri. Sementara Paman George dan tiga pria Indian pun juga ikut berdiri. Lantas, Nick pun membawa baskom itu ke dapur.
Sementara Paman George melihat lengannya. Si pemuda hanya tertawa jika teringat kejadian yang tadi.
“Aku akan memberikannya peroksida, George.” kata dokter padanya.
Ia lalu membungkuk pada wanita itu. Ia nampak lebih tenang sekarang dan matanya masih terpejam. Wajahnya terlihat sangat pucat. Bahkan sampai saat ini, ia tak tahu menahu apa yang terjadi dan bagaimana kondisi bayi yang baru ia lahirkan.
“Aku akan kembali lagi esok pagi,” ucap sang dokter, sembari berdiri. “Dan suster dari St. Ignace juga akan datang kemari siang nanti, dengan peralatan yang kita butuhkan.”
Ia merasa sekejap menjadi orang penting di tempat itu, dan juga ia merasa sudah terlalu banyak bicara seperti para pemain sepakbola di dalam ruang ganti mereka setelah pertandingan usai.
“Masukan yang satu itu ke dalam catatan medis, George,” ungkapnya. “Melakukan operasi sesar, dengan pisau dan menjahitnya dengan total sembilan kali jahitan, di beberapa bagian vital.”
Paman George berdiri membelakangi dinding, seraya terus memandangi lengannya.
“Kau benar-benar lelaki yang hebat,” kata dia.
“Oh tunggu, seharusnya kita melihat sang ayah yang sedang berbahagia itu. Sebab, mereka adalah yang paling menderita di saat-saat seperti ini.” Kata dokter padanya. “Dan aku harus mengakui bahwa, dia sudah melakukan tugasnya dengan sangat baik.”
Ia menata kembali selimut wanita itu seperti semula. Tangannya benar-benar sudah basah kuyup. Dan dia pun berjalan ke tepi ranjang lalu merunduk melihat ke bawah ranjang itu dengan sebuah lentera yang nampak menyala-nyala, guna melihat apa yang ada di bawahnya. Rupanya sang ayah tengah memalingkan wajahnya ke arah tembok. Dengan tenggorokan yang telah tersayat dari satu telinga ke telinga yang lainnya. Sementara darah segar nampak masih mengalir dari tubuhnya yang terperosok dari atas ranjang. Kepalanya nampak tertahan di lengan kirinya. Dan pisau cukur pun ditemukan terlentang dibalik selimutnya.
“Bawa Nick pergi dari sini, George,” perintah dokter saat itu juga.
Sebenarnya itu tidak perlu. Sebab, Nick, saat itu sedang berdiri tepat di ambang pintu dapur, dimana dari posisi itu ia sudah bisa melihat dengan jelas, ketika ayahnya, dengan lentera di tangannya, memiringkan kepala orang Indian itu seperti semula.
Matahari sebentar lagi akan terbit, ketika mereka berjalan menyusuri jalanan setapak guna kembali ke sungai tempat mereka beranjak semalam.
“Maaf sudah membawamu terlibat terlalu jauh, Nickie,” kata ayahnya, “Aku tidak seharusnya mengajakmu melihat semua kekacauan ini.”
“Apakah setiap wanita akan selalu melalui masa-masa sulit ketika melahirkan bayi mereka?”, tanya Nick kemudian.
“Tidak, dan apa yang baru saja terjadi itu, adalah pengecualian.”
“Kenapa dia membunuh dirinya sendiri, Ayah?”
“Entahlah, Nick. Mungkin ia sudah tidak tahan lagi menghadapi banyak hal.”
“Berapa banyak lelaki yang melakukan bunuh diri, Ayah?”
“Tidak begitu banyak, Nick.”
“Apakah kebanyakan adalah wanita?”
“Hampir tak pernah.”
“Mereka tidak pernah?”
“Mereka terkadang melakukannya.”
“Ayah?”
“Ya.”
“Kemana Paman George pergi?”
“Jangan khawatir, dia akan kembali.”
“Apakah meninggal dunia itu menyakitkan, Ayah?”
“Tidak, Aku pikir meninggal itu tidak menyakitkan sama sekali, Nick. Walaupun, ya, semua itu tergantung.”
Mereka duduk di dalam perahu, Nick di bagian belakang perahu, dan sang ayah mendampinginya. Matahari sudah memancarkan cahaya dari ujung bukit. Beberapa hewan sudah saling beradu lompat ke dalam air hingga membentuk gelombang lingkaran jinak di permukaannya. Nick menyentuh air di sekitar perahu. Terasa sedikit hangat rupanya, walaupun udara pagi masih terasa begitu dingin.
