TONY TAKITANI - Haruki Murakami.

Desember 05, 2017

Tony Takitani, by Jun Ichikawa (Japan, 2004)

Namanya adalah Tony Takitani.

Karena namanya tersebut dan rambutnya yang kriting serta perangainya yang sangat unik, banyak orang yang mengira bahwa ia adalah keturunan campuran. Itu terjadi setelah perang berakhir, dimana banyak anak-anak yang terlahir sebagai keturunan setengah Amerika. Namun ibu dan ayah seorang Tony Takitani bisa dipastikan seribu persen keturunan asli dataran Jepang. Ayahnya, Shozaburo Takitani, adalah pemain trombonis jazz yang begitu sukses, namun empat tahun sebelum Perang Dunia ke dua dia terpaksa pergi meninggalkan Tokyo karena tersangkut masalah yang melibatkan seorang wanita. Jika dia ingin meninggalkan kota, dia telah menyadarinya, bahwa ia mungkin sebaiknya memang pergi, sehingga dia akhirnya menyeberang hingga ke negeri Cina tanpa bekal apapun kecuali alat musik trombon yang selalu melekat ditangannya. Pada saat itu, Shanghai hanya berjarak beberapa hari saja menggunakan sebuah kapal laut dari Nagasaki. Shozaburo tak lagi menemukan apapun di kota Tokyo — atau di tempat manapun di seluruh Jepang — yang bisa membuatnya merasa kalah dan tertantang. Itu sebabnya dia pergi tanpa penyesalan. Dia merasa, Shanghai, dengan segala rupa godaan yang selalu berhasil membuatnya tertarik, mungkin bisa menempa kepribadiannya menjadi lebih baik lagi ketimbang berada di Tokyo. Dia berdiri di atas dek kapal, ia menempuh perjalanan menuju sungai Yangtze, yang untuk pertama kalinya disana ia dapat melihat Shanghai begitu elegan dengan balutan cahaya mentari pagi, dan membuatnya merasa bahwa dia telah berhasil. Cahaya seolah nampak memperlihatkan kepadanya sebuah masa depan yang begitu cerah luar biasa. Ketika itu terjadi dia baru berumur dua puluh satu tahun.

Dan begitulah ia dapat bertahan hidup diantara gejolak perang — dari invasi Jepang ke China yang kemudian dilanjutkan oleh penyerangan Pearl Harbor yang kemudian berakhir dengan jatuhnya dua bom atom. Sementara dia memainkan trombon nya di sebuah klub malam di Shanghai sebagai bentuk usahanya untuk meraih satu hal yang ia tahu bahkan masih sangat jauh untuk digapai olehnya. Shozaburo Takitani adalah seorang lelaki yang tidak terobsesi pada — atau bahkan memikirkan — apapun termasuk pada jalannya sejarah. Dia tidak melakukan atau mencari apapun kecuali hanya bermain trombon, sarapan tiga kali sehari, dan mengencani beberapa wanita yang dekat dengannya. Dia adalah tipikal seorang yang hidup sederhana namun juga sedikit arogan. Namun dengan keegoisannya itu, ia tetap memperlakukan siapapun disekitarnya dengan sangat baik, yang akhirnya membuat siapapun akan menyukai dirinya. Muda, tampan, dan seorang musisi yang bertalenta, dia sangat menonjol dimanapun ia berada seperti seekor gagak di tengah hari yang bersalju. Dia meniduri banyak wanita yang tak lagi bisa ia hitung jumlahnya. Cina, Jepang, Rusia, pelacur, wanita yang telah menikah, gadis yang cantik, dan gadis-gadis yang sama sekali tak cantik: dia melakukannya dengan siapapun yang bisa ia pegang tangannya. Tak lama lagi, trombon dan kemaluannya yang begitu aktif perlahan membuat dirinya sendiri menjadi sebuah sensasi tersendiri di kota Shanghai.

Shozaburo juga terberkahi — hanya ia tak menyadari saja — dengan keahliannya untuk membangun sebuah lingkaran pertemanan yang “berguna”. Dia memiliki hubungan baik dengan para perwira militer, pengusaha, dan segala hal yang sekiranya bisa menuai banyak keuntungan dari perang melalui segala cara yang ilegal. Banyak dari mereka selalu berjaga-jaga dengan membawa pistol atau senjata sejenisnya di dalam jaketnya sendiri dan tak akan pernah meninggalkan sebuah bangunan sebelum jalan-jalan dipastikan aman. Untuk beberapa alasan, Shozaburo Takitani dan mereka mempunyai semacam “hubungan dekat”. Dan mereka akan melindungi apapun masalah yang tengah dihadapi oleh Shozaburo Takitani.

Namun sebuah keahlian terkadang justru bisa menjadi bumerang. Ketika perang sudah berakhir, segala koneksi yang dimiliki Shozaburo malah membuat dirinya sendiri tertangkap oleh militer Cina, dan akhirnya dipenjara untuk beberapa waktu. Hari demi hari, mereka yang dipenjarakan untuk beberapa alasan dibawa keluar dari sel-sel mereka dan akhirnya dieksekusi tanpa dibawa ke meja pengadilan terlebih dahulu. Para penjaga akan muncul, lalu menyeret mereka pada sebuah lapangan di dalam penjara, dan langsung meledakan kepala mereka dengan senjata-senjata otomatis. Shozaburo mengira bahwa dirinya akan mati di dalam penjara. Namun mati di dalam penjara tak sekalipun membuatnya gentar. Mereka akan menembak kepalanya, dan semua ini akan berakhir. Hanya rasa sakit yang dirasakan dalam sepersekian detik saja. Aku telah hidup dengan apa yang aku mau selama beberapa tahun ini, gumamnya. Aku telah tidur dengan banyak wanita. Aku makan dengan banyak sekali makanan yang enak, dan banyak lagi waktu yang telah dilalui. Tidak ada sama sekali waktu yang membuatku merasa telah melewatinya dengan percuma. Disisi lain, Aku tidak memiliki alasan untuk menolak dihukum mati. Sebab ini semua adalah takdir. Ratusan orang-orang Jepang telah mati dalam medan perang, dan bahkan banyak dari mereka mendapatkan nasib yang lebih buruk itu.

Seperti yang sudah ditunggu-tunggu, Shozaburo melihat awan bergerak diantara jeruji-jeruji besi jendela mungilnya dan perlahan menggambarkan pada tembok sel yang begitu kotor sebuah gambar tubuh seorang wanita yang pernah tidur dengannya. Walaupun pada akhirnya, ia bisa keluar juga dan menjadi satu-satunya tahanan warga negara Jepang yang meninggalkan penjara dan bisa kembali lagi ke Jepang. Pada saat itu, banyak orang, dan juga para perwira tinggi militer, sudah kehilangan akal sehat mereka. Shozaburo masih berada di atas dek kapal, dan ia masih melihat pemandangan kota Shanghai yang perlahan semakin menjauh, Kehidupan: Aku tidak mengerti sama sekali.

