Axolotl - Julio Cortázar

Februari 08, 2018


Ada saatnya dimana aku mengira bahwa berurusan dengan axolotl bukanlah hal yang buruk. Aku datang untuk melihat mereka dalam akuarium di Jardin des Plantes dan berdiam disana selama berjam-jam hanya untuk memandangi mereka, melihat keahlian mereka, pergerakan mereka. Kini aku adalah seekor axolotl.

Aku bertemu mereka pada satu pagi ketika Paris menyebarkan meraknya tak lama setelah masa Prapaskah yang dingin. Aku menuju ke jalan raya Port-Royal, kemudian menuju Saint-Marcel dan L'Hopital dan melihat hijau diantara abu-abu dan mengingatkanku pada kawanan singa. Aku berkawan baik dengan kawanan singa dan panter, dan tak pernah sekalipun masuk ke dalam gedung yang gelap dan lembab seperti di dalam akuarium itu. Aku meninggalkan sepeda diantara jeruji dan pergi untuk memandangi bunga tulip. Kawanan singa nampak sedih dan lusuh sementara panter nampak tertidur. Aku memutuskan masuk kedalam akuarium, melihat ikan perairan dangkal hingga, yang tak terduga, aku mendapati axolotl tersebut. Aku terdiam melihat mereka untuk beberapa jam dan kemudian pergi, tak lagi memikirkan apapun.

Di perpustakaan Sainte Genevieve, aku mencari tahu di dalam kamus dan mempelajari tentang axolotl bahwa mereka masih bagian dari larva (yang dilengkapi dengan insang) salah satu sepesies salamander keluarga Ambystoma. Berasal dari Meksiko, dan aku mengetahuinya hal itu segera ketika melihat wajah mereka yang khas suku Aztec berwarna pink dengan semacam lapisan berbentuk kertas di bagian atas tubuhnya. Aku membaca bahwa sepesies mereka ditemukan di Afrika, mampu bertahan hidup pada kondisi tanah yang cukup panas selama musim kemarau, dan melanjutkan kehidupan mereka di dalam air ketika musim hujan telah tiba. Aku menemukan nama Spanyol nya, ajolote, dan kabar bahwa mereka bisa juga untuk dimakan, dan minyak tubuhnya bisa digunakan (tidak lagi dapat digunakan, katanya) seperti layaknya minyak ikan.

