Perjalanan Terakhir Kapal Berhantu - Gabriel García Márquez

Januari 31, 2018


Kini mereka akan mengetahui siapa sebenarnya diriku, ia berkata pada dirinya sendiri dengan suara yang kuat, bertahun-tahun semenjak pertama kalinya ia memandang sehampar lautan tanpa sekalipun ditemani penerangan dan tanpa satu pun suara yang berlalu lalang diantara pemukiman desa pada satu malam bagai sebuah tempat asing yang teramat terpencil, jauh sebelum pedesaan dan kaki anak tangga menuju gereja berdiri, segalanya berselimut kegelapan berdamping dengan daerah koloni di sisi lain teluk yang mana pula diperkuat untuk menangkal serbuan para pembajak laut, dengan pelabuhan tua tempat para budak singgah ini bersama langit yang dihiasi cahaya lampu yang sering berputar-putar, yang mana cahayanya mengubah pemukiman menjadi kumpulan remang bulan dari setiap rumah-rumah yang menyalakan cahayanya dan jalanan berselimut debu vulkanik setiap lima belas detik sekali, bahkan pada saat itu ia hanyalah seorang anak lelaki dengan karakter suara yang kuat bersama izin sang Ibu ia akhirnya terduduk di tepi pantai hingga hari telah larut sembari mendengarkan deru angin menerpa tubuhnya, dia dapat mengingat jelas tentang kejadian itu, seperti sedang melakukannya, bagaimana kapal diatas samudera tiba-tiba menghilang kala cahaya suar datang dan akan kembali muncul ketika cahaya itu lenyap, begitulah kapal samar tersebut nampak berlayar sendirian, muncul dan menghilang, menuju pada arah teluk dihadapan, seolah sedang berjalan dalam tidur  meraba-raba pelampung yang menandai kanal pelabuhan hingga sesuatu terjadi dengan jarum kompas, karena ia akhirnya menuju pada bibir laut yang dangkal, kandas, hancur, dan tenggelam tanpa sekalipun mengeluarkan suara, bahkan bila itu terjadi akibat menghantam terumbu karang hal itu seharusnya juga menghancurkan benda-benda metalik dan ledakan dari arah mesin yang mungkin seharusnya pula membuat ngeri para naga yang tengah tertidur lelap di pedalaman prasejarah yang diawali dari dentum diujung jalan pemukiman dan berakhir di sudut lain dunia, jadi dia pun mengira bahwa itu adalah mimpi belaka, terlebih keesokan harinya, ketika ia masih dapat melihat ikan-ikan tengah asyik bersenda gurau di teluk, kelainan warna dari para Negro nampak di pondok-pondok diatas bukit pelabuhan, kapal layar para penyelundup dari Guianas nampak sedang sibuk mengisi kargo berisi burung beo yang malang dengan lambung kelenjar yang berisi penuh oleh berlian, ia mengira, aku sedang tertidur setelah menghitung banyaknya bintang dan bermimpi tentang kapal raksasa, tentu saja, ia tidak memberi tahu siapapun bahwa ia masih mengingat hal tersebut, hingga satu malam setelah lewat bulan Maret tepat ketika ia memandangi cahaya yang menyorot lumba-lumba yang asyik melompat diatas permukaan laut dan itulah saat ketika ia melihat kapal yang sama, gelap, samar, dengan arah yang berbeda dari yang sebelumnya, kecuali bahwa kemudian ia sadar sepenuhnya bahwa ia tidak sedang tertidur kala itu membuatnya langsung berlari untuk memberitahu Ibunya dan menghabiskan berminggu-minggu lamanya dengan kesia-siaan, sebab bagaimanapun pikiranmu semakin diperparah seiring berjalannya waktu terhadap apa yang telah kau lalui sebelumnya, tertidur kala mentari menyingsing dan keluar pada malam hari layaknya seorang kriminal, dan sejak itu ia sering berkeliling kota mencari tempat yang nyaman untuk duduk dan berpikir tentang suaminya yang meninggal, sebab kursi kayu