Tragis, tanpa sesuatu yang bisa ia perbincangkan, Shozaburo Takitani kembali ke Jepang pada musim semi 1946, sembilan bulan setelah perang berakhir. Dia menemukan rumah keluarganya telah habis terbakar ketika serangan udara melanda Tokyo pada Maret 1945, dan mereka semua meninggal. Saudara lelaki nya menghilang tanpa jejak ketika sedang berada di Burma. Dengan kata lain, Shozaburo kini hanya sendirian di dunia. Ini tidak membuatnya terkejut, bagaimanapun; segalanya tidak sama sekali membuatnya benar-benar bersedih. Dia melakukannya, tentu saja, menghadapi setiap ketiadaan, namun satu yang diyakininya bahwa pada akhirnya setiap orang akan kembali pada kesendiriannya, atau kelak suatu hari nanti. Ketika dia telah berumur tiga puluh tahun, dan telah melewati masa-masa mengeluh terhadap kesendiriannya. Dia merasa waktu berlalu begitu cepat. Namun hanya itu saja. Tidak ada sama sekali perasaan lain yang mengendap di dalam dirinya.

Sekali waktu, Shozaburo menyadari bahwa ia harus segera bangkit, dan harus mulai berfikir untuk terus menjalani hidup.

Karena ia sadar hanya satu pekerjaan, yang bisa ia jalani dengan kawan lamanya — trombon kesayangannya — dan bersama-sama bermain musik jazz di dalam wilayah militer Amerika. Ia bisa memanfaatkan talentanya untuk menjalin pertemanan diantara banyak pasukan Amerika yang menyukai musik jazz, seorang keturunan Italia-Amerika dari New Jersey dapat bermain klarinet. Hanya saja mereka berdua akhirnya tak memiliki kecocokan antara satu sama lain. Sementara seorang perwira di bagian jurumudi kapal, yang juga seorang Mayor bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan, bahkan langsung dari Amerika Serikat, dan Shozaburo akan ikut sekali waktu dengannya hanya untuk mendengarkan musik jazz dari Bobby Hackett, Jack Teagarden, dan Benny Goodman, seraya belajar sebanyak mungkin untuk berkenalan dan mendekati mereka. Sang Mayor pun menyediakan segala kebutuhannya dari makanan, susu, bahkan minuman keras, dimana semua hal itu masih sulit didapatkan pada masa-masa seperti ini. Tidak buruk, pikir Shozaburo, setidaknya tidak begitu buruk untuk sekedar bisa bertahan hidup.

Pada 1947, dia menikah dengan seorang sepupu dari garis keluarga Ibunya. Mereka kebetulan bertemu suatu hari saat berada di jalanan, minum teh bersama, berbagi kabar tentang keluarga masing-masing dan berbicara tentang rencana di hari tua nanti. Tak lama akhirnya mereka hidup bersama — mungkin karena si wanita telah hamil. Namun, itu adalah satu hal yang Tony Takitani dengar dari ayahnya. Ibunya adalah sosok gadis yang cantik, dan pendiam, namun kondisinya tidak begitu sehat. Dia melahirkan Tony pada tahun yang sama dimana mereka melangsungkan pernikahan, dan tiga hari kemudian ia meninggal dunia. Ia pun akhirnya segera dikremasi, dengan diam-diam dan dalam waktu yang sangat singkat. Ia telah memiliki riwayat penyakit komplikasi sebelumnya namun tak pernah membicarakannya pada siapapun. Lalu pergi begitu saja, seperti seseorang yang berada di belakang panggung yang kemudian tiba-tiba menjentikan saklar.

Shozaburo Takitani tak tahu bagaimana ia harus bersikap setelah mendengar hal tersebut. Dia merasa seperti orang asing dengan perasaan yang bergejolak tak menentu. Dia seperti tak dapat memahami tentang kematian itu,  atau bahkan mendapatkan sebuah makna tentang apa sesungguhnya arti dari kematian itu bagi dirinya sendiri. Semua yang ia bisa lakukan hanyalah menelan segalanya dengan mentah-mentah, semua itu hanya seperti sebuah penghalang yang sangat datar. Dan juga ia memang merasakannya, sebuah perasaan yang sangat datar dan hambar, seperti sebuah cakram yang tengah bernaung di dalam dadanya. Apa itu, atau mengapa itu ada di dalam sana, dia bahkan tak tahu harus berkata apa. Benda itu hanya diam di tempatnya saja dan seolah mencegah dirinya untuk berfikir lebih tentang apa yang sedang terjadi baru saja. Dia tak merasakan apapun untuk beberapa minggu setelah kematian istrinya. Dia bahkan melupakan si jabang bayi yang masih ia tinggalkan di dalam rumah sakit.

Sang Mayor selalu mengajak Shozaburo kemanapun ia pergi dan selalu berusaha untuk menghiburnya. Hingga mereka pun sering mabuk bersama-sama di basis militer hampir setiap hari. “Kau harus mencoba sedikit menahan diri,” sang Mayor mengatakan pada Shozaburo. “Satu hal yang harus kau lakukan adalah membesarkan anak itu dengan cara yang benar.” Kata-kata itu tak berarti apapun untuk seorang Shozaburo, yang hanya terus bungkam. “Hei, aku tahu,” sang Mayor menambahkan pada satu hari. “Mengapa kau tidak membiarkan aku menjadi walinya saja? Aku akan memberinya sebuah nama.” Oh, Shozabura kembali teringat, bahwa ia bahkan lupa memberi anaknya sebuah nama.

Sang Mayor mengusulkan sebuah nama depan — Tony. Tony bukanlah nama bagi seorang keturunan Jepang, tentu saja, namun rupanya ia tidak pernah menolak ide tersebut. Ketika Shozaburo kembali ke rumah, dia menuliskan nama Tony Takitani pada selembar kertas dan menempelkannya pada dinding. Dia terus menatap kertas itu selama beberapa hari. Tony Takitani. Tidak terlalu buruk. Tidak terlalu buruk. Lagipula pendudukan Amerika di tanah Jepang akan segera berakhir, ia pikir, sebuah nama yang bergaya Amerika sepertinya akan berguna bagi si anak satu saat nanti.

Namun untuk anak itu sendiri, mungkin, hidup dengan nama seperti itu rasanya sedikit konyol. Teman-temannya di sekolah sering menjulukinya seorang “blasteran,” dan apapun yang ia jelaskan pada semua orang tentang namanya, mereka hanya akan membalas dengan ekspresi yang kebingungan atau justru dengan rasa tidak suka. Sebagian orang mengira bahwa itu adalah lelucon yang sangat buruk, dan yang lainnya akan merespon dengan penuh amarah. Sementara untuk orang-orang tertentu, bertatap muka secara langsung dengan seorang anak bernama Tony Takitani hanya akan membuka luka-luka lama.

