Traces of Sin, Kei Ishikawa

Januari 13, 2018


Bagaimana sebuah hirarki sosial  di gambarkan dalam sebuah lingkaran pertemanan Mahasiswa, dengan gaya penceritaan yang begitu noir. Kei Ishikawa dapat membangun nuansa dengan noir urban perkotaan Tokyo, dengan begitu sederhana namun kompleks dalam eksekusinya. Membuat karya noir tentu tidak mudah, selain dari penceritaan yang dibangun ada semacam ke-eksklusif-an film-film noir modern yang lebih mencondongkan diri pada nuansa misteri-kriminal. Apalagi dengan munculnya Gone Girl karya David Fincher, beberapa tahun lalu, tentu membawa nuansa baru dalam hal ini — nampaknya akan lebih banyak film sejenis yang mengedepankan seorang wanita sebagai villain sejati. Apapun itu, ini adalah karya pertama dari seorang Kei Ishikawa, tentu saja. Masih banyak evaluasi yang biasa ditekankan oleh banyak review-review di media yang akan mengulik lebih dalam film yang sempat berkibar di festival film Venesia ini. Bahkan, beberapa berkata “David Fincher akan bangga terhadap film ini”, atau mungkin, “Gone Girl nuansa Asia”. Bagaimanapun, terlepas dari itu semua, saya pikir film ini sudah menjadi salah satu favorit saya sejak pertengahan film berlangsung bahkan. Sejujurnya, saya tidak tahu siapa itu Kei Ishikawa, namanya santer terdengar di jajaran sutradara yang selama tahun 2017 filmnya menjadi salah satu yang akhirnya bisa rilis di layar lebar. Traces of Sin sendiri tayang bulan Januari 2017 di Jepang. Dengan hawa yang tidak mengenakan pada satu malam dan tidak ada yang dikerjakan selain menonton film-film yang telah saya timbun lama, akhirnya saya menikmatinya untuk pertama-tama dengan sebuah ketidaksengajaan. Disanalah, akhirnya saya tersadar bahwa film ini tak lebih dari sekedar misteri ala-ala negeri Jepang. Yang kita tahu bersama gaya misteri mereka tidak akan jauh dari kematian misterius/kejahatan misterius yang ditangani detektif dengan semacam rasa penasaran luar biasa untuk mengungkapnya, biasanya pembunuhan/kejahatan yang terjadi adalah kejahatan biadab yang lebih biadab dari apapun itu. Saya sendiri sudah lama tidak menonton film-film seperti ini, terakhir kali saya menonton film misteri Jepang, adalah setahun sebelumnya dan itupun lebih condong pada horror-misteri. Namun Kei Ishikawa berbeda. Dengan sebuah awalan yang misterius, film dibuka dengan adegan seorang kakak lelaki bernama Tanaka (Satoshi Tsumabuki) yang berada di sebuah ruangan (yang biasa dipakai oleh orang-orang untuk mengobrol dengan seorang tahanan, biasanya keluarga mereka) bersama seorang pengacara, dan juga seorang wanita yang kemudian diketahui adalah adik dari Tanaka, yaitu Mitsuko (Hikari Mitsushima). Berkutat pada dua keluarga, yaitu keluarga Tako dan keluarga Tanaka. Singkat cerita, seluruh anggota keluarga Tako terbunuh setahun yang lalu oleh terdakwa Mitsuko, adik dari Tanaka. Namun, banyak hal yang tidak ia katakan hingga ia mendekam di penjara setahun setelahnya. Mencari tahu hal tersebut - berharap sesuatu bisa ia temukan, membuktikan Mitsuko tak bersalah, bahkan - dan kebetulan juga Tanaka bekerja di sebuah media ternama di kota. Ia pun mengajukan tema berita yang akan ia tulis dan kerjakan, yang kemudian di muat di koran mereka seminggu setelahnya. Disinilah kebenaran mulai tersingkap perlahan-lahan, bagaimana sosok seorang Hiroki Tako, latar belakangnya yang seorang sarjana arsitektur, bersama hubungannya dengan beberapa wanita dan bagaimana ia bisa mencapai karir yang gemilang di usia muda. Dan bagiamana kesaksian Miyamura Junko tentang Universitasnya yang elite, dimana saat itu kebetulan ia satu kampus dengan Yukie Tako (yang kemudian ia menjadi istri dari Hiroki Tako).

