Norwegian Wood, Haruki Murakami: Awali Tahun Baru Dengan Kewarasan, Setidaknya.

Januari 01, 2018


Ceritanya, setelah hari-hari menjelang tibanya tahun baru yang saya habiskan dengan melahap kegilaan penulis-penulis Chile dan Argentina, bahkan berkat itu saya bisa terjaga memikirkan kegilaan imajinasi mereka, sekali waktu melakukan eksperimental dengan beberapa tulisan dan cerpen-cerpen yang saya buat setiap malamnya. Hingga satu malam, saya biasa menghabiskan waktu untuk menonton beberapa film yang tertunda belakangan, kebanyakan dari film-film itu berkisah tentang drama, dan itu cukup ampuh sebagai penetralisir, guna mengembalikan kewarasan saya untuk waktu sesaat, setidaknya. Disanalah saya terpikir untuk membaca sesuatu yang waras lagi, setidaknya demi mengawali tahun baru yang cerah ini. Melihat kepada tumpukan “bahan bacaan”, diantara penulis-penulis favorit, ada satu sudut di tumpukan karya Haruki Murakami yang saya rasa belum saya baca, (ada beberapa sebenarnya, tapi saya memilih satu), Norwegian Wood. Beberapa bulan lalu, saya sempat menonton filmnya, bahkan menurut saya terlalu absurd bila dikatakan bahwa itu adalah karya drama-romance realis, namun terlampau mudah dicerna untuk ukuran karya Murakami. Bahkan saya pun sempat menghardik: omong kosong tentang drama realis! senormal-normalnya Murakami, pasti tak akan jauh dari kegilaan pikiran para tokohnya sendiri, jatuhnya pada psychological drama, mungkin.

Tak lama setelahnya saya buka beberapa bab awal di buku itu untuk pertama kalinya, membacanya penuh khidmat versi terjemahan Inggris itu. Kisah diawali dengan pembukaan yang sedikit semiotik dan absurd saya rasa ketimbang bab-bab setelahnya (salah satu bagian yang tak termasuk di versi filmnya), bahkan bila bisa dikatakan, bab itu bisa dipenggal menjadi cerita pendek seperti bab awal, The Wind-Up Bird Chronicle. Tentang narasi seorang Toru beberapa tahun setelahnya, di umur 30-an, yang terjebak diantara memori masa lalu dan masa kini, menuliskan kisahnya sendiri membahas tentang bagaimana sosok Kizuki, dan Naoko yang ia ingat selama ini (sedikit kabur nampaknya) di masa-masa kelam hidupnya, saat ia masih begitu muda. Satu bagian yang juga pendek, dipenuhi kalimat-kalimat romantis yang misterius, saya rasa. Kelebihan Murakami muncul disini, membangun kesan romantis diantara kemisteriusan kata-kata. Mengingatkanku pada cerita-cerita pendek yang pernah dibuatnya. Tidak tanggung bahkan ia membocorkan ending Norwegian Wood, perihal Naoko di awal-awal kisah. Mengingatkanku pada foreashadow gaya Marquez, namun yang ini lebih romantis dan dipoles oleh sentuhan akhir yang dramatis. Tapi, mungkin ini hanya bagi saya dan para pembaca yang mengawalinya dari menonton filmnya terlebih dahulu, namun percayalah Murakami terbilang nekat, atau mungkin tidak pernah terpikirkan oleh dia sebelumnya bahwa part itu yang akan diambil menjadi ending novelnya, terlepas memang kebiasaan dia, menulis tanpa merencanakan alur dan bagaimana kisahnya bisa berakhir. Saya rasa satu kebetulan yang dimanfaatkan. Seperti kebanyakan penulis surealis lainnya, di satu sisi saya akan menjabarkan apa yang sebenarnya diulik dalam novel ini, ini perihal sudut pandang Toru yang terjebak diantara dua lingkup dunia (atau pikiran), yang membuat saya juga tertarik pada karya-karya Murakami pada awalnya. Yaitu, karakter utama khususnya, akan dibuat sendirian dalam keterhimpitan suasana. Bukan situasi yang mengharuskannya, namun psikologis yang dimainkan, Murakami memang terkenal handal jika memainkan psikologis para tokoh-tokoh di dalam kisahnya, singkatnya bisa dilihat dalam kumcer dia Men Without Women Stories, atau the Elephant Vanishes, yang mayoritas dari kisah-kisah yang ia buat itu, memang lebih didominasi oleh psychological drama, bercampur semiotika — condong pada surealistik. Hingga, ketika Toru dan Naoko berada di situasi yang sama, hubungan mereka pun tak bisa jauh dari kelabilan pikiran mereka, terlepas mereka masih diusia dua puluh tahun-an. Kematian seorang sahabat begitu memukul kehidupan mereka, sehingga tak ada yang lebih terpukul daripada seorang wanita yang ditinggal kekasihnya, tanpa kata perpisahan dan sebab musabab.

Sesederhana itu kisah dalam Norwegian Wood, hanya berkutat di antara perasaan Naoko, dan Toru Watanabe, diulas begitu dalam dan panjang dari sisi psikologis keduanya tanpa embel-embel surealisme sama sekali, antara Toru dan Naoko setelah kematian Kizuki, bagaimana mereka berhubungan asmara kemudian, bagaimana Midori akhirnya masuk dalam hidup Toru ketika ia menginjak masa perkuliahan (dengan gaya komikal ala-ala Jepang, tentu saja) begitu tiba-tiba. Membuatnya terjebak diantara pikirannya sendiri, bersama dua gadis yang mengikatnya pada satu rasa yang juga sama. Percakapan tentang seseorang yang jatuh ke dalam lubang yang begitu dalam, kau tak bisa bangkit, dan berdiri diantara kaki-kakimu, ketika laba-laba, kelabang, melahap tubuhmu yang telah lebur menjadi mayit dibawah bumi, tak ada yang bisa kau lakukan bahkan jika itu kau harap kelak akan tiba pertolongan. Mengawali bagaimana rumitnya hubungan antara Toru dan Naoko sejak awal mula kisah, setelah kematian Kizuki. Cukup mengerikan bagi sebuah percakapan asmara antar dua anak manusia, namun begitulah Murakami, keabsurd-an awal dan akhir sebuah kisah yang begitu normal.

You Might Also Like

0 komentar