miliknya telah usang setelah sebelas tahun berlalu, dia memanfaatkan kesempatan itu dan menyuruh si tukang perahu untuk pergi ke bagian laut yang dangkal sehingga anaknya bisa melihat apa yang sebenarnya ia lihat di pancaran laut, indahnya manta rays saat musim semi bunga karang, kakap berwarna merah muda dan korvet biru berenang dari satu sudut ke sudut lain diantara perairan, dan bahkan sedikitpun tanda-tanda korban dari tenggelamnya kapal koloni itu, tiada jejak yang nampak atau semacamnya, dan oleh sebab itu ia masih tetap keras kepala bahwa Ibunya harus melihat bersamanya kala bulan Maret kembali tiba, yang sesungguhnya, ia tak tahu apakah ada hal yang mutlak di masa depan kelak kecuali bangku dari era Sir Francis Drake yang ia dapatkan dari pelelangan di toko Turks, dimana pada benda itulah ia selalu terduduk di malam hari, menghela nafas, oh, Olofernos yang malang, andai saja kau tahu bagaimana indahnya ketika memikirkan dirimu di atas alas beludru dan kain brokat dari dalam peti mati sang ratu, namun semakin ia hanyut dalam ingatan tentang suaminya, semakin banyak pula darah yang bergelembung dalam jantungnya lalu kembali mencair bak cokelat, seolah alih-alih ia sedang terduduk, justru dia basah kuyup karena demam dingin dan napasnya yang penuh dengan seisi bumi, sampai akhirnya si anak kembali ketika senja dan ia menemukan sang Ibunda meninggal diatas bangkunya, masih hangat, namun kesadarannya telah lenyap seolah seekor ular baru saja menggigitnya, hal yang sama terjadi kemudian kepada empat wanita lainnya sebelum akhirnya bangku itu dibuang ke laut, sejauh mungkin hingga benda itu tak lagi membawa kutukan pada siapapun, karena benda tersebut telah digunakan selama berabad-abad dan kini tiba saat memberinya istirahat setelah digunakan sekian lama, jadi sudah saatnya sekarang ia terbiasa dengan rutinitas menjadi anak yatim piatu yang disebut oleh banyak orang sebagai anak seorang janda yang telah membawa bangku terkutuk ke dalam desa, hidup dengan tidak mengandalkan belas kasihan masyarakat melainkan dari ikan-ikan yang ia ambil dari perahu para nelayan, ketika suaranya sudah semakin garang, dan ia tak lagi mengingat apa yang ia lihat di masa lalu hingga tiba malam di bulan Maret ketika ia kembali menatap lautan dan segera, ya Tuhan, itu dia, ikan paus metalik raksasa, sang behemoth, lihatlah, ia berteriak lantang, lihatlah kemari, membuat gempar para anjing yang menggong lantas para wanita ikut panik bahkan membuat para lelaki tua teringat kakek-buyutnya yang menuju ke arah tempat tidur mereka, berpikir apakah William Dampier telah kembali, tapi sosok yang berlari di jalanan tidaklah membuat mereka lantas peduli akan sosok benda aneh tersebut yang kala itu dengan mudahnya menghilang lagi di bagian timur dan kembali muncul pada malapetaka yang tetap sama, namun mereka tak memperdulikannya sama sekali lalu pergi meninggalkannya hingga dia menyadari bahwa ia hanya berkata pada diri sendiri, meneteskan liur kemarahan, kini mereka akan melihat siapa aku sebenarnya, namun ia memilih tak mengatakan pada siapapun, hanya menghabiskan sepanjang tahun dengan tetap mempercayainya, sekarang mereka akan tahu siapa aku sebenarnya, menunggu tibanya malam itu sekali lagi untuk menjalankan rencananya, mencuri sebuah perahu, menyeberangi teluk, dan menghabiskan sepanjang senja untuk menunggu saat-saat tersebut tepat di teluk pelabuhan budak, dikedalaman air garam orang-orang Karibia, membuatnya begitu antusias tak