Hal-hal seperti itu hanya membuat si anak terisolasi dari dunia luar. Dia tak pernah memiliki seorang teman dekat, namun itu tidak membuatnya kesal. Karena dia akhirnya bisa menjadi diri sendiri: membuatnya menjadi semacam alasan untuk terus bertahan hidup. Ayahnya selalu berkeliling dengan grup musiknya, dan ketika Tony masih kanak-kanak, ia hanya dijaga oleh seorang penjaga rumah yang akan menemaninya selama beberapa hari. Namun ketika ia masuk sekolah menengah, ia tak lagi memerlukan penjagaan. Dia mulai bisa memasak untuk diri sendiri, mengunci setiap ruangan ketika malam, dan tidur sendirian. Walaupun sepertinya akan lebih baik jika ada orang yang selalu mengomelinya setiap saat.
Shozaburo Takitani tidak pernah menikah lagi. Walaupun dia memiliki banyak sekali kekasih, tapi tak pernah sekalipun dari mereka yang ia bawa ke rumahnya.  Seperti anaknya, dia lebih suka mengurusi dirinya sendiri. Ayah dan anak tidaklah berbeda satu sama lain seperti yang sering dibayangkan banyak orang. Tetapi, menjadi orang seperti mereka, yang lebih suka bergulat dengan kesendiriannya, tak memiliki keinginan sedikit pun untuk membuka hati mereka pada siapapun. Shozaburo Takitani tidaklah cocok sama sekali menjadi seorang Ayah, dan Tony Takitani pun juga tak pantas menjadi seorang anak. Mereka berdua merasa bahwa hal itu tidaklah penting.

Tony Takitani suka sekali menggambar, dan dia menghabiskan banyak waktu di dalam ruangannya, sendirian, hanya untuk melakukan hal tersebut. Terutama menggambar sebuah mesin, ia begitu menyukainya. Seraya berusaha menjaga pensilnya tetap runcing, dia akan menggambar dengan sangat jelas, akurat, dan sangat detil terutama dalam menggambar sepeda, radio, mesin, dan apapun yang sekiranya ia sukai. Jika ia menggambar tanaman, dia pun akan menggambarnya sangat detil bahkan hingga garis-garis di permukaan daunnya. Itu adalah satu-satunya cara yang ia tahu dalam menggambar. Perolehan nilainya dalam mata pelajaran seni, sangat berbeda dari nilainya di mata pelajaran yang lain, dimana dia selalu mendapat nilai yang tertinggi, dan biasanya ia pun selalu memenangkan juara satu di lomba-lomba seni tingkat sekolah.

Jadi itu adalah hal yang wajar bagi Tony Takitani untuk melanjutkan pendidikan di sekolah seni demi mengejar karir menjadi seorang illustrator. Tidak ada sama sekali yang tak mungkin bagi dirinya. Ketika para pemuda disekelilingnya masih selalu mengikuti jalur yang telah disiapkan untuk mereka tempuh dalam hidupnya, dia tetap akan selalu menggambar tanpa terganggu oleh apapun.  Dan, karena masa itu adalah masa dimana banyak anak-anak muda yang masih mencari jati diri melalui berbagai cara bahkan dengan kekerasan sekalipun, tak ada diantara mereka yang seusia dengan Tony Takitani yang melihat adanya peluang dari sebuah seni yang sesungguhnya. Hingga satu saat seorang professor di sekolah seni melihat karyanya dengan senyum sumringah. Kawan-kawannya mengkritisi karyanya seperti sesuatu yang sangat idealis. Namun sebaliknya, Tony sendiri tak bisa melihat apa yang hebat dari karya tersebut, sebagai sebuah karya yang katanya sangat idealis. Baginya itu semua hanyalah sebuah kegagalan, buruk, dan sama sekali tidak sempurna.

Ketika ia lulus dari Universitas, rupanya, semua berubah sangat drastis. Berkat teknik menggambar realistis yang ia miliki, Tony Takitani tak pernah berjumpa hambatan dalam mencari pekerjaan. Tak ada satupun yang bisa menandingi keahliannya dalam menggambar mesin dan arsitektur yang begitu rumit. “Mereka nampak begitu nyata daripada yang aslinya,” kata semua orang. Sketsa yang ia buat nampak begitu detail melebihi detail sebuah foto sekalipun, dan juga gambar yang dibuatnya sudah begitu jelas bahkan tak perlu lagi keterangan tambahan oleh kata-kata. Karena itulah, dia adalah salah satu illustrator yang harus dimiliki oleh banyak orang. Dan dia pun menjalani segalanya — dari sampul-sampul majalah otomotif hingga illustrator periklanan. Dia menikmati pekerjaannya, dan dia menghasilkan banyak uang dari itu semua. Tanpa hobi yang bisa menguras tenaganya, dia sudah terbilang berhasil ketika baru menginjak usia tiga puluh lima tahun. Dia pindah ke sebuah rumah yang cukup megah di Setagaya, sebuah kota yang terletak di pinggiran kota yang cukup makmur, dan ia juga memiliki sebuah apartemen yang ia sewakan. Dan seorang akuntan ditugaskan untuk mengawasinya setiap saat.

Pada saat itulah, Tony banyak menjalin hubungan dengan para wanita. Dia bahkan pernah tinggal dengan salah satu dari mereka, namun hanya sesaat. Tapi ia tak sekalipun pernah tertarik untuk menikah, tak pernah terpikirkan olehnya untuk melakukan hal itu. Memasak, membersihkan, dan mencuci, dia bisa melakukan segalanya sendirian, dan ketika pekerjaan membuat dirinya tak dapat melakukan hal-hal tersebut, ia pun akan meminta seorang penjaga rumah untuk menggantikannya sementara. Dia tak pernah merasa ingin memiliki keturunan. Ia pun tak memiliki pesona yang begitu spesial seperti ayahnya, dan dia juga tak memiliki seorang pun teman yang mau datang padanya pada satu waktu untuk menawarkan bantuan atau berbagi rahasia satu sama lain, atau mungkin pergi minum bersama di luar sana. Namun ia memiliki hubungan baik pada semua orang yang ia temui setiap harinya. Tidak arogan atau sejenisnya. Dia tak pernah memaksakan dirinya sendiri, ataupun sedikit berbicara kepada orang lain, namun hampir semua orang yang mengenalnya pasti akan menyukainya. Dia mengunjungi ayahnya tidak lebih dari dua atau tiga tahun sekali, itupun jika dirinya sedang memerlukan sesuatu. Ketika urusannya sudah selesai, tidak ada satupun dari mereka yang berkata satu sama lain. Begitulah, hidup seorang bernama Tony Takitani, begitu damai dan tenang.

Hingga satu hari, tanpa pertanda apapun, Tony Takitani jatuh cinta pada seseorang. Gadis itu bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan penerbitan, dan satu hari gadis itu datang ke kantornya untuk mengambil sebuah illustrasi. Usianya dua puluh satu tahun dan dia adalah tipe seorang gadis yang pendiam namun memiliki senyuman yang anggun. Sosoknya cukup ramah namun, ia selalu berbicara secara langsung tanpa basa-basi, dan dia memanglah bukan seorang gadis yang sempurna. Tapi tetap saja, ada sesuatu di dalam sosoknya yang membuat Tony Takitani merasa jatuh hati padanya. Ketika pertama kali ia melihat gadis itu, dadanya terasa sesak, dan berdegub sangat kencang. Membuatnya tak bisa berkata apapun pada gadis itu, bahwa saat itu ia seolah merasa sedang dipukul bertubi-tubi.