Aku tidak lagi peduli dengan hal-hal lainnya, namun keesokan hari aku kembali berkunjung ke Jardi des Plantes. Aku berangkat pada pagi hari, pagi dan sore hari terkadang. Petugas akuarium tersenyum dengan heran ketika ia memeriksa tiketku. Aku bersandar pada besi di satu bar tepat di depan sebuah akuarium dan memandangi mereka. Tidak ada yang aneh dengan hal ini, karena setelah beberapa menit aku merasa bahwa kami benar-benar telah terhubung satu sama lain, bahwa sesuatu yang hilang dan adanya jarak diantara kita benar-benar telah membuat kita seolah bersama. Hal itu sudah cukup untuk membuatku tertahan pada satu pagi didepan sebuah kaca dimana beberapa gelembung nampak mencuat menuju permukaan air. Kawanan axolotl meringkuk di tempat sempit yang menyedihkan itu (hanya aku yang dapat tahu betapa sempit dan menyedihkannya)  permukaan yang berlumut dan bebatuan di dalam kolam. Ada sembilan spesies disana, dan mayoritas menatap pada kaca pembatas, menatap dengan mata mereka yang berwarna keemasan pada siapapun yang sedang dekat dengan mereka. Bingung, dan hampir malu, aku merasa bahwa itu tindakan yang salah untuk menatap mereka yang tengah terdiam dan tak bergerak, menumpuk di dasar akuarium. Secara mental aku mengasingkan diri, menyingkirkan diri dan entah mengapa memisahkan diri dari yang lainnya, untuk kembali berpikir bahwa itu bukanlah satu hal yang salah. Aku melihat seekor tubuh kecil yang kemerahan, tembus pandang (Aku pikir itu adalah patung buatan Cina hadiah dari gelas susu), nampak seperti kadal kecil dengan ukuran enam inci, sebelum kemudian tertutup oleh seekor ikan dengan gerakannya yang begitu halus, salah satu bagian paling sensitif dalam tubuh kita. Menggunakan punggungnya untuk berlari bersama sirip transparan yang menjadi satu dengan ekornya, namun apa yang membuatku tertarik adalah bagian kakinya, begitu cantik, dengan jari-jemari yang mungil delengkapi oleh kuku mirip kuku manusia. Kemudian aku memperhatikan matanya, juga wajahnya. Tanpa ekspresi, tanpa ada sedikitpun bagian tubuh yang dapat menutupi mata, dua lubang, seperti bros, diselaputi oleh emas transparan, sedikit pucat namun tetap memandang, membiarkanku memandang tajam ke arah mereka, seolah menjelajah pada masa lalu yang indah namun sekejap hilang dalam sebuah ruangan hening penuh misteri. Sebuah lingkaran hitam yang tipis melingkar pada matanya yang terukir diatas daging merah muda itu, pada batok kepalanya, samar nampak seperti segitiga, dengan sisi melengkung dan tidak beraturan yang memberikan kesan serupa dengan patung yang perlahan tergerus oleh waktu. Mulutnya dilengkapi oleh moncong serupa pesawat, ukurannya yang besar bisa ditebak melalui gambarannya; di hadapan celah halus yang nyaris tidak pernah sekalipun tergores oleh bebatuan tanpa nyawa. Pada dua sisi kepala yang mana seharusnya menjadi tempat bagi dua telinga, terdapat beberapa tangkai tipis berwarna merah serupa yang biasa ada di atas karang, pertumbuhan alami, insang mereka, kurasa. Dan mereka biasa melakukan hal itu; setiap sepuluh atau lima belas detik sekali tangkai insang itu berkecamuk dan kemudian kembali melemas. Sekali waktu kakinya akan berhenti bergerak, aku melihat jari jemari kakinya yang mungil itu sedikit tenggelam oleh lelumutan. Itulah yang membuat kita tidak banyak bergerak, dan akuarium itu cukup sempit — membuat kita tidak leluasa untuk bergerak dan juga membuat kita sering berbenturan satu sama lainnya dengan ekor maupun kepala — timbul kesulitan, pertarungan, kelelahan. Seolah waktu berkata bahwa lebih untuk kita berdiam diri dan tetap tenang.

Adalah ketenangan itu yang membuatku memandang mereka dengan kekaguman seketika saat pertama kali aku bertemu axolotl. Sejujurnya aku ingin tahu tentang rahasia mereka yang satu itu, untuk menghapuskan ruang dan waktu dengan keadaan tanpa bergerak sama sekali. Aku tahu kemudian; pergerakan insang, dengan perhitungan sementara bahwa kaki mereka tetap berada di atas bebatuan, berenang dengan tiba-tiba (beberapa diantara mereka berenang dengan cara biasa yaitu badan yang mengombak) membuktikan padaku bahwa mereka mampu untuk mempertahankan energi yang mereka simpan selama berjam-jam lamanya. Disamping itu, mata mereka membuatku begitu tertarik. Dalam akuarium yang berdiri tepat dikedua sisinya, jenis ikan yang berbeda dengan tegas memperjelas bentuk mata mereka yang indah serupa dengan bentuk mata kita. Mata axolotl menunjukan padaku tentang kehidupan yang berbeda, dari sudut pandang yang berbeda. Menempelkan wajahku pada kaca (lantas penjaga berpura-pura terbatuk - menegur sesekali), aku berusaha lebih teliti lagi melihat titik kecil berwarna keemasan, yang menjadi gerbang tanpa batas serta pengendali dari dunia dimana makhluk kemerahan ini berasal. Sejujurnya memang sia-sia, menempelkan satu jari di permukaan kaca tepat dihadapan wajah mereka; mereka tak pernah memberi reaksi apapun. Mata keemasan itu masih tetap membara dalam kelembutannya, cahaya yang mengerikan; mereka tetap memandangku dengan tatapan yang begitu dalam, dimana hal itu lantas membuatku pening seketika.

