Antiporno (2017), Film Porno Paling Puitis dan Nyeni.

Januari 04, 2018



Saya ingin membuat film seperti Noe Gaspar yang penuh inovasi, saya ingin membuat film seperti Jodorowsky, Godard dan Tarkovsky yang begitu puitis. Dan, saya ingin membuat film seperti Sion Sono, yang nyeleneh. Membandingkan seorang Sion Sono dengan tokoh-tokoh diatas memang sedikit berlebihan nampaknya (atau mungkin memang setara dengan Gaspar?) bagaimanapun, di era industri yang mementingkan komersialisme ini nampaknya satu hal yang mustahil tetap bisa mencari makan dengan seni sahaja.  Kecuali jika kau tidak bisa membedakan atau bahkan menjembatani antara seni dan industri itu sendiri. Terkadang salah satu akan memeras, terkadang salah satu akan saling bunuh di lapangan banteng. Beradu bedil di medan perang, unjuk gigi siapa yang paling berkuasa sebenarnya. Industri nampaknya lebih unggul dari segi budgeting , sebab siapa yang mau berkarya tanpa uang sedikit pun di saku celananya di era seperti ini. Satu masa dimana orang-orang akan bersedia menghabiskan uang bulanannya hanya untuk menikmati susunan gambar yang bergerak selama sejam hingga tiga jam di layar bioskop yang semakin hari semakin lebar saja. Setahun yang lalu di awal tahun kala itu, dan nampaknya saya sedikit telat mendengar kabarnya, sebuah rumah produksi yang cukup besar di Jepang dengan satu macam ke-nekad-an, dan ketidak pedulian sejenak nampaknya. Memutuskan untuk memproduksi satu project yang cukup nyeleneh menurut saya, “Roman-Porno Reboot Project”. Bagi yang sudah tahu kabar itu di akhir tahun 2016, nampaknya akan bisa menebak langsung bahwa yang saya maksud adalah Production House, Nikkatsu. Yang selama ini doyan menggarap banyak sekali film-film populer di Jepang, beberapa bahkan mendapat penghargaan di festival-festival, beberapa merajai box office di negeri asalnya. Sontak siapa yang tak kaget mendengar project mereka kala itu. Singkatnya, pada tahun atau masa atau era 80an, di Jepang banyak sekali beredar film semi-porno, yang merajai bioskop-bioskop mereka, (kalau di Indonesia nampaknya terjadi di kisaran 2005-2009) dan kebanyakan film-film semacam itu yang beredar di Jepang kala itu, diproduksi oleh Nikkatsu. Dengan tedeng aling-aling merayakan seratus tahun berdirinya mereka, nampaknya itu sah-sah saja. Satu cara untuk tidak menganak tirikan salah satu masa keemasan mereka, siapa juga yang akan menentangnya.