Satu hal selanjutnya yang menarik perhatiannya adalah pakaian si gadis. Dia sebenarnya tak sadar bahwa tampilannya tak jauh berbeda dengan yang lainnya, namun ada sesuatu yang begitu indah tentang cara berpakaian si gadis yang begitu menyita perhatiannya; dan ya, bisa dibilang seperti itu. Banyak para wanita disekitarnya yang berpakaian lebih elegan, dan memakai cara berpakaian yang lebih menarik, namun gadis itu berbeda. Jelas-jelas sangat berbeda. Dia memakai pakaiannya dengan begitu natural namun begitu anggun seolah seekor burung yang tengah membiarkan dirinya melayang di udara menuju pada sebuah dunia yang berbeda. Dia tak pernah melihat seorang wanita berpakaian seperti itu sebelumnya.

Setelah gadis itu pergi, dia masih terus terdiam dibalik mejanya, seperti orang yang linglung, tidak melakukan apapun hingga malam menjelang dan ruangan perlahan diselimuti oleh kegelapan.

Pada hari selanjutnya, dia menghubungi kantor penerbitan dan berpesan pada gadis itu untuk datang ke kantornya lagi. Ketika urusan mereka telah beres, dia mengajaknya untuk makan malam. Mereka mengobrol sejenak seraya menyantap makanan. Meskipun usia mereka terpaut lima belas tahun, mereka ternyata memiliki banyak kesamaan, sedikit aneh memang. Mereka saling menikmati topik yang tengah dibicarakan. Walaupun dia atau si gadis memang belum terlalu lama saling mengenal. Gadis itu nampak sedikit gugup pada awalnya, namun perlahan ia bisa lebih santai, hingga dirinya bisa tertawa begitu lepas.

“Kau rupanya sangat paham bagaimana caranya berpakaian,” Tony berkata padanya ketika mereka akan berpisah.

“Aku suka dengan pakaian.” Jawab dia, dengan senyum manis di wajahnya. “Banyak sekali uang yang aku habiskan hanya untuk membeli pakaian.”

Selang beberapa hari setelahnya. Mereka hanya pergi ke tempat-tempat tertentu saja, terutama tempat-tempat yang rasanya begitu sunyi dan bisa digunakan untuk terus duduk dan mengobrol sepanjang waktu — tentang masa lalu, tentang pekerjaan, tentang apa yang sedang mereka rasakan dan pikirkan tentang suatu hal. Mereka tak pernah lelah untuk mengobrol. Dan itu selalu mereka lakukan terutama di waktu-waktu senggang.
Kelima kalinya mereka bertemu, dia akhirnya melamar si gadis. Namun ternyata si gadis telah terlebih dahulu memiliki seorang kekasih yang hubungan mereka telah terajut sejak masa sekolah menengah. Hubungan mereka menjadi lebih dekat dari waktu ke waktu, dia mengakuinya, bahwa belakangan, mereka sekarang ini selalu bertengkar karena satu hal yang konyol setiap kali mereka bertemu. Bagaimanapun, si gadis tentu menyadari bahwa dia tidak pernah merasakan kebahagiaan dan kedekatan seperti yang ia kini rasakan setiap kali bertemu Tony Takitani, tetap saja, itu tidak berarti bahwa si gadis bisa dengan gampangnya mengakhiri hubungan dengan kekasihnya sendiri. Ia tentu memiliki alasan tersendiri, dimanapun mereka berada. Lagipula, mereka terpaut usia lima belas tahun. Dirinya masih muda dan belum banyak pengalaman. Membuatnya takut bahwa usia yang berjarak cukup jauh mungkin bisa berimbas pada hubungan mereka di masa yang akan datang. Si gadis pun berkata bahwa ia perlu waktu untuk memikirkannya.
Waktu sedemikian berlalu, hari-hari yang dihabiskan si gadis untuk mempertimbangkan lamarannya, juga adalah masa-masa yang begitu menyiksa bagi seorang Tony Takitani. Ia bahkan tak dapat kembali fokus bekerja. Ia selalu mabuk, dan selalu menyendiri. Akhirnya, kesendirian itu menyebabkannya kehilangan berat badan, membuatnya merasa dipenjara oleh rasa sakit yang luar biasa. Aku tak pernah menyadari hal itu sebelumnya, gumam dia. Dengan mata yang sayu, ia terus meratapi kebodohannya, dinding yang begitu dingin seolah membisikan padanya, dan ia berpikir, jika dia kelak berkata tak ingin menikah denganku, mungkin itu adalah saatnya aku untuk mengakhiri hidup.
Ia datang pada si gadis dan berkata padanya apa sebenarnya yang ia tengah rasakan. Begitu kesepiannya dia hingga sekarang. Berapa tahun yang telah ia buang dengan percuma. Bagaimana si gadis itu akhirnya bisa membuat dia tersadar akan semuanya.
Dia adalah wanita muda yang cerdas. Dia ditakdirkan untuk menyukai sosok seorang Tony Takitan. Ia pun sudah memikirkannya dengan matang-matang sejak awal, setiap pertemuan diantara keduanya hanya akan membuatnya selalu menyukai Tony, lebih dan lebih lagi. Mungkin itu bisa dibilang rasa “cinta” hanya saja dia tak pernah menyadarinya. Namun si gadis tahu bahwa Tony memiliki sesuatu yang menarik di dalam dirinya, dan akan membuatnya senang jika kelak ia harus menikah bersamanya. Dan akhirnya mereka pun memutuskan untuk menikah.

Dengan menikahi dia, Tony Takitani mengakhiri masa-masa lajangnya. Ketika ia terbangun pada pagi hari, satu hal yang akan ia lakukan adalah melihat istrinya. Ketika ia melihat istrinya tertidur disampingnya, dia merasa tenang. Namun ketika istrinya tak berada di sana, dia akan merasa gelisah dan mencarinya ke setiap sudut rumah. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya untuk tidak lagi mau merasakan pahitnya kesendirian. Kenyataan bahwa ia tak lagi sendiri adalah satu-satunya alasan mengapa ia takut untuk kembali masuk dalam lubang yang sama. Pertanyaan pun terbesit dalam benaknya: Apa yang akan dia lakukan? Terkadang ketakutan ini akan selalu membuatnya berkeringat dingin. Karena ia telah terbiasa dengan kehidupan barunya, dan kemungkinan bahwa istrinya akan tiba-tiba menghilang pun terasa semakin kecil, dan kecemasan itu pun perlahan-lahan akan mereda. Pada akhirnya, ia mencoba untuk lebih bisa mengendalikan dan menenangkan diri sendiri.

Satu hari, sang istri ingin mendengarkan musik yang sedang dimainkan oleh ayah mertuanya. “Apakah kau berpikir bahwa ia akan keberatan jika kita mendengarkannya bermain?” ia bertanya.
“Mungkin tidak,” jawab Tony.