lagi terbendung seolah ia sedang berada di depan pertokoan Hindu untuk melihat-lihat huruf mandarin yang terukir di setiap gading gajah, ataupun membuat candaan terhadap para Negro asal negeri Belanda atas orthopedic velocipedes mereka, ataupun juga ketakutan terhadap tembaga kulit orang-orang Malaya, yang telah berkeliling dunia dan menarik hati karena keanehan kedai rahasia tempat mereka menjual fillet panggang khas wanita Brazil, karena dirinya tidak memperdulikan apapun hingga malam jatuh padanya bersama dengan bintang-bintang dan hembusan hutan berkelindan dengan aroma bunga kecapiring dan salamander yang membusuk, dan disanalah ia, mendayung perahu curian menuju bibir teluk, dengan lentera yang padam hingga tak membuat petugas patroli curiga, bersama kepakan hijau dari suar yang kemudian mengembalikan setiap insan pada kegelapan, mengetahui bahwa ia semakin dekat dengan pelampung yang menandai lajur pelabuhan, bukan sebab cahayanya semakin lama semakin benderang, namun karena ombak nampak semakin muram, dan begitulah ketika ia mendayung, mewaspadai apapun disekitarnya, kenyataannya adalah bahwa kini ia tak tahu apakah ada seekor hiu dibawah sana yang bisa saja tiba-tiba menerkam dirinya atau mengapa malam rasanya begitu pekat, seolah bintang-bintang telah binasa, dan disanalah kapal itu akhirnya tiba, dengan ukuran yang tak terhingga, Tuhan, lebih besar daripada apapun yang terbesar di dunia ini dan gelap lebih dari apapun yang tergelap di darat maupun lautan, aroma tiga ratus ribu ikan hiu melintas begitu dekat dengan kapal yang bisa ia lihat dengan tubuh yang sangat curam, tanpa satupun cahaya nampak dari dalam jendela-jendela mungil miliknya yang teramat banyak, tanpa suara dari mesin, tanpa adanya jiwa sama sekali, membawa segala keheningan ini seorang diri, udara sudah mati, waktu telah terhenti, mengembara pada lautan yang mana seluruh binatang di dunia dapat melayang di dalamnya, dan segera segala hal tersebut menghilang seiring cahaya dari suar menyorot padanya, sekejap Karibia hening seketika, malam di bulan Maret, setiap hari burung pelikan merayap di udara, hingga ia terbiasa berada di atas pelampung, tak tahu apa yang akan dikerjakan, bertanya pada dirinya sendiri, terkejut, bahwa ia tak bermimpi sama sekali sebab ia jelas dalam keadaan sadar, bukan hanya sekarang namun di waktu yang lain pula, namun setelahnya ia bertanya pada diri sendiri ketimbang terus menerus menghirup misteri yang tiada henti menyeret pelampungnya, dari pertama hingga terakhir, jadi ketika cahaya dari suar berlalu kapal tersebut pun kembali nampak dan kini jarum kompas mulai bergerak tak terkendali, mungkin tak mengenali bagian lautan tersebut, meraba-raba dalam ketidaktahuan lajur kanal namun sebenarnya menuju bagian yang dangkal, hingga ia akhirnya menyadari bahwa kunci dalam mencegah malapetaka itu adalah pelampung tersebut dan ia menyalakan lentera diatas perahu, sebuah cahaya mungil yang mana mustahil untuk bisa memperingatkan siapapun di dalam menara kawal tetapi justru bisa menjadi cahaya pembimbing bagi setiap nahkoda, karena, berkat itulah, kapal itu kemudian memperbaiki jalurnya dan melewati gerbang kanal dengan manuver penyelamatan yang baik, hingga cahaya pergi di waktu yang sama begitupula dengan katel uap yang mulai mendesis lagi, bintang-bintang kembali ditempat semula, dan jasad para binatang masuk tenggelam kedalam dasar lautan,  dan seseorang dapat mendengar orkestra di geladak bulan serta deru