Cukup aneh, bahwa Nikkatsu berani meresikokan diri untuk project semacam itu, bagaimanapun, melihat daftar beberapa film yang termasuk di dalamnya, yang juga didominasi oleh para sutradara ternama di Jepang. Mata saya pun langsung tertuju pada satu nama: Antiporno, by Sion Sono. Lantas, membuat saya bergidik dan girang sekilas. Sudah beberapa tahun dia tak memproduksi film dan akhirnya memproduksi film kembali dengan label “porno”, fantastis bukan? Tak ayal, beberapa bulan akhirnya saya mendapatkan film itu. Menontonnya serasa harus ditemani dengan suasana mendukung, karena pasti akan banyak adegan vulgar dan teriakan lantang. Namun nampaknya tak separah itu. Film dibuka dengan adegan Kyoko (yang juga seorang penulis) yang sedang menari diantara gemerlap cahaya memancarkan roman emas disekitarnya, diakhiri dengan dirinya yang terbangun dari tidurnya pada satu pagi tanpa celana dalam melekat di antara kedua kakinya di dalam apartemen miliknya, dengan satu gagak terkukung dalam sangkarnya. Begitu provokatif, seperti selayaknya Sion Sono semestinya. Film berjalan dengan kedatangan asistennya ke dalam apartemen, Noriko, diikuti tak lama kemudian oleh beberapa staff lainnya. Film ini akan terus berkutat pada satu scene, yaitu scene di dalam apartemennya sendiri, satu keterhimpitan yang saya suka dan selalu saya suka dari seorang Sion Sono, walaupun terkadang ia akan beralih pada scene lain diluar scene utama itu. Walaupun begitu, garis besarnya, Kyoko yang juga penulis itu begitu keras terhadap semua orang, terhadap assistennya, terhadap orang-orang yang bekerja dengannya, ia pun memperbudak mereka bahkan menjadikan mereka budak seks, bahkan, tak terkecuali Noriko yang diperintahkan olehnya untuk bercinta dihadapannya sendiri bersama para staffnya, suatu penggambaran brutal terhadap sifat Kyoko yang berusaha ditonjolkan oleh Sion. Itu bukan satu alasan hasrat semata, sebab Kyoko memposisikan dirinya sebagai orang yang teraniaya, dan seperti halnya orang-orang pada umumnya, yang tertindas akan selalu diktator pada akhirnya, lebih dari siapapun. Hal ini memang semacam kesinambungan dengan masa lalu yang selalu diproyeksikan langsung dengan satu projector yang berada di dalam apartemen miliknya memutarkan adegan seksual antara dirinya dan seorang lelaki yang tak dikenal (atau mereka bertemu dijalanan pada satu saat) di sebuah hutan dalam lingkup rintik salju yang perlahan menghujam, atau bahkan tentang kematian saudarinya di masa lalu, satu hal yang kemudian membuatnya terjun menjadi semacam pelacur bagi dunia, membuatnya begitu sering menarasikan mengapa wanita selalu menjadi pelampiasan, simbol pengekangan, dan mengapa wanita selalu menjadi semacam budak oleh mereka-mereka yang ingin memperbudak mereka di kehidupan, tentu dengan cara yang tak biasa, itulah mengapa saya berkata film ini begitu nyeni, serupa pertunjukan teater di gedung kesenian kota, lebih banyak monolog dari Kyoko akan membanjiri telinga para penonton ketimbang cerita itu sendiri, seolah Sono sedang menyusup diantara embel-embel project Nikkatsu dengan sayup mengatakan, “aku menentang pornografi dengan cara yang lebih porno dari pornografi itu sendiri” begitu provokatif memang. Begitu puitisnya film ini bahkan saya  tak lagi mengira ada embel-embel Roman-Porno di dalamnya. Belum sampai disana, di pertengahan film, kita akan diputus oleh adegan dimana suara “cut” menggelegar mengganggu khusyuknya acara menonton sosok Ami Tomite dan aktingnya sebagai Kyoko. Ya, itu semua adalah adegan di dalam film. Ada sutradara, dop, astrada, lighting, dan sound man, di balik semuanya, dan apartemen itu adalah studio film, tak ada penulis bernama Kyoko dan asistennya bernama Noriko, atau semua staff kemudian. Itu semua akting, ucapannya tentang kedigdayaan wanita, semuanya akting. Dan itu akting yang buruk, ujar sang sutradara. Si gadis tertekan, hanyut dalam tekanan, ia tenggelam dalam masa lalunya. Kisah bergulir tentang keluarganya, dengan banyak sekali metafora, tentang dia yang terjebak di hutan belantara, dua pasang kekasih (ayah dan ibunya) bercinta di bawah terang rembulan, dikeliling oleh anak-anak seusianya. Hal ini mengingatkan saya pada satu adegan di film Sion pada tahun 2005, yaitu Strange Circus dimana seorang anak gadis dipaksa oleh orang tuanya sendiri untuk melihat mereka bercinta di atas dipan, dan itu mempengaruhi masa-masa mudanya kemudian. Mungkin semacam kembali ke ide tersebut, kisah bergulir membuatnya terbentuk sebagai pelacur dan menikmati kala bercinta dengan seorang lelaki yang tak ia kenal yang ia temukan di jalanan kota. Seolah, narasi tentang kedigdayaan wanita yang dibuat monolog sejak awal film kini divisualkan di pertengahan film dengan berbagai macam metafora, seperti ia yang dikelilingi wanita di dalam apartemennya, ketakutan yang menjeratnya. Banyak hal yang aku temukan di dalam film ini, semacam Jodorowsky dalam balutan poetica ala Tarkovsky, dengan gaya bercerita perlente macam Godard. Bagaimana Sono, berhasil memadukan gaya teatrikal dengan surealisme (lebih kepada pyschological realis) dengan berbagai macam ungkapan perasaan Kyoko, terhadap dia dan masa lalunya, terhadap dia dan pandangan liberalnya, terhadap dia dan orang-orang disekitarnya, menjadikan karya Sono yang satu ini, menurut saya salah satu yang menonjol diantara banyak film di dalam project yang sama, begitu aneh dan condong pada film bergaya avant garde. Alih-alih hiburan vulgar seratus tahun berdirinya Nikkatsu, justru menjadi suatu gugatan tajam terhadap masyarakat Jepang modern pada umumnya. Kembali pada pembahasan kita, tentang terbelahnya seni dan industri di awal tadi, Sono berhasil semacam menyusupkan seni secara diam-diam melalui pasa gelap industri perfilman, mengukuhkan dirinya sebagai filmmaker yang tak main-main di Asia, bahkan bila itu semua mulanya direncanakan sebagai satu hal yang main-main dan adu olok belaka. Dan, seperti yang sudah terjadi di dalam filmnya, semua itu bagaimanapun juga, adalah satu kisah fiksi belaka, tak ada penulis bernama Kyoko yang memperbudak asistennya bernama Noriko, tak ada kenangan atau memori lama (bahkan tak ada sutradara? Atau studio berbentuk apartemen bercat warna-warni?). Itu hanya bagian dari kisah di dalam draft buku terbaru yang dibuat Kyoko, pandangan liberalnya kemudian berkelindan dengan dendam terhadap dunia.

You Might Also Like

0 komentar