Mereka pergi ke sebuah klub malam di Ginza, tempat dimana Shozaburo Takitani sedang tampil. Ini adalah pertama kalinya bagi Tony Takitani menyaksikan ayahnya yang sedang tampil sejak terakhir ia menyaksikannya pada usia yang masih kanak-kanak. Shozaburo masih bermain dengan cara yang sama, dan lagu yang sama dengan yang sering Tony dengarkan dahulu kala. Cara Shozaburo bermain sungguh halus, elegan, dan tenang. Itu bukanlah seni, namun itu adalah musik yang dimainkan oleh tangan-tangan yang sudah sangat professional, dan itu dapat membuat penonton semakin merasa nyaman.
Segera, sesuatu tiba-tiba membuat Tony Takitani sesak nafas, seolah-olah ia adalah sebuah pipa sempit yang sedang terisi penuh, namun hal itu tak terelakkan, seperti terus mengendap, dan bahkan ia sulit untuk berdiam diri di tempatnya kini. Ia tak bisa memungkiri bahwa ia merasakan musik yang ia dengarkan kini sedikit berbeda dari musik yang ia dengarkan dari ayahnya dahulu. Tentu saja, terakhir kali ia mendengarkan musik itu adalah bertahun-tahun yang lampau, dan ia mendengar musik itu menggunakan telinga seorang anak kecil, dan tentu saja waktu telah sekian lama berlalu, namun tetap perbedaan itu terasa begitu penting baginya. Walaupun kecil namun begitu terasa. Ia ingin naik ke atas panggung tersebut, memegang lengan ayahnya, dan bertanya, “Ayah, apa ini? Apakah musik ini memang sudah berubah?” Namun ia nyatanya memilih untuk tidak melakukan apapun. Ia mungkin tak akan pernah tahu apa yang ada dalam benak Ayahnya. Dan kini, ia masih tetap duduk di tempatnya hingga pertunjukan berakhir, dan telah minum banyak sekali daripada yang biasa ia lakukan. Ketika semuanya berakhir, dia dan istrinya memberikan tepuk tangan dan kembali pulang ke rumah mereka.
Pasangan itu menjalani masa-masa pernikahan tanpa masalah apapun. Mereka tak pernah bertengkar, dan mereka menghabiskan banyak waktu bahagia bersama, berjalan-jalan, menonton film, berlibur. Serta karir seorang Tony Takitani pun semakin menanjak dibandingkan dengan sebelumnya, dan, untuk seseorang yang masih di usia sangat muda, istrinya sudah begitu handal dalam mengurusi rumah mereka. Namun disana ada satu hal yang menjadi perhatian utama Tony terhadap istrinya, adalah kecenderungan sang istri yang gemar membeli banyak pakaian. Sebab ia seperti tak mampu menahan diri, setiap kali bertemu dengan kumpulan pakaian baru. Tatapan dan suaranya sekejap akan berubah. Ketika pertama kali ia menyadari hal ini terjadi, Tony Takitani mengira bahwa ia sedang sakit. Walaupun ia sudah mengetahui hal ini sebelum mereka menikah, namun hal itu ternyata menjadi semakin buruk, terutama pada saat mereka merayakan bulan madu. Ia menghabiskan terlalu banyak uang ketika mereka berbelanja sembari berkeliling Eropa. Di kota Milan dan Paris, dia pergi dari satu butik ke butik yang lain, dari pagi hingga malam, seperti seorang yang sedang terobsesi oleh pakaian. Mereka akhirnya tak jadi berlibur. Bukan Duomo atau Louvre, justru mereka melihat-lihat Valentino, Missoni, Saint Laurent, Givenchy, Ferragamo, Armani, Cerutti, Gianfranco Ferr. Terpesona akan segalanya, istrinya membeli semua yang bisa ia dapatkan, dan Tony akan selalu mengikutinya dari belakang, seraya rajin berdoa untuk setiap tagihan belanja yang akan terpampang dihadapannya. Dia bahkan sempat khawatir bahwa saldo di dalam kartu kreditnya akan habis karena tingginya setiap tagihan yang muncul.

Kebiasaan itu bahkan tak mereda sedikit pun ketika mereka kembali ke Jepang. Istrinya masih kerap membeli baju-baju baru hampir setiap hari. Perlahan namun pasti jumlah pakaiannya kian bertambah. Untuk menyimpannya, bahkan Tony harus menyediakan satu ruangan yang cukup luas. Ia pun memiliki sebuah kabin khusus untuk sepatu-sepatu istrinya. Walaupun begitu, ruangan yang tersedia masih tetap belum cukup untuk menyimpan semua pakaian istrinya. Pada akhirnya, dia merancang semua ruangan seolah-olah sebuah lemari pakaian. Mereka punya cukup banyak ruang di rumah mereka yang cukup besar, dan uang bukanlah sebuah masalah. Disamping itu semua, istrinya memiliki sebuah pekerjaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan belanjanya, dan ia nampak begitu bahagia setiap kali memiliki pakaian-pakaian baru, dimana dengan hal itu Tony tak pernah merasa keberatan. Tak ada yang sempurna, gumamnya.

Ketika koleksi pakaian dirasa sudah terlampau penuh sesak di ruangan khususnya. Tony Takitani akan mulai merasa khawatir. Satu kali, ketika istrinya sedang keluar rumah, dia akan menghitung jumlah pakaiannya. Dia berusaha mencari tahu bahwa istrinya masih mengganti pakainnya dua kali dalam sehari dan hal itu rupanya tak berubah sama sekali selama hampir dua tahun terakhir. Ia terlalu sibuk membeli pakaian-pakaian baru hingga ia sendiri tak sempat memakai mereka semua. Tony khawatir bahwa istrinya memiliki kelainan kejiwaan. Jika itu benar, mungkin dia harus segera menghentikan kebiasaannya itu untuk beberapa saat.

Akhirnya dia memberanikan diri pada satu malam setelah usai makan malam. “Aku harap kau mau untuk sedikit mengurangi kebiasaanmu membeli banyak pakaian,” dia berkata melanjutkan. “Ini bukan tentang uang. Dan aku sedang tak membicarakannya sekarang. Aku tak keberatan bila kau membeli apa yang kau butuhkan, dan dengan melihatmu bahagia aku akan merasa bahagia juga, tapi, apakah kau benar-benar membutuhkan pakaian sebanyak itu?”
Istrinya sekejap menunduk dan berfikir untuk beberapa saat. Kemudian ia kembali melihat Tony, “Kau benar, tentu saja. Aku tak butuh banyak sekali pakaian. Aku tahu itu. Tapi, bahkan bila aku sudah menyadarinya, aku tetap tak bisa menahan diriku sendiri. Ketika aku melihat pakaian yang bagus, aku selalu ingin membelinya. Entah apakah kelak aku akan membutuhkannya, atau apakah nyatanya aku sudah memiliki banyak pakaian,  namun tetap saja aku tak sanggup menahan diri.” Ia akhirnya berjanji untuk mencoba menahan diri. “Jika aku terus melakukannya, seluruh rumah pasti akan dipenuhi oleh koleksi pakaianku sendiri, dan aku tak ingin hal itu sampai terjadi.”

Dan ia kemudian mengunci dirinya sendiri di dalam kamar selama berminggu-minggu, dan mencoba sebisa mungkin untuk menjauh dari toko-toko pakaian. Ini adalah masa-masa yang begitu berat baginya. Ia seperti berjalan diatas permukaan planet yang hampa udara. Dia menghabiskan banyak waktu di dalam ruangan yang dipenuhi oleh koleksi pakaiannya., memungutnya satu persatu hanya untuk sekedar melihat-lihat saja. Lalu menciumi bahannya, menghirup aromanya, memakainya, dan memandang dirinya sendiri di depan kaca. Namun semakin lama ia memandangnya, ia semakin ingin membeli yang baru. Hasrat untuk membeli pakaian baru semakin tak tertahankan. Dan ia akhirnya tak tahan dengan itu semua.
  Dia kemudian melakukannya, demi rasa cinta pada sang suami. Ia sadar bahwa apa yang dikatakan suaminya memang benar. Ia akhirnya menghubungi butik favoritnya dan mengatakan pada pemilik butik, bahwa ia ingin mengembalikan mantel dan semua pakaian yang baru ia beli sepuluh hari yang lalu namun tak pernah sekalipun ia kenakan. “Tentu saja, nyonya.”, balas si pemilik toko padanya. Ia adalah salah satu pelanggan terbaik di toko tersebut; mereka akan bersedia melakukan apapun untuknya.  Ia pun akhirnya membawa mantel dan gaun dengan sangat raut wajah yang sedih ke dalam mobil Renault Cinque miliknya, dan kemudian lekas pergi ke distrik Aoyama yang terkenal sebagai kawasan fashion. Disana ia mengembalikan pakaiannya dan menerima uang kembali. Ia kemudian lekas kembali menuju mobil, berusaha untuk tidak melihat apapun lagi di dalam toko itu, dan langsung kembali ke rumahnya. Dan hanyalah perasaan lega karena telah mengembalikan pakaian itu yang kini sedang ia rasakan. Dan kemudian, ia bergumam, bahwa itu memang benar: Ia sebenarnya tak terlalu memerlukan itu semua. Aku sudah memiliki cukup banyak mantel, gaun, dan pakaian-pakaian yang bisa ku kenakan di sisa hidupku sekarang. Tapi, seraya menunggu lampu merah berganti warna, yang bisa ia pikirkan hanyalah tentang mantel dan koleksi pakaiannya saja. Warna, potongan, dan tekstur: dia mengingat hal-hal tersebut hingga detail terkecil sekalipun. Ia bisa membayangkan semua itu dengan begitu jelas seolah mereka sedang berada di hadapannya sekarang. Hingga keringat nampak mengucur deras dari dahinya saat itu, dengan tangan tetap di atas kemudi mobil, ia memegangnya begitu lama, menghirup nafas dalam-dalam dan menutup matanya kemudian. Ketika ia membuka matanya kembali, ia melihat lampu dihadapannya telah berubah warna menjadi hijau. Sekejap saja, dia langsung menekan gas mobilnya.
Sementara sebuah truk besar yang mencoba melewatinya melintas dari persimpangan lampu kuning tersebut, sebelum akhirnya menghantam sisi mobil Renault miliknya dengan kecepatan tinggi. Hanya saja, sampai disana dia tidak merasakan apapun sama sekali.

 Tony Takitani berada di ruangan yang penuh dengan banyak sekali gaun dan seratus dua belas pasang sepatu. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan dengan itu semua. Dia pun tak mungkin juga untuk menghabiskan seluruh hidupnya dengan menyimpan seluruh koleksi pakaian milik istrinya, jadi ia pun menghubungi seorang pedagang dan sepakat untuk menjual koleksi-koleksi topi dan segala aksesoris tersebut dengan harga awal yang ditawarkan oleh si pedagang. Stoking dan koleksi pakaian dalam istrinya pun ia kumpulkan bersama dan kemudian ia bakar di tempat pembakaran sampah. Ada masih banyak pakaian dan sepatu yang harus ia buang, jadi ia langsung meninggalkannya. Setelah membuang dan mengubur mereka semua, ia masuk ke dalam rumah, dan seharian itu ia habiskan untuk memandangi deretan pakaian milik istrinya tersebut.
Sepuluh hari kemudian, Tony Takitani meletakan iklan lowongan pekerjaan untuk mengisi posisi asisten pribadi wanita, ukuran pakaian 2, tinggi badan sekitar lima atau tiga kaki, ukuran sepatu 6, gaji yang sangat bagus, dan posisi kerja yang sangat menguntungkan. Karena gaji yang ia tawarkan begitu tinggi, terhitung sebanyak tiga puluh wanita datang ke studio di Minami-Aoyama untuk mengikuti sebuah tes wawancara. Lima diantara mereka nyatanya telah berbohong tentang ukuran pakaiannya. Dari delapan wanita yang tersisa, dia memilih seorang wanita yang dirasa masih seusia dengan istrinya, seorang wanita yang ia duga masih berusia sekitar dua puluh tahun-an dengan tampilan dan wajah yang biasa saja. Ia mengenakan kemeja putih biasa dengan rok biru cukup ketat. Pakaian dan sepatunya juga terlihat rapi namun nampak sedikit usang.

Tony Takitani berkata padanya, “Pekerjaanmu tidaklah sulit. Kau hanya perlu datang ke kantor setiap hari dari pukul sembilan pagi hingga lima sore, menjawab setiap panggilan telepon, mengirimkan ilustrasi, mengambilkan materi untukku, membuat salinan — dan semacamnya. Dan ada satu hal yang perlu kau ingat. Bahwa istriku baru saja meninggal, dan aku menyimpan banyak sekali koleksi pakaiannya di rumah. Yang banyak diantaranya adalah model terbaru atau mungkin hampir menjadi yang terbaru. Dan aku ingin kau untuk memakainya sebagai seragam kerja selama kau bekerja disini. Aku tahu ini mungkin terdengar sangat aneh, tapi, percayalah, aku tidak punya maksud tersembunyi sama sekali. Ini hanya sekedar caraku untuk membiasakan diriku sendiri atas kepergiannya. Jika kau sering memakai pakaiannya, aku yakin, satu saat nanti akhirnya aku dapat menerima kenyataan bahwa ia sudah meninggal.”

Dia nampak menggigit bibirnya, seraya menandatangani proposal. Seperti yang Tony katakan, bahwa itu adalah suatu permintaan yang aneh — sangat aneh bahkan, nyatanya dia pun tak yakin untuk menerima hal itu begitu saja. Ia mengerti bahwa istrinya telah meninggal. Dan ia pun mengerti mengapa istrinya memiliki banyak pakaian. Namun satu hal yang ia tak dapat mengerti dan terima adalah mengapa ia harus mengenakan pakaian-pakaian mendiang istrinya. Normalnya, ia mengira bahwa ada satu hal yang tersembunyi di balik hal tersebut daripada yang dikatakan dia di hadapannya sekarang. Tapi, ia pun tak dapat mengelak, bahwa pria ini tak nampak seperti orang yang jahat. Kau hanya perlu untuk lebih cermat dalam mendengarkan setiap ucapannya demi memahami hal tersebut. Mungkin meninggalnya sang istri, telah begitu mengganggu pikirannya, namun nampaknya dia bukanlah tipe seseorang yang rela melampiaskan kesedihannya pada orang lain. Dan yang terpenting dari segalanya adalah, ia kini sedang memerlukan pekerjaan. Sebab, selama ini ia telah banyak mencari lowongan pekerjaan, dan asuransi pengangguran miliknya sebentar lagi akan berakhir, dan ia mungkin tak akan pernah menemukan pekerjaan dengan gaji seperti ini di tempat yang lain.

“Saya pikir, saya sudah paham,” ujarnya. “Dan saya pikir saya bisa melakukan apa yang anda minta. Tapi, pertama-tama, saya harap anda bisa menunjukan pada saya pakaian mana saja yang harus saya kenakan. Saya lebih baik memeriksanya terlebih dahulu, dan melihat apakah cukup untuk saya kenakan atau tidak.”
“Tentu saja,” jawab Tony Takitani, dan ia mengajak si wanita untuk berkunjung ke dalam rumah dan menunjukan ruangan yang dimaksud. Ia tak pernah melihat banyak pakaian seperti itu berjejeran dalam satu tempat selain di toko-toko pakaian. Setiap pakaian nampak begitu mahal dan berkualitas tinggi. Perasaannya menjadi tak menentu. Pemandangan itu begitu menyilaukan mata. Setiap wanita bisa merasakan bahwa perlahan nafasnya semakin sesak. Jantung pun berdetak begitu kencang. Rasanya seperti hasrat seksual, dan ia menyadarinya.

Tony Takitani meninggalkannya sendirian di dalam ruangan tersebut. Dan si wanita pun mencoba melihat-lihat dan memakai beberapa diantaranya. Ia pun mencoba beberapa pasang sepatu. Dan rupanya cocok dengan ukuran kakinya seolah-olah semuanya sengaja disediakan khusus hanya untuknya seorang. Kemudian ia melihat satu pakaian ke pakaian lainnya. Ia menggerakan jari-jemarinya pada setiap bahan dan menciumi aromanya. Ratusan pakaian yang nampak begitu indah tergantung disana berjejer sesuai tempatnya. Tak lama kemudian, air mata nampak bercucuran di matanya dan mulai membasahi tubuhnya. Seakan ia tak ingin untuk mengembalikan setiap pakaian tersebut di tempatnya semula. Tubuhnya selalu dibalut oleh pakaian seorang wanita yang baru saja meninggal dunia, sesekali ia berdiam diri, terisak-isak, menahan agar tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Segera setelah itu Tony Takitani datang untuk melihat apa yang sedang ia lakukan.

“Mengapa kau menangis?” ia bertanya.
“Saya tidak tahu,” katanya, seraya menggerakan kepala. “Saya tak pernah menemukan pakaian-pakaian yang sangat indah sebanyak ini sebelumnya. Saya pikir itu akan sedikit membuat saya bingung. Saya minta maaf.” Ia mengusap air matanya dengan sebuah sapu tangan.
“Jika tidak ada masalah, aku ingin kau untuk mulai bekerja besok,” ujar Tony kembali membahas soal pekerjaan. “Bawalah beberapa pakaian dan sepatu-sepatu ini ke rumahmu selama seminggu.”

Perlu waktu yang lama bagi si wanita untuk memilih pakaian-pakaian yang akan ia pinjam selama enam hari kedepan. Kemudian ia memilih beberapa sepatu yang dirasa cocok. Lalu mengemasi semuanya dalam sebuah koper.
“Bawalah sebuah mantel,” kata Tony Takitani. “Supaya kau tidak kedinginan.”
Ia memilih sebuah mantel berwarna abu-abu kashmir yang nampak begitu hangat. Saat itu keadaan masih terang benderang sehingga nampak bahwa mantel itu juga dilapisi oleh bulu-bulu lebat. Dan ia pun tak pernah memegang sebuah mantel seringan itu seumur hidupnya.

Ketika wanita itu sudah pergi, Tony Takitani kembali ke lemari milik istrinya, menutup pintunya, dan membiarkan mata-matanya menjelajah setiap jengkal pakaian-pakaian tersebut.  Ia tetap tak mengerti mengapa wanita bisa menangis ketika melihat mereka. Baginya, mereka hanyalah sekumpulan bayangan yang ditinggalkan oleh mendiang istrinya. Ukuran badan sang istri yang tergantung di sepanjang deretan tersebut, sebuah lapisan diatas sebuah lapisan, seolah-olah seseorang telah mengumpulkan dan lalu menutup kumpulan sampel itu dari segala kemungkinan yang tak terbatas (atau setidaknya secara teoritis kemungkinan tak terbatas) tersirat dalam keberadaan manusia.
Koleksi pakaian ini masing-masing hanya pernah dipakai sekali oleh istrinya, yang mana membuat mereka nampak seolah hidup dan bergerak. Kini, apa yang tergantung di hadapannya tak lebih dari sekedar bayang-bayang yang acak, terputus dari akar kehidupan dan perlahan menjadi layu, tanpa makna sama sekali. Warna-warnanya nampak berdansa di langit-langit seolah serbuk sari bunga yang berterbangan, lalu bersemayam di dalam mata, telinga, dan lubang hidungnya. Setiap aksesoris dan kancing dan renda dan jerumbai dan saku dan sabuk menyantap rakus udara di dalam ruangan, menipiskannya perlahan-lahan hingga siapapun sulit untuk bernafas. Kapur barus yang begitu banyak di ruang tersebut nampaknya turut andil dalam memberi aroma yang mungkin juga seperti aroma dari ratusan serangga yang bersayap. Ia membenci pakaian-pakaian itu sekarang, dan itu terjadi padanya sekarang. Bersandar ke tembok, ia melipat lengannya lalu menutup matanya. Kesendirian menggerayangi dirinya kembali, seolah kehangatan tengah mendera setiap jengkal tubuhnya. Semuanya telah berakhir, gumamnya. Tak peduli apa yang ia lakukan sekarang, semua telah berakhir.

Akhirnya dia menghubungi si wanita, dan berkata untuk melupakan seluruh tawaran pekerjaannya tersebut. Tak ada pekerjaan untuk dia, katanya, seraya meminta maaf.
“Tapi bagaimana mungkin?” si wanita berkata, terkejut.
“Aku mohon maaf, namun situasi telah berubah,” katanya. “Kau bisa memiliki pakaian dan sepatu-sepatu tersebut, dan juga kopernya. Aku hanya ingin kau melupakan bahwa ini semua tidak pernah terjadi, dan tolong jangan beritahu siapapun tentang hal ini.”
Wanita itu tak dapat melakukan apapun, dan semakin ia ingin menggali lebih jauh tentang apa yang terjadi, ia pun akan mendapatkan jawaban yang sama.
“Aku mengerti,” wanita itu akhirnya berkata, dan menutup teleponnya.
Dalam beberapa menit, ia merasa kesal terhadap Tony Takitani. Namun segera ia merasa lebih tenang dan berpikir untuk tetap melakukan yang terbaik. Seluruh pekerjaan tersebut memang sudah aneh sejak awal. Dia menyesal karena telah kehilangan pekerjaan barunya, tapi dia pikir bahwa dia masih bisa mengatasi kondisi tersebut, walaupun entah bagaimana.