Kesaksian demi kesaksian dalam cerita ini sungguh membuat saya tak percaya ini bukanlah Iyamishu garapan penulis mahsyur di Jepang semacam Kanae Minato. Tapi nyatanya ini mulanya berbentuk sebuah novel yang dirilis tahun 2006, dengan judul Gukoroku. Membuat saya, merasa lega. Pantas begitu complicated, sebab ciri khas dari sebuah cerita yang berasal dari adaptasi sebuah novel adalah komplikasi ceritanya yang lebih rumit. Terlebih dari itu semua, Kei Ishikawa membangun kisah dengan tanpa menyingkirkan sebuah sindiran terhadap kelas-kelas sosial yang berjalan beriringan dengan tersingkapnya kasus dari pembunuhan keluarga Tako.

Ketika Junko berkata tentang Yukie, bahwa ia adalah sosok yang begitu terkenal, anggun dan menawan. Sebenarnya adalah suatu pujian bahwa ia adalah salah satu dari seorang yang memiliki tingkatan melebihi mahasiswi seangkatannya. Itulah mengapa ia berkata, bahwa di universitasnya itu, ada kelas-kelas yang terpecah secara jelas, dia menyebutnya “orang dalam — orang luar”, berulang kali. Yukie jelas berada di tingkatan teratas, dengan nama dan tampang yang rupawan tak sulit bagi seorang gadis untuk berada di tingkatan yang mana diisi oleh banyak sekali anak-anak dari keluarga terpandang. Terlebih lagi, itu juga adalah latar belakang keluarga Yukie konon katanya. Saya belum pernah membaca versi novelnya tapi bagaimanapun, Kei berusaha membangun gambaran kelas-kelas sosial di ruang lingkup pertemanan antara mahasiswa — yang sepertinya juga tidak hanya terjadi di Jepang — dimana terjadi gap antara yang kaya dan yang miskin. Tapi rasanya untuk genre misteri, hal itu terlalu idealis dan klise. Terlepas dari plot twist di ending yang tidak terduga. Mungkin inilah kekurangan dari Kei Ishikawa di film perdananya, bahwa ia terlalu verbal untuk mengungkapkan itu semua. Karena sebenarnya, hal itu tidak perlu disampaikan berulang kali oleh Junko yang bertemu dengan Tanaka hingga dua kali bahkan, sebab Mitsuko dan Megumi (dia adalah mantan kekasih dari Hiroki) akan bercerita tentang masa lalunya yang masih complicated lagi. Seperti contoh Megumi bercerita bagaimana Hiroki akhirnya menghubunginya lagi untuk acara dinner pada suatu senja, berharap bahwa Hiroki sadar akan persaaan cinta Megumi yang tak pernah pudar sejak sekian lama. Namun ternayata yang terjadi adalah bahwa Hiroki justru berusaha melobi dirinya untuk diperkenalkan kepada sang Ayah, dimana Ayah Megumi adalah pemilik dari sebuah perusahaan besar, dan Hiroki ingin memanfaatkan Megumi untuk bisa diterima bekerja disana dengan mudah. Kita bisa melihat bahwa Hiroki ini orang ambisius dengan latar belakang pendidikan yang mentereng, bukan mengandalkan latar belakang keluarga. Membangun alasan dan alibi tersendiri bagaimana Hiroki akhirnya terbunuh di masa yang akan datang dan siapa yang akan membunuhnya.

Saya tidak pernah membayangkan bahwa film ini akan menjadi semacam Gone Girlnya Asia. Ya mungkin terlalu berlebihan menyebutnya seperti ini. Terlebih ini bukan lagi perseteruan sebuah pasangan di tanah perkotaan. Lebih luas lagi menyangkut hubungan pertemanan dan keadaan sosial. Untuk ukuran sebuah film noir dengan gaya Asia, film ini cukup gelap, bukan hanya dari tone — yang mana itu sudah pasti. Tapi kisahnya, bahwa saya akhirnya membayangkan film ini adalah film yang aku cari setelah Confessionsnya Kanae Minato yang di adaptasi menjadi film hampir bertahun-tahun lalu. Yang belakangan begitu sulit ditemukan di perfilman Asia, seperti mencari novel thriller dibalik tumpukan buku-buku drama percintaan remaja populer, hampir mustahil rasanya. Di tiga perempat bagian, kisah berganti sudut pandang pada seorang Mitsuko setelah sebelumnya hanya berkutat pada hal yang itu-itu saja, tentang keluarga Tako. Pada akhirnya disinilah, masa lalu keluarga Tanaka terungkap, bagaimana Mitsuko mengalami pelecehan seksual sejak masih berusia sembilan tahun, bagaimana kemudian Tanaka dipukuli oleh Ayahnya, hingga akhirnya ia mulai bisa melawan ketika pada satu malam ia menemukan adiknya, Mitsuko tengah dilecehkan oleh Ayahnya sendiri di kamarnya. Ketika itu terjadi, alih-alih Ibunya membela Mitsuko, malah ia menyalahkan Mitsuko atas kepergian suaminya, walaupun anak gadisnya itu sudah menjelaskan, bahwa Ayahnya selalu melakukan pelecehan terhadapnya bahkan sejak lama. Sang Ibu tetap menganggap anak-anaknya paling berdosa dalam menghancurkan kehidupan keluarganya. Hingga akhirnya, mereka bercerai, dan Tanaka tinggal berdua bersama Mitsuko. Yang kemudian, seperti yang telah ditunjukkan di beberapa scene berulang kali, bahwa Mitsuko akhirnya memiliki seorang anak bayi yang tengah dirawat di sebuah rumah sakit.