Dan bagaimanapun mereka sudah sangat dekat. Aku sudah tahu sebelum ini, sebelum menjadi axolotl. Aku mempelajarinya saat pertama kali aku berada di dekat mereka. Penggambaran antropomorfisme dari monyet menyingkap kebalikan dari apa yang umumnya orang percaya, tentang seberapa jauh jarak yang mereka tempuh agar sampai pada tahapan kita. Ketiadaan persamaan yang mutlak antara axolotl dan manusia menunjukan bahwa pengakuanku memang benar, bahwa aku belum siap bahkan dengan analogi yang sebegitu ringannya. Hanya tangan yang mungil... Namun nyatanya, bahkan kadal air, juga memiliki bentuk lengan yang serupa, dan kita tidaklah sama. Aku rasa itu adalah lengan axolotl, dengan moncong segitiganya serta mata mungil keemasan. Sungguh familiar. Membawa pada satu kesimpulan. Mereka bukanlah binatang.

Begitu mudah, bahkan nampak begitu nyata, ketika tenggelam dalam sebuah mitologi. Aku mulai melihat metamorfosis axolotl yang gagal dalam meniadakan kemisteriusan manusia.  Aku membayangkan mereka begitu waspada, menderita dalam tubuhnya, dihukum dalam kesunyian dasar air, bermeditasi dalam kesia-siaan. Pandangan nanar dari cakram emas yang tanpa ekspresi dan berisi kekosongan itu hanya menyisakan kemilaunya, menyampaikan padaku sebuah pesan: “Selamatkan kami, selamatkan kami.” Aku berusaha mencari-cari kalimat yang tepat untuk membalasnya, menyampaikan harapan omong kosong. Mereka masih tetap menatapku, tanpa bergerak sama sekali; waktu berlalu namun cabang berwarna merah muda dari insang itu terus membatu. Pada saat itu rasanya aku menderita dalam diam; mungkin karena mereka terus melihatku, menggiring kekuatanku agar terus merangsak masuk pada kehidupan mereka yang tak bisa kulalui. Mereka bukanlah manusia, namun aku merasa tidak sedang berhubungan dengan binatang sama sekali. Kawanan axolotl itu telah mengalami sesuatu, tapi itu bisa saja salah. Aku merasa bukan apa-apa dihadapan mereka; seolah ada sesuatu yang mengerikan dibalik mata yang mungil itu. Mereka adalah larva, namun larva juga bisa berarti samar atau bahkan tak kasat mata. Dibalik rupa khas Aztec, tanpa ekspresi dan hanya menyisakan kekejaman yang abadi, apa arti dari semua itu selama berjam-jam ini?

Aku takut pada mereka. Aku pikir hal itu bukanlah perasaan serupa antara pengunjung dan petugas. Aku tidak cukup kuat untuk berada sendirian diantara mereka. “Hey, kau menyantap mereka dengan matamu,” seorang petugas berkata, tertawa; ia mungkin berpikir aku ingin memecahkan kaca pembatas. Apa yang ia tak ketahui sebenarnya adalah merekalah yang justru menelan diriku perlahan-lahan dengan tatapan mereka, kanibalisme yang dipenuhi kemilau emas. Pada satu sisi akuarium itu, aku berpikir tentang mereka, seolah aku benar-benar telah dipengaruhi oleh mereka hanya dalam jarak seperti ini. Intinya, aku datang hampir setiap hari, ketika malam aku berpikir bahwa mereka masih tetap diam dalam kegelapan, perlahan mengangkat lengan yang dengan sigap diikuti oleh yang lainnya. Mungkin saja mata mereka bisa melihat hantu di malam hari, dan bagi mereka hari tetaplah berlanjut tiada henti. Mata axolotl tidak pernah tertutup sama sekali.

