Sesuatu Yang Kecil - Raymond Carver
Januari 17, 2018Aku sedang berada diatas kasur ketika aku mendengar suara pagar, lantas aku mendengarkannya dengan seksama. Aku tidak mendengar yang lainnya, tapi aku benar-benar mendengar suara itu. Aku mencoba membangunkan Cliff. Tapi ia tertidur begitu pulas. Jadi aku bangkit dan pergi ke ambang jendela. Disana nampak sebongkah bulan yang benderang diantara gunung-gunung dan juga perkotaan. Itu adalah bulan yang sangat putih dengan beberapa lubang yang menutupi permukaannya. Sebodoh apapun, seseorang pasti dapat membayangkan sebuah wajah tergambar diatasnya.
Saat itu cukup terang hingga aku masih dapat melihat semua yang ada di atas pekarangan — kursi taman, pohon willow, jemuran yang digantung diantara dua sisi, bunga petunia, pagar, pintu gerbang terbuka lebar.
Namun tidak ada siapapun yang bergerak disekitarnya. Disana tak nampak satu pun bayangan yang menyeramkan. Semuanya disinari cahaya rembulan, dan aku bisa melihat segala hal yang terkecil sekalipun. Seperti jemuran itu, misalnya.
Aku mengarahkan tangan ke kaca untuk menutupi bulan tersebut. Aku melihatnya kembali. Aku mendengarkan. Kemudian kembali keatas tempat tidur.
Tapi aku tidak dapat kembali tidur. Lalu aku berbalik. Berpikir tentang pintu pagar yang terbuka itu. Rasanya seperti sesuatu yang tengah menantang.
Cliff bernafas dengan begitu keras, bahkan aku bisa mendengarnya. Mulutnya terbuka dan tangannya yang berada diatas dada. Ia bahkan memiliki ruang yang lebih lebar diatas kasur ketimbang bagianku.
Aku berusaha mendorongnya, namun ia hanya bergumam.
Aku berdiam untuk beberapa saat menyadari hal itu sama sekali tak berguna. Aku bangkit dan memakai sendal. Pergi ke dapur dan membuat secangkir teh lalu duduk di meja dapur. Sembari menghisap salah satu dari rokok milik Cliff yang tanpa menggunakan filter.
Saat itu waktu telah beranjak larut. Aku tidak tahu jam berapa tepatnya. Aku meminum secangkir teh dan sudah menghisap beberapa batang rokok. Ketika akhirnya aku memutuskan untuk keluar dan membuka pintu depan rumah.
Jadi aku mengenakan mantel.
Sinar rembulan memang tengah menyinari segala hal yang ada di luar sana — rumah-rumah dan pepohonan, tiang dan saluran listrik, semuanya. Aku melihat-lihat halaman sebelum akhirnya aku melangkah turun dari teras. Udara dingin seketika menghinggapi tubuhku yang membuatku lantas menutup erat-erat mantel yang tengah kukenakan.
Aku berada di dekat pagar. Ketika tak lama kemudian terdengar suara dari pagar lain yang memisahkan tempat tinggal kami dengan tempat tinggal Sam Lawton. Aku memperhatikannya sejenak. Sam menyandarkan lengannya diatas pagar, tepat diantara dua bagian pagar. Ia meniup kedua telapak tangannya, berusaha menghangatkan diri.
“Malam, Nancy,” ia berkata.
“Sam, ya ampun kau membuatku kaget saja.” Balasku. “Apa yang sedang kau lakukan diluar sini?”
“Apa kau mendengar sesuatu?” tanyaku kemudian. “Aku mendengar suara pintu gerbangku terbuka barusan.”
“Aku tidak mendengar apapun. Bahkan tak melihat apapun, sejak tadi. Mungkin hanya angin.”
Ia mengunyah sesuatu di dalam mulutnya. Dia melihat kepada pintu gerbang yang terbuka, sembari mengangkat bahunya.
Rambutnya nampak berkemilauan perak dibawah sinar rembulan yang tengah menyorot diatas kepalanya. Aku bahkan bisa melihat hidungnya yang mancung dan garis wajahnya yang begitu muram.
“Lalu apa yang kau lakukan disini, Sam?” aku bergerak mendekat ke arah pagarnya.
“Kau ingin melihat sesuatu?” tanya dia.
“Ya, tentu.” Jawabku.
Aku akhirnya setuju untuk berjalan diluar. Sungguh konyol rasanya berjalan disekitar tempat tinggal pada malam hari dengan menggunakan mantel. Rasanya aku harus mengingat hal ini, berjalan diluar rumah sepert ini.
Sam berdiri di sebelah rumahnya, piyama yang ia kenakan nampak terangkat terlalu tinggi diatas sepatunya yang putih. Ia membawa sebuah senter di satu tangan dan membawa barang lainnya di tangan yang satu lagi.
Sam dan Cliff memang berteman. Hingga suatu malam mereka minum bersama. Mereka berbicara tentang banyak hal. Kemudian tak lama, Sam membangun pagar tersebut, dan begitu pun dengan Cliff.
Itu bertepatan kala Sam kehilangan Millie, ia kemudian menikah kembali, menjadi seorang ayah lagi hingga waktu berlalu begitu cepat tidak terasa. Millie adalah seorang teman yang baik bagiku hingga ia meninggal dunia. Saat itu ia masih berusia empat puluh lima tahun ketika itu terjadi. Gagal jantung. Tiba-tiba saja menyerangnya ketika ia sedang mengemudikan mobil menuju halaman rumahnya. Mobilnya tetap berjalan hingga menabrak bagian belakang garasi.