Satu kalimat yang masih saya ingat ketika Mitsuko menyadari hirarki di masa perkuliahannya dan bagaimana akhirnya nasib pertemanannya dengan Yukie, adalah ketika ia berucap: “Lagi-lagi keluarga, mereka selalu saja menghalangi langkahku.” Rasanya dendam itu ada sejak lama, namun seolah dibangkitkan kembali oleh pertemuannya dengan Yukie, karena mereka ada di satu Universitas yang sama. Yang karena ia memiliki looks dan pesona tersendiri walaupun bukan berasal dari kalangan menengah atas, membuat Yukie tertarik untuk bergaul dengannya secara cuma tentu saja — beberapa kawan pria dilingkaran pertemanannya menunjukan ketertarikan pada Mitsuko, soalnya. Ini semua sebenarnya sudah cukup untuk memberi info kepada audince bahwa ada gap tak kasat mata (terlepas dari asumsi Junko terhadap hirarki sosial di masa pekuliahannya) antara yang berada dan tidak berada, walaupun tanpa verbal yang terlalu mencolok seperti yang dilakukan Junko ketika ditanyai oleh Tanaka selama dua kali bahkan. Rasanya hanya dengan menceritakan pertemuannya dengah Yukie, bagaimana perlakuan Yukie pada teman-teman yang kurang berada, dan bagaimana Yukie akhirnya mengajak Mitsuko bergaul, sudah cukup untuk memperjelas keadaan tanpa harus banyak menyebutkan atau mengungkit "orang dalam - orang luar", terlebih sifat Yukie yang akhirnya berdampingan dengan suaminya di kemudian hari yaitu, Hiroki, rasanya tidak diragukan lagi bahwa penonton pun akan mengerti, apa yang ingin disampaikan. Apa motif dan alibi yang akan dipergunakan disetiap kisah. Mereka berdua memiliki banyak musuh bagaimanapun juga, bahkan bila itu hanya sekedar kecemburuan antar teman dan soal menyoal tentang asmara belaka. Dan bagaimana serta mengapa Mitsuko pada akhirnya bisa menghabisi mereka dengan begitu keji pada satu senja setahun yang lalu. Sebab, kalau aku ingin tahu apa bentuk sebuah batu, tunjukan saja batu yang ada di sekitar kakimu, cukup kecil sudah cukup, tidak perlu membawa prasasti atau batu kali sebesar anak kerbau untuk sekedar menunjukan kepadaku tentang hal itu. Bagaimanapun, saya mengapresiasi, sebab ia bisa membangun sekelumit nuansa noir di dalam kisah yang sama complicatednya, walaupun ada beberapa evaluasi seperti yang saya sebut diatas tadi, yang sejujurnya sedikit mengganggu pikiran saya daintara kesima pesona nuansa — akting, plot, dan dialog, serta scoring musiknya yang menawan. Karena ini film perdana Kei Ishikawa di Industri sinema Asia. Rasa-rasanya dia punya kemampuan yang lebih bisa diasah kembali di kemudian hari, dan bukannya tidak mungkin, kelak ia bisa berdampingan dengan Tatsuya Nakashima atau Yoshihiro Nakamura dalam genre sejenis. Sebab, nampaknya dia adalah salah satu sutradara Jepang yang patut diperhitungkan kedepannya barangkali.

You Might Also Like

1 komentar

  1. Dan ternyata salah satu poin dari misteri di film ini yakni anaknya Mitsuko, yang adalah anak dari hasil hubungan terlarangnya dengan kakak kandungnya sendiri, Tanaka. Gila.... gila... gila....... Pantesan judulnya "Traces of SIN"

    BalasHapus