Sekarang aku mengerti bahwa tidak ada yang aneh, bagaimanapun waktu tetap berjalan. Berada di depan akuarium setiap hari, mengenal lebih dekat lagi. Mereka yang tengah menderita, seluruh jengkal tubuhku menuju ke arah yang sama, arah dimana rasa sakit itu berasal, mereka yang terpaku di dasar akuarium. Mereka yang berbohong bahwa mereka menunggu sesuatu, sebuah bom waktu, yang berada di era kebebasan ketika dunia yang mulanya adalah milik mereka. Bukan tidak mungkin bila mereka akhirnya memasang ekspresi yang mengerikan disaat sedang berusaha untuk merobohkan penderitaan yang sengaja ditimpakan pada wajah-wajah yang membatu seraya membawa pesan tentang banyaknya penderitaan terhadap sesama, sebuah pembuktian atas kalimat; hukuman yang kekal, dalam neraka berbentuk cairan yang sedang mereka diami saat ini. Tiada harapan, aku mencari pembuktian atas pemikiranku sendiri yang sedang membayangkan suatu khayalan tentang apa yang sedang terjadi pada kawanan axolotl. Mereka dan aku tahu. Jadi tidak ada yang aneh sama sekali. Wajahku menempel pada kaca akuarium. Mataku sekali lagi memburu misteri yang terdapat di balik mata bekilau emas, tanpa selaput, tanpa pupil. Aku melihat jelas secara dekat wajah-wajah axolotl bergerak lebih dekat pada kaca. Tanpa halangan dan tak ada yang aneh. Aku melihat wajahku sendiri di dekat kaca, aku melihat keluar akuarium, aku melihat itu dari sisi lain kaca. Lalu aku memundurkan wajah, dan aku mengerti.

Hanya satu hal yang rasanya aneh: berusaha berpikir sewajarnya, untuk mengetahui. Untuk sadar bahwa, ketika pertama kali, seolah lelaki mengerikan yang terkubur hidup-hidup guna menghadapi takdir yang sesungguhnya. Diluar, wajahku kembali mendekat pada kaca, aku melihat mulutku, bibir yang menyatu pada kekukuhan untuk mengerti tentang axolotl. Kini aku adalah seekor axolotl dan kini aku tahu bahwa tidak gampang untuk mengerti suatu hal. Ia ada diluar akuarium, namun pikirannya melayang jauh dari akuarium. Mengenali dirinya, menjadi dirinya sendiri, aku adalah axolotl di dalam duniaku. Kengerian baru saja dimulai — Aku belajar di waktu bersamaan — untuk mempercayai bahwa aku terkurung dalam penjara di tubuh seekor axolotl,  bermetamorfosis menjadi dirinya dengan pikiran manusia yang tetap utuh, terkubur hidup-hidup dalam seekor axoltl, dihukum untuk berpindah; bergerak secara logis diantara dua makhluk yang tak sadar. Namun itu terhenti ketika kaki turut menggiring wajahku, ketika aku sedikit bergerak pada satu sisi, aku melihat seekor axolotl di dekatku sedang menatapku, aku mengerti bahwa ia juga tahu, tanpa komunikasi sama sekali, namun terlihat jelas. Atau akulah yang ada di dalam dirinya, atau malah kita semua berpikir layaknya manusia, ungkapan tanpa berkata, membatasi kemilau emas di setiap mata kita memandang pada wajah seorang lelaki yang menempel pada dinding kaca akuarium.

Lelaki itu kembali setiap saat, namun sudah jarang sekarang. Minggu berlalu tanpa ia memