REVIEW: La Vie d'Adèle (2013): Siapa Yang Bisa Kau Salahkan Ketika Kau Menjadi Seorang Lesbian?
Januari 02, 2018Ada beberapa indikator bagi diri saya ketika menonton sebuah film, yaitu kualitas plot, dan siapa yang menggarapnya. Sebagai seorang penggila film tentu hal pertama tadi saya utamakan, baru saya melihat siapa yang menggarapnya, siapa produser, sutradara, atau penulis skenario-nya, hanya demi meyakinkan diri, oke ini harus saya nikmati segera. Beberapa bulan lalu, saya menggempur diri dengan berbagai macam karya film yang normal, dan cenderung drama hingga romance, saya belakangan memang sedang membiasakan diri dengan genre semacam itu, setelah sebelumnya saya merasa terlalu terkekang oleh genre thriller dan misteri. Membuat referensi saya berubah drastis, saya tak lagi banyak membaca buku atau film bergenre sejenis, dan lebih memilih hal-hal yang bersifat dramatis, indah namun getir, bahkan beberapa kali dalam sebulan saya melahap habis keabsurdan Alejandro Jodorwsky, Ingmar Bergman dan Andrei Tarkovsky untuk membunuh diri saya sendiri. Walaupun saya masih suka dengan apapun yang mengundang penasaran, tentang pembunuhan dan siapa yang melakukan kejahatan.
Tapi bagaimanapun, saya tak akan membahas tentang hal yang lebih jauh dari salah satu nominator dan pemenang Palme d'Or 2013 di Festival Film du Cannes. Salah satu festival film dunia yang selalu menjadi impian setiap filmmaker sejati bahwa satu hari dalam hidup ini, aku harus bisa mencapai tingkat itu. Tapi pernahkah terpikir, apa yang menjadikan suatu film dihargai hingga tingkat tertinggi bahkan sekelas Cannes? Kualitas penceritaan tentu saja, namun ada satu hal yang belakangan, dan mungkin dirasakan oleh beberapa orang, bahwa tematik sensitif semakin digemari oleh para juri di luar sana. Belakangan kita tahu Prenjak membanggakan nama Indonesia dengan tematik yang cukup “kontroversi”, bahkan. Beberapa film di Sundance pun menekankan hal yang sama di beberapa film terbaik mereka. Belum lagi Venice dan Berlinale. Ada satu nuansa dan keinginan dalam pergerakan sinema masa kini yang tidak pernah disadari atau tersentuh selama ini, yaitu gelora akan adanya kesadaran moralitas, dan mengedepankan kemanusiaan daripada ego manusia itu sendiri. Itulah mengapa beberapa film dengan tema sensitif tentang seksual, agama, dan mayoritas lawan minoritas menjadi salah satu hal menarik yang dibahas, dalam landscape kebudayaan sinema. Bukan hanya dalam skema menceramahi semacam film religi dalam satu sudut pandang si creator atau senimannya, tapi lebih membuat penonton merasa, ada sesuatu yang salah selama ini dalam diri kita, dalam diri manusia, tanpa perlu embel-embel frontalitas verbal, namun lebih kepada penghargaan terhadap bahasa gambar itu sendiri. Disinilah kita akan membahas film Blue is the Warmest Colour (La Vie d'Adèle), yang disutradarai oleh Abdellatif Kechiche pada tahun 2013.
Ada satu hal yang membuat saya tertarik awal mulanya, bukan plot atau sutradara, atau gadis-gadis muda yang ada dan memerankan karakter di dalam film ini. Melainkan poster. Saya tak biasa memperhatikan poster untuk keperluan minat pribadi namun, kali ini poster benar-benar membuat saya berdecak dan menghardik: bodoh bila aku tak bisa menonton film ini dalam waktu beberapa jam kedepan. Aku pun menontonnya. Film berdurasi tiga jam ini, berkisah tentang seorang Adele (Adele Exarchopoulos), siswi sekolah menengah yang berada di masa pubertas, memiliki banyak kawan dan menjadi salah satu gadis tercantik di kelasnya — ujar kawannya, Beatrice (Alma Jodorowsky) pada satu adegan. Ia sempat menjalin hubungan dengan seorang siswa bernama Thomas (Jeremie Laheurte) namun tidak berjalan dengan semestinya ketika satu waktu di pagi yang begitu benderang, di jalanan kota, ia berpapasan dengan seorang gadis berambut pendek berwarna biru yang sedang merangkul seorang wanita (kekasihnya?) yang kemudian ia kenal bahwa gadis berambut biru itu bernama Emma (Lea Seydoux). Saya rasa ini masalah fetishnya terhadap warna biru sepertinya, namun semakin menjauh dari adegan itu, Adele semakin nampak tergila-gila pada Emma, seorang gadis yang tak ia kenal sama sekali, bahkan ia rela bercinta secara cuma dengan Thomas hanya karena ia tak terima bahwa ia menjadi lesbian dengan begitu tiba-tiba, menyadari bahwa ia tak bisa menghilangkan kegilaannya pada Emma, ia pun mengakhiri hubungannya dengan Thomas, dan meminta Valentin (Sandor Funtek) seorang kawan dekat yang juga seorang gay, untuk mengantarnya berjalan-jalan di salah satu klub gay pada satu malam. Berpikir bahwa mungkin ditempat semacam itu, ia bisa bertemu dengan Emma, memuaskan hasratnya dan berharap, sesuatu tak salah di dalam dirinya. Tanpa sepengetahuan Valentin, ia meninggalkan klub gay itu dan berjalan menuju sebuah klub lesbian, disanalah ia akhirnya dapat bertemu Emma gadis berambut biru, seorang mahasiswi seni, salah satu dari banyaknya gadis lesbian di dalam klub itu. Dan begitulah hubungan mereka terjalin begitu dekat sejak saat itu.
Aku belakangan memang banyak menemui dan menonton film-film asal Prancis, ini mungkin film kelima atau keenam yang sudah aku tonton dalam setahun ini, dan berasal dari negeri menara Eiffel. Namun, itu hanya sekedar pengukuhan diri bahwa apa salahnya membebaskan pikiran terhadap keterbukaan setiap kemungkinan cerita yang ada. Satu hal yang aku suka dari sinema Prancis adalah mereka begitu eksperimental, terlepas bahwa sinema memang salah satu budaya asli mereka. Satu hal yang tak banyak ditemui di beberapa negeri penggila industri sinema di hari-hari sekarang adalah, keterbukaan mereka terhadap tematik yang berbau sensitif, beberapa bulan lalu, aku menonton karya terakhir Noe Gaspar, berjudul Love, dan itu salah satu film paling misunderstanding yang pernah ada, makna yang begitu dalam di karya tersebut dinodai oleh ketidak terimaan penonton atas frontalnya adegan seks yang bertebaran di berbagai scene di dalamnya, lihatlah satu hal ketidak pahaman antara creator dan audience dapat membuat orang-orang tutup mata terhadap makna sebenarnya yang begitu mendalam. Sebagian orang yang mengerti, ke frontal-an itu terkadang menganggap hal tersebut sebagai sebuah perlawanan, atau mungkin bisa menjadi jawaban atas nuansa dan semiotik yang dibangun oleh sang seniman itu sendiri. Bagaimana pun dalam film La vie d'Adèle, hal yang sama terjadi, bahwa dalam film ini bahkan saya baru pertama kali melihat sepasang lesbian melakukan hubungan seksual. Terlepas dari itu, banyak aspek yang mendasari mengapa itu terjadi, pertama adalah perlawanan terhadap norma — beberapa bahkan ku temui Adele, Valentin, dan Emma berada di tengah scene demonstrasi LGBT di Prancis. Atau lebih tajamnya lagi, mereka senang dengan hal itu, itu adalah mereka. Dan mereka ingin keadilan, terkait juga dengan adegan dimana teman-teman menjauhi Adele ketika mereka menuduh Adele adalah seorang lesbian karena bertemu seorang gadis tomboy (Emma) pada satu hari sepulang sekolah.
Mungkin bagi kita, kisah ini aneh, seseorang akan berkata, terutama di negeri-negeri yang anti terhadap hal semacam ini, semua ini salah dan bertentangan dengan segala kewarasan manusia, bahkan cinta tak akan berani melakukan hal kejam semacam itu, sepertinya. Apakah ada yang salah dengan semua pendapat itu? Tidak ada, dan menurut saya, inilah kelebihan film arahan Abdellatif Kechiche, bahwa film Blue is the Warmest Colour menengahkan segala pendapat, satu pandangan yang sulit didapatkan diantara sinema sejenisnya, bahwa semuanya memang menyimpang, tidak ada yang salah pada setiap pendapat orang, tentang perasaan Adele pada Emma, dan bagaimana mereka memuaskan hasrat seksual setiap harinya, semuanya salah, bahkan Adele pun menentangnya, bagaimana ia begitu tersiksa di awal cerita — bahkan tanpa perlu penjelasan verbal, pada hal-hal semacam itu, ia tak ingin menjadi seorang lesbian, bagaimanapun. Sejauh yang dia tahu, dia tidak pernah mengalami pelecehan seksual seumur hidupnya, masa remajanya baik-baik saja, ia memiliki banyak teman di sekolah, bahkan Valentin tak pernah mempengaruhinya untuk memiliki orientasi seksual semacam yang ia idap. Semua itu terjadi begitu saja, ketika ia berpapasan dengan Emma di jalanan, bahkan saat ia belum tahu siapa gadis itu, ia menyukainya, sesimpel itu, hubungan mereka terjalin kemudian. Ketika itu terjadi, siapa yang harus Adele salahkan terhadap hidupnya yang berubah sedemikian rupa di jalanan kota? Tidak ada. Sekalipun itu dirinya sendiri, ia hanya merasa: aku menyukai gadis berambut biru di sudut jalanan itu, aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersama dia, hanya dia seorang.
0 komentar