Suatu Tempat Yang Cerah - Yasunari Kawabata
Januari 06, 2018Musim gugur ketika aku beranjak usia dua puluh empat tahun, aku bertemu seorang gadis tepat di pesisir pantai itu. Itulah awal mula aku merasa jatuh cinta padanya.
Gadis itu lantas tertunduk dan menyembunyikan wajahnya dibalik kain lengan kimono yang ia kenakan. Ketika aku memandang gerak geriknya, aku pikir bahwa ini saat yang tepat bagiku untuk menunjukan kebiasaan burukku padanya. Membuatku malu dan tersiksa.
“Bolehkah aku memandang wajahmu?”
“Ya... tapi jangan seperti itu.” Suaranya nampak penuh akan keberanian dan kata-katanya sungguh menenangkan jiwa. Aku merasa lega karenanya.
“Apakah aku mengganggumu?”
“Tidak, itu memang benar, tapi... sungguh, aku baik-baik saja.”
Ia menurunkan kain lengan itu. Romannya menunjukan bahwa ia memang ingin aku melihat wajahnya. Berbalik, aku bisa melihat luasnya lautan dari sini.
Aku memang memiliki semacam kebiasaan untuk memandang orang lain yang berada di dekatku. Aku ingin menghilangkan kebiasaan ini sebenarnya, namun pada akhirnya justru aku lah yang akan terganggu bila tidak melihat secara dekat — dan begitu dekat — setiap orang yang berada di sekelilingku. Dan itu membuatku selalu merasa benci terhadap diri sendiri, kala aku sadar bahwa aku melakukan kebiasaan ini lagi dan lagi. Mungkin kebiasaan ini bermula saat aku masih kanak-kanak, kehilangan kedua orang tua bersama seisi rumah disaat yang bersamaan mengharuskan aku untuk tinggal bersama-sama di tempat orang lain. Mungkin disanalah semua ini berawal.
Di satu sisi aku penasaran apakah kebiasaan ini memang bermula ketika aku di asuh oleh orang lain atau memang sudah ada jauh sebelumnya, ketika aku masih tinggal di rumah keluargaku sendiri. Namun bagaimanapun, aku tetap tidak mengerti sama sekali tentang hal ini.
Bagaimanapun, setelah aku memalingkan pandangan dari gadis itu, aku tersadar bahwa tempat paling cerah dan hangat di pantai berkelindan dengan sinar mentari di musim gugur. Suasana yang begitu mengundang banyak kenangan lama.
Setelah kedua orang tuaku meninggal, aku pun tinggal bersama kakek selama hampir sepuluh tahun lamanya di sebuah desa. Kakekku sudah lama mengalami kebutaan. Selama bertahun-tahun ia duduk di ruangan yang sama, di tempat yang sama, memandang ke arah timur bersama sepanjang anglo arang dihadapannya. Adakalanya sesekali ia akan memandang ke arah selatan, namun tidak pernah ke arah utara. Ketika aku mulai sadar akan kebiasaan kakek yang lebih banyak memandang ke satu arah saja, itu membuatku sungguh penasaran. Sekali waktu aku akan duduk sangat lama tepat dihadapannya, dengan gejolak penasaran dan harap-harap cemas bahwa ia suatu saat akan menengok ke arah utara walaupun hanya sekali saja. Namun kakek nyatanya hanya menggerakan kepalanya ke arah kanan selama lima menit sekali seperti boneka listrik, itu pun hanya memandang ke arah selatan. Membuatku selalu merasa kecewa dan sedih. Seolah mustahil terjadi. Tapi aku tidak menyangkal bahwa di selatan ada satu tempat yang cukup cerah; aku penasaran apakah tempat yang cerah di selatan itu mungkin sudah cukup terang benderang bahkan bagi seseorang yang buta sekalipun.
Kini, memandang di sudut pantai ini membuatku kembali teringat akan tempat yang cerah itu, suatu tempat yang pernah aku lupakan, nampaknya.
Di lain hari, aku kembali menghampiri, dan memandang kakek tepat dihadapannya, menginginkan dia untuk memalingkan wajah ke arah utara. Sejak ia mengalami kebutaan, aku menjadi lebih teliti memperhatikan wajahnya. Itu membuatku secara tak sadar melatih diri sendiri untuk memperhatikan ekspresi wajah orang lain, kini aku menyadarinya. Jadi kebiasaan ini memang mulai aku dapatkan ketika aku berada di rumah keluarga ku sendiri. Bukan berdasar keinginan dalam diri semata. Melainkan, rasanya aku bersyukur memiliki kebiasaan seperti ini. Memikirkannya membuatku ingin melonjak kegirangan — selebihnya karena aku menyadari bahwa diriku ini jatuh cinta pada seorang gadis.
Ia berkata kembali, “Aku sudah terbiasa dengan itu, tapi sepertinya aku tetap masih merasa sedikit malu.”
Suaranya menandakan bahwa ia mengijinkanku untuk memandang wajahnya lagi, dan lebih lama lagi. Dia pasti berpikir bahwa aku ini sedang melakukan suatu hal yang buruk beberapa waktu yang lalu.
Aku melihat dia, dengan roman bahagia. Dia nampak tersipu malu namun juga sedikit menggoda. “Wajahku akan menjadi semakin berkurang dan perlahan semakin terkikis layaknya sebuah novel setiap harinya, siang dan malam. Jadi aku tidak akan khawatir.” Dia berbicara dengan nada serupa anak kecil.
Aku tersenyum. Merasa bahwa hubungan kita semakin intim seiring berjalannya masa. Aku ingin mengunjungi tempat yang cerah di pesisir pantai itu, dengan membawa segala kenangan tentang si gadis dan kakekku.
___________
* Diterjemahkan oleh Andika Wahyu Adi Putra dari versi bahasa Inggris, A Sunny Place.
* Yasunari Kawabata (1899 - 1972), adalah seorang novelis Jepang yang prosa dan berbagai karya tulisnya membuat dia dianugerahi Penghargaan Nobel Sastra pada tahun 1968. Membuat dirinya menjadi orang Jepang pertama yang meraih penghargaan tersebut. Hingga kini karya-karyanya masih dapat dibaca di dunia sastra International.
0 komentar