Pada satu pagi di sungai itu, sembari terduduk di belakang perahu bersama sang ayah yang setia mendampinginya, ia merasa cukup yakin bahwa ia tak akan pernah mati.
* Berjudul asli, “Indian Camp”, karya Ernest Hemingway. Diterjemahkan langsung dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh, Andika Wahyu Adi Putra.
Nick dan ayahnya nampak langsung masuk ke bagian belakang salah satu perahu, dan tak lama setelah itu, seorang Indian duduk di bagian depan seraya mendayung perahu tersebut menuju pemukiman mereka, sebelum satu perahu yang lainnya membuntuti mereka dari arah belakang. Dan di sana nampak Paman George yang tengah duduk dibagian belakang perahu bersama seorang pemuda Indian dengan dua dayungnya yang sedang mengikuti perahu yang sudah melaju di depannya.
Dua perahu tersebut nampak perlahan menghilang ditelan kegelapan. Nick mendengar suara penyangga dayung dari perahu yang lainnya tak jauh dari mereka walaupun tertutup dan tenggelam ditelan kabut. Mereka mendayung hingga air nampak bergelombang. Sementara Nick berbaring disamping ayahnya. Air sungai itu benar-benar sangat dingin, pikirnya. Seorang Indian yang mendayung perahu mereka nampak bekerja begitu keras di bagian depan, namun satu perahu yang lainnya nampak sudah semakin jauh ditelan kabut malam.
“Kemana kita akan pergi, ayah?” tanya Nick.
“Kita akan pergi ke sebuah pemukiman suku Indian. Kabarnya, disana ada seorang wanita Indian yang sedang kesakitan.”
“Oh,” ujar Nick.
Diseberang sana, mereka melihat satu perahu yang nampak sudah berlabuh di tepi pantai. Dan paman George terlihat sedang sibuk menyulut rokoknya di dalam kegelapan. Pemuda Indian itu pun lantas membantu perahu yang lainnya untuk mendarat di tepi pantai yang sama. Dan Paman George memberikan dua rokok pada mereka berdua.
Mereka berjalan dari tepi pantai menuju sebuah padang rumput yang sedikit basah namun sangat indah, sembari tetap mengikuti pemuda Indian yang mengantarkan mereka dengan menggunakan sebuah lentera. Kemudian mereka masuk ke dalam belantara hutan dan mengikutinya sepanjang jalanan setapak untuk sampai ke sebuah bukit. Disana kondisi jalanannya sudah lebih baik dengan nampak beberapa batang pohon yang sudah di tebang di sisi kanan dan kirinya. Si pemuda pun berhenti, dan memadamkan lentera miliknya, kemudian mereka berjalan kembali menyusuri jalan tersebut.
Mereka pun tiba di sebuah tikungan dan seekor anjing menggonggong pada mereka. Tak jauh dari tempat itu nampak beberapa cahaya yang muncul dari tenda-tenda kulit milik para suku Indian. Beberapa anjing bergegas menghampiri mereka. Dan dua orang Indian yang lainnya mendatangi mereka, untuk mengantar mereka ke dalam pemukiman. Di salah satu tenda yang berhiaskan cahaya lampu menyala di dalamnya. Seorang wanita sudah menunggu di pintu masuk, sembari memegang sebuah lentera.
Di dalamnya nampak seorang wanita muda berbaring di atas ranjang. Dan kabarnya, ia sudah berusaha melahirkan seorang bayi selama kurang lebih dua minggu lamanya. Para tetua di pemukiman itu telah berusaha membantunya. Lantas para pria pun keluar dari tenda tersebut dan duduk di jalanan seraya menghisap sepuntung rokok yang ada di tangan mereka, sekaligus menjauh dari tempat dimana si wanita akan melahirkan. Wanita itu tengah menjerit ketika Nick bersama dua orang Indian mengikuti ayahnya dan Paman George untuk masuk ke dalam tenda tersebut. Wanita itu tengah berbaring pada sebuah ranjang yang cukup lebar, yang juga dilengkapi dengan selimut. Kepalanya menengok ke satu sisi. Dan di ranjang yang sama pula, nampak sosok suaminya yang sedang mendampingi sang istri. Dan kabarnya, tiga hari yang lalu, pria itu baru saja memotong kakinya sendiri dengan sebuah kapak. Dan kini ia nampak tengah menghisap pipa rokok disamping istrinya. Membuat ruangan itu benar-benar bau bukan kepalang.
Ayah Nick tengah sibuk memanaskan air di atas tungku, ketika ia berkata. “Wanita ini akan segera melahirkan, Nick,” katanya.