Dia pun mengeluarkan setiap pakaian yang sebelumnya ia bawa dari rumah Tony Takitani, merapikannya, dan kemudian menggantug semuanya di tempat yang seharusnya. Sepatu-sepatu pun ia letakkan di rak sepatu di samping pintu depan rumahnya. Bersanding dengan mereka, pakaian dan sepatu miliknya nampak sudah sangat usang. Ia merasa bahwa mereka berbeda jenis, atau semacamnya, terlihat sangat modis dan seolah terbuat dari bahan yang berasal dari dimensi lain. Ia mengganti kemeja dan roknya yang ia gunakan untuk interview tadi, menggantungnya, dan menggantinya dengan celana jeans dan sweater. Kemudian ia duduk di atas lantai, dan meminum sebuah bir dingin. Seraya mengingat ruangan di rumah Tony Takitani yang berisi banyak sekali koleksi pakaian, ia pun mendesah. Ia memikirkan begitu banyak pakaian disana. Dan “lemari” itu: lebih besar dari ukuran apartemen tempatnya tinggal. Bayangkan seluruh uang yang telah dihabiskan hanya untuk membeli semua ini! Dan sekarang wanita yang membeli semua ini telah mati. Aku penasaran bagaimana rasanya mati dengan hanya meninggalkan banyak sekali koleksi pakaian yang begitu indah.

Kawan-kawan si wanita itu selalu menyadari bahwa ia adalah orang miskin, sehingga mereka nampak terkejut ketika melihatnya tiba-tiba selalu mengenakan pakaian yang baru setiap kali mereka bertemu — masing-masing adalah model terbaru, dan dari merek-merek yang ternama.
“Darimana kau dapat pakaian-pakaian seperti itu?” mereka bertanya padanya.
“Aku berjanji untuk tidak memberitahu siapapun,” Jawabnya, seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Selain itu, bahkan jika aku memberitahu kalian semua, kalian tak akan percaya.”

Pada akhirnya, Tony Takitani meminta lagi seorang penjual pakaian untuk mengambil semua yang istrinya tinggalkan. Si penjual itu pun memberinya kurang dari sepersepuluh dari apa yang telah ia habiskan untuk membeli pakaian-pakaian itu, namun itu tidaklah penting baginya. Ia membiarkan mereka dibawa pergi secara cuma, selama koleksi pakaian itu dibawa pergi ke tempat dimana ia tak akan pernah menjumpainya lagi.

Sekali waktu, Tony akan masuk ke dalam ruang kosong tersebut dan berdiam diri di dalam sana untuk sejam atau dua jam, tak melakukan apapun bahkan, hanya membiarkan pikirannya kosong saja. Ia duduk di lantai dan menyadarkan tubuh pada dinding rumah, memikirkan sosok istrinya yang telah meninggal dunia. Namum, setelah berbulan-bulan berlalu, ia tak bisa melakukan hal yang sama seperti yang selama ini sering ia lakukan di dalam ruangan tersebut. Ingatan akan warna dan aroma seakan hilang dengan sendirinya, bahkan sebelum ia menyadari bahwa itu berangsur-angsur telah sirna. Bahkan perasaan yang pernah ia senangi kini telah menghilang, seolah-olah perlahan ia menjauh dari akal sehatnya yang semula. Seperti kabut di dalam angin, ingatannya pun kian lama berubah wujud, setiap rupa seolah menjadi semakin redup. Setiap ingatan kini hanyalah sebuah bayangan dalam bayangan. Satu-satunya hal yang tak nyata baginya hanyalah sebuah ketiadaan.

Hingga pada satu waktu, ia hampir tak bisa kembali mengingat sosok istrinya. Apa yang ia ingat, hanyalah, sesosok wanita asing yang meneteskan air mata di dalam ruangan yang sejauh mata memandang hanya terisi oleh koleksi pakaian peninggalan sang istri. Ia mengingat wajah seorang wanita yang biasa saja dengan sepasang sepatu — yang sebelumnya adalah milik mendiang istrinya — kulit yang usang.  Setelah beberapa saat, ketika ia merasa sanggup untuk melupakan segalanya, termasuk nama si wanita tersebut, anehnya hanya gambaran sosok si wanita yang tetap tak dapat ia lupakan sama sekali dalam benaknya kini.

Dua tahun setelah istri Tony Takitani meninggal dunia, giliran ayahnya yang meninggal karena penyakit kanker. Shozaburo Takitani sempat menderita, dan ia pun berada di rumah sakit hanya sebentar saja. Ia meninggal dalam tidurnya. Dan itulah saat dimana kehidupannya yang penuh gemilang pesona berakhir sudah. Selain beberapa uang tunai dan beberapa lembar sertifikat, Shozaburo tak mewariskan apapun lagi. Hanya ada alat musik dan kepingan koleksi rekaman musik jazz tua miliknya. Tony Takitani pun mengemasi koleksi rekaman itu dalam sebuah kotak kardus dan kemudian menaruhnya di lantai atas, tepat di sebuah ruangan kosong di dalam rumahnya. Karena tercium bau yang tak sedap, ia pun membuka semua jendela dalam ruangan itu secara bergantian, supaya udara segar masuk ke dalam ruangan. Jika tidak, ia pun tak akan mau untuk masuk ke dalam ruangan itu lagi.
Bertahun-tahun telah berlalu, namun menyimpan banyak kotak berisi rekaman-rekaman musik di dalam rumahnya sendiri mulai membuatnya terganggu lebih dari sebelumnya. Seringkali, ketika ia memikirkan barang-barang yang ada di ruangan itu, ia seperti merasa tercekik, atau semacamnya. Sekali waktu, ia akan bangun di tengah malam dan tak bisa kembali tidur lagi. Pikirannya perlahan semakin kacau, namun mereka tetap berada disana, dimana mereka selalu terdiam, bersama seluruh kenangan yang bernaung bersamanya.

Tony Takitani pun akhirnya memanggil seorang penjual kaset rekaman musik, dan ia menawarkan koleksi-koleksi itu padanya. Karena banyak sekali koleksi piringan rekaman musik yang sangat berharga yang tak lagi keluar di pasaran, si penjual itu pun akhirnya sepakat untuk membeli dengan harga yang sangat tinggi — setidaknya cukup untuk membeli sebuah mobil baru. Baginya, apapun itu, uang bukanlah segalanya.
Ketika koleksi musik itu sudah tak ada di dalam rumahnya lagi, Tony Takitani kini hanya tinggal seorang diri.


______

* Ditulis oleh Haruki Murakami. Diterjemahkan dari bahasa Jepang oleh Jay Rubin, dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Andika Wahyu Adi Putra.

You Might Also Like

0 komentar