arteri pecinta laut dalam kekang bayang-bayang kabin, namun ia masih terpengaruh oleh kekesalan dalam dirinya bahwa ia seharusnya tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam kebingungan emosional atau ketakutan terhadap keajaiban, namun justru mendorong diri sendiri lebih dari yang sebelumnya, kini mereka akan tahu siapa diriku sebenarnya, pengecut, kini mereka akan tahu, dan bukannya menyingkir hingga mesin raksasa tersebut tak menghantam dirinya, ia malah berada di hadapannya langsung, karena dengan ini mereka akan tahu siapa sebenarnya diriku, dengan masih menuntun kapal tersebut dengan lentera mungil hingga ia yakin bahwa mereka benar-benar sudah merubah arah lajurnya sekali lagi, keluar dari kanal yang tak kasat mata, dan menuntunnya dengan tali pengikat seolah-olah itu adalah seekor domba laut yang digiring menuju lampu-lampu tidur di pemukiman desa, sebuah kapal yang hidup, tak memperdulikan cahaya suar, yang tidak lagi nampak dan menjadi samar setiap lima belas detik sekali, melintasi gereja, pemukiman tunawisma, ilusi mulai mempertegas dirinya, dan kapal itu masih mengekor dibelakangnya, mengikuti kehendak si anak lelaki, sang kapten tertidur dalam lubuk hatinya, kala tubuh banteng-banteng bersemayam dalam balut salju lemari makanan mereka, para pasien menyendiri di kamar masing-masing, air yatim piatu dalam waduknya, nahkoda kapal itu pasti salah membaca tebing dermaga, karena pada saat itu terdengar suara peluit, sekali, dan ia pun dikejutkan oleh hempasan air yang menghujani tubuhnya, lagi, dan kapal itu tertimpa nasib yang sama seperti sebelumnya, lagi-lagi, semuanya sudah terlambat, karena disana terdapat garis pantai yang dihiasi kerang-kerang, bebatuan di jalanan, pintu rumah milik mereka yang tak percaya, seluruh pemukiman penduduk yang diterangi oleh cahaya ketakutan yang berasal dari kapal itu sendiri, lantas ia pun segera menyingkir untuk memberi ruang yang cukup bagi malapetaka itu menuntaskan segalanya, teriakan dalam kebingungan, itu dia, dasar kau pengecut, beberapa detik sebelum baja raksasa itu hancur di daratan seseorang dapat mendengar jelas dentum kehancuran dari sembilan puluh lima ratus gelas sampanye yang pecah berantakan, satu dan yang lainnya, dari badan hingga ke buritan, dan kemudian cahaya mulai nampak sedikit demi sedikit tak lama setelah Maret berlalu pada tengah hari Rabu yang cerah itu, ia dapat menghibur dirinya sendiri dengan melihat orang-orang yang selama ini sama sekali tak percaya padanya kini membuka mulut mereka lebar-lebar, lebih lebar dari kapal laut apapun yang ada di dunia ini dan lebih luas dari halaman gereja sekalipun, lebih putih dari apapun, dua puluh kali lebih tinggi dari menara gereja dan sembilan puluh kali lebih luas dari pemukiman desa, dengan ukiran sebuah nama di tubuh besinya, Halálcsillag, bersama tetesan air kuno nun lesu yang berasal dari laut kematian menetes disetiap jengkal sisinya.

________

* Diambil dari kumpulan cerita pendek, Gabriel García Márquez — Collected Stories.

* Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh, Andika Wahyu Adi Putra.

________

>> Gabriel José de la Concordia Garcí­a Márquez adalah seorang novelis asal Kolombia, cerpenis, penulis skenario dan seorang jurnalis. Garcí­a Márquez, atau lebih akrab di panggil "Gabo", adalah salah satu penulis beraliran realis-magis yang paling berpengaruh di abad 20. Pada 1982, beliau mendapatkan Penghargaan Nobel Sastra.

You Might Also Like

0 komentar