“Aku tahu,” jawab Nick.
“Kau tak mengerti,” ujar ayahnya kembali. “Dengarkan aku. Apa yang ia alami sekarang ini, namanya adalah masa persalinan. Bayi yang ada di dalam perutnya akan segera dilahirkan dan wanita itu pun menginginkannya lahir ke dunia ini. Semua tenaganya akan ia kerahkan untuk melahirkan sang jabang bayi. Itulah mengapa ia menjerit-jerit seperti sekarang.”
“Aku mengerti,” ujar Nick.
Tak lama kemudian, wanita itu kembali menjerit-jerit dengan suara yang begitu keras.
“Ayah, bisakah kau memberinya sesuatu agar ia berhenti menjerit seperti ini?” tanya Nick.
“Tidak, aku tidak punya obat bius,” jawab ayahnya. “Tapi, teriakannya itu bukanlah yang terpenting saat ini. Aku tidak akan khawatir karena itu sangat wajar baginya.”
Sementara sang suami yang berada di atas ranjang nampak tengah berguling ke arah dinding. Disaat bersamaan seorang wanita berkata pada dokter, bahwa air panasnya sudah siap. Ayah Nick pergi ke dapur dan menuangkan setengah air yang mendidih dari dalam bejana ke sebuah baskom. Sementara setengah air yang masih berada di dalam bejana itu, ia masukan beberapa barang di dalamnya yang ia ambil tanpa menggunakan sarung tangan.
“Harus sampai mendidih,” ucapnya, dan segera mencuci tangannya ke dalam air hangat yang sudah dituangkan ke dalam baskom, dan tak lupa juga untuk mencucinya menggunakan sabun yang sudah disediakan di dalam pemukiman. Nick hanya memperhatikan ayahnya mencuci kedua tangannya menggunakan sabun di dalam baskom. Dan sembari mencuci tangannya, ia pun berkata.
“Kau tahu, Nick, ketika seorang bayi lahir, yang pertama kali keluar rahim ibunya, adalah bagian kepalanya terlebih dahulu, tapi bisa saja tidak seperti itu. Dan bila suatu saat nanti, kita merasa ada sesuatu yang salah. Mungkin aku harus membedah wanita itu. Entahlah, kita akan mengetahuinya sebentar lagi.”
Setelah ia selesai mencuci kedua tangannya, ia pun pergi ke dalam dan mulai melakukan tugasnya.
“Apakah selimut itu harus dibuka, George?” tanya dia. “Aku memilih untuk tidak menyentuhnya sama sekali.”
Tak lama kemudian, ia dan Paman George mulai melakukan tugasnya, bersama tiga pria Indian turut membantu memegangi wanita itu agar tetap diam ditempatnya. Namun wanita itu sempat menggigit lengan Paman George dan Paman George berkata, “Sialan! Kau bajingan!” dan seorang pemuda Indian yang juga tengah membantu memegangi wanita itu pun lantas tertawa melihat tingkah lakunya. Nick memegangi baskom berisi air yang diisi oleh ayahnya. Dan itu semua nampaknya akan memakan waktu yang sangat lama.
Ayah Nick menggendong si jabang bayi dan menepuk-nepuknya perlahan untuk memberinya ruang bernafas terlebih dahulu, sebelum ia mulai menyerahkannya kepada seorang wanita tua di dalam tenda itu.
“Lihatlah, seorang bayi laki-laki, Nick,” ujarnya. “Bagaimana, apa kau suka?”
Nick menjawab, “Ya, tentu saja”. Ia melihat ke arah lain seperti tak fokus memperhatikan apa yang sedang dilakukan ayahnya.
“Ini, bawalah,” ujar ayahnya sembari memasukan sesuatu ke dalam baskom.
Nick, juga tak memperhatikan itu.
“Sekarang,” ayahnya berkata, “ada sesuatu yang harus kita jahit. Jika kau mau kau bisa melihatnya, Nick, terserah padamu. Aku akan mulai menjahit sayatan yang aku buat sendiri tadi.”
Nick tak melihatnya. Sebab, ketertarikannya akan hal semacam itu telah pudar sejak beberapa saat yang lalu.
Sementara ayahnya nampak sudah selesai dan langsung berdiri. Sementara Paman George dan tiga pria Indian pun juga ikut berdiri. Lantas, Nick pun membawa baskom itu ke dapur.
Sementara Paman George melihat lengannya. Si pemuda hanya tertawa jika teringat kejadian yang tadi.
“Aku akan memberikannya peroksida, George.” kata dokter padanya.
Ia lalu membungkuk pada wanita itu. Ia nampak lebih tenang sekarang dan matanya masih terpejam. Wajahnya terlihat sangat pucat. Bahkan sampai saat ini, ia tak tahu menahu apa yang terjadi dan bagaimana kondisi bayi yang baru ia lahirkan.
“Aku akan kembali lagi esok pagi,” ucap sang dokter, sembari berdiri. “Dan suster dari St. Ignace juga akan datang kemari siang nanti, dengan peralatan yang kita butuhkan.”
Ia merasa sekejap menjadi orang penting di tempat itu, dan juga ia merasa sudah terlalu banyak bicara seperti para pemain sepakbola di dalam ruang ganti mereka setelah pertandingan usai.
“Masukan yang satu itu ke dalam catatan medis, George,” ungkapnya. “Melakukan operasi sesar, dengan pisau dan menjahitnya dengan total sembilan kali jahitan, di beberapa bagian vital.”
Paman George berdiri membelakangi dinding, seraya terus memandangi lengannya.
“Kau benar-benar lelaki yang hebat,” kata dia.
“Oh tunggu, seharusnya kita melihat sang ayah yang sedang berbahagia itu. Sebab, mereka adalah yang paling menderita di saat-saat seperti ini.” Kata dokter padanya. “Dan aku harus mengakui bahwa, dia sudah melakukan tugasnya dengan sangat baik.”
Ia menata kembali selimut wanita itu seperti semula. Tangannya benar-benar sudah basah kuyup. Dan dia pun berjalan ke tepi ranjang lalu merunduk melihat ke bawah ranjang itu dengan sebuah lentera yang nampak menyala-nyala, guna melihat apa yang ada di bawahnya. Rupanya sang ayah tengah memalingkan wajahnya ke arah tembok. Dengan tenggorokan yang telah tersayat dari satu telinga ke telinga yang lainnya. Sementara darah segar nampak masih mengalir dari tubuhnya yang terperosok dari atas ranjang. Kepalanya nampak tertahan di lengan kirinya. Dan pisau cukur pun ditemukan terlentang dibalik selimutnya.
“Bawa Nick pergi dari sini, George,” perintah dokter saat itu juga.
Sebenarnya itu tidak perlu. Sebab, Nick, saat itu sedang berdiri tepat di ambang pintu dapur, dimana dari posisi itu ia sudah bisa melihat dengan jelas, ketika ayahnya, dengan lentera di tangannya, memiringkan kepala orang Indian itu seperti semula.
Matahari sebentar lagi akan terbit, ketika mereka berjalan menyusuri jalanan setapak guna kembali ke sungai tempat mereka beranjak semalam.
“Maaf sudah membawamu terlibat terlalu jauh, Nickie,” kata ayahnya, “Aku tidak seharusnya mengajakmu melihat semua kekacauan ini.”
“Apakah setiap wanita akan selalu melalui masa-masa sulit ketika melahirkan bayi mereka?”, tanya Nick kemudian.
“Tidak, dan apa yang baru saja terjadi itu, adalah pengecualian.”
“Kenapa dia membunuh dirinya sendiri, Ayah?”
“Entahlah, Nick. Mungkin ia sudah tidak tahan lagi menghadapi banyak hal.”
“Berapa banyak lelaki yang melakukan bunuh diri, Ayah?”
“Tidak begitu banyak, Nick.”
“Apakah kebanyakan adalah wanita?”
“Hampir tak pernah.”
“Mereka tidak pernah?”
“Mereka terkadang melakukannya.”
“Ayah?”
“Ya.”
“Kemana Paman George pergi?”
“Jangan khawatir, dia akan kembali.”
“Apakah meninggal dunia itu menyakitkan, Ayah?”
“Tidak, Aku pikir meninggal itu tidak menyakitkan sama sekali, Nick. Walaupun, ya, semua itu tergantung.”
Mereka duduk di dalam perahu, Nick di bagian belakang perahu, dan sang ayah mendampinginya. Matahari sudah memancarkan cahaya dari ujung bukit. Beberapa hewan sudah saling beradu lompat ke dalam air hingga membentuk gelombang lingkaran jinak di permukaannya. Nick menyentuh air di sekitar perahu. Terasa sedikit hangat rupanya, walaupun udara pagi masih terasa begitu dingin.
Pada satu pagi di sungai itu, sembari terduduk di belakang perahu bersama sang ayah yang setia mendampinginya, ia merasa cukup yakin bahwa ia tak akan pernah mati.
* Berjudul asli, “Indian Camp”, karya Ernest Hemingway. Diterjemahkan langsung dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh, Andika Wahyu Adi Putra.
0 komentar