“Lihatlah ini,” Sam berkata. Menjinjing celana piyamanya dan sedikit berjongkok. Dia menyorotkan sinar ke arah bawah.
Aku pun memperhatikannya dan melihat beberapa cacing sedang meringkuk diatas tanah.
“Siput,” katanya. “Aku hanya harus memberi mereka ini,” tambahnya, membawa sebuah kaleng yang sepertinya adalah Ajax. “Mereka akan menelannya,” kata dia, dengan masih sibuk mengunyah sesuatu di dalam mulutnya. Dia memalingkan kepalanya ke satu sisi seraya meludah-mengeluarkan sesuatu dari dalam mulutnya yang bisa jadi adalah tembakau. “Aku harus menyimpan ini, agar tetap dekat dengan mereka.” Ia mengarahkan cahaya ke sebuah botol yang nampak terisi penuh oleh sesuatu. “Aku menyimpannya sebagai umpan, dan kemudian bila ada kesempatan aku akan kembali dengan semua ini. Mereka sudah berakhir. Semua kejahatan yang mereka lakukan kali ini, lihatlah,” ia berkata.
Dia berdiri. Meraih tanganku dan mengajakku ke balik semak bunga mawarnya. Ia memperlihatkanku lubang-lubang mungil yang nampak di dedaunan mereka.
“Siput,” dia berkata. “Dimanapun kau melihatnya disekitar sini, pada malam hari. Aku akan memancing mereka keluar dan ketika tiba waktunya aku akan menghabisi mereka,” lanjutnya.
“Tamu-tamu yang tak diundang. Aku menyimpan mereka di botol itu.” Ia mengarahkan sinar diantara semak bunga mawar.
Sebuah pesawat melintas diatas kepala kami. Aku membayangkan orang-orang didalamnya sedang duduk dengan sabuk pengaman di bangku mereka, beberapa sedang membaca, sebagian sedang menatap pada daratan.
“Sam,” kataku, “bagaimana kabar semuanya?”
“Mereka baik-baik saja,” dia berkata, sembari mengangkat bahu.
Dia terus mengunyah dengan apapun itu yang sedang ia kunyah. “Bagaimana Clifford?” dia bertanya.
“Masih sama seperti biasanya,” jawabku.
“Kadangkala, ketika aku sedang berada di luar seperti ini, aku sesekali memandang ke arah rumahmu.” Dia berkata, “Aku berharap bahwa Aku dan Cliff masih berteman. Lihatlah disana,” dia berkata, dan menghela nafas yang tajam. “Disana, kau melihatnya? Lihatlah dimana aku sedang menyinarinya.” Dia mengarahkan sinar itu pada tanah tempat dimana bunga-bunga mawar itu berdiri. “Lihatlah ini,” ujarnya lagi.
“Berlendir,” katanya.
Seekor siput nampak berjalan berputar di jalurnya pada permukaan tanah tersebut. Sekali waktu nampak bengkok dan sekali waktu lurus.
Lantas, Sam meraih sebuah sekop mainan, dan ia menggunakannya untuk mengambil siput tersebut, lalu segera menaruhnya ke dalam toples.
“Aku berhenti, kau tahu,” Sam berkata. “Untuk melakukannya. Sesaat aku seperti tak mengenali lagi apa yang ada di bawah sana. Bagaimanapun, kita akan tetap menemuinya disekitar rumah, tapi aku merasa tidak perlu untuk melakukan hal seperti ini lagi.”
Aku mengangguk. Dia melihat ke arahku dan tetap memandang.
“Lebih baik aku kembali.” Kataku.
“Ya,” balasnya. “Aku akan tetap melakukan semua ini sementara, dan ketika sudah selesai, aku akan kembali masuk juga.”
“Selamat malam, Sam.” Ujarku.
“Dengar.” Ia kini berhenti mengunyah. Dengan lidahnya ia mendorong sekuat tenaga, apapun itu yang tengah bersembunyi dibalik bibir bawahnya. “Sampaikan salamku pada Cliff.”
“Aku pasti akan menyampaikannya, Sam.” Ujarku padanya.
Sam mengusap rambutnya yang berwarna keperakan itu seolah-olah ia ingin membuat mereka patuh sesekali dan untuk selamanya, dan kemudian ia melambaikan tangannya padaku.
Di kamar tidur, aku melepaskan mantel itu, melipatnya, dan meletakkannya ditempat yang mudah dijangkau. Tanpa begitu memperhatikan jam, aku hanya memastikan bahwa jarum jam masih berada di tempat yang semestinya. Lalu aku kembali ke atas kasur, dengan selimut yang membungkus tubuh, aku menutup mata.
Ketika itu aku baru saja ingat, bahwa aku mungkin lupa mengunci pintu gerbang.
Aku membuka mata dan masih berbaring disana. Aku berusaha membangunkan Cliff. Dia hanya berdeham. Lalu nampak menelan sesuatu. Sesuatu yang kini menyergap tubuhnya dan berjalan di dalam dadanya.
Entahlah. Aku hanya teringat tentang apa yang Sam Lawton tunjukan beberapa waktu yang lalu padaku, sesuatu yang ia taburi dengan semacam serbuk.
Aku berpikir selama bebeberapa saat tentang dunia diluar rumah ini, dan kemudian aku tak lagi memikirkan apapun kecuali kembali teringat bahwa aku harus cepat-cepat tenggelam dalam tidur.
______________
* Diambil dari buku kumpulan cerita pendek, What We Talk About When We Talk About Love, karya Raymond Carver.
* Diterjemahkan oleh Andika Wahyu Adi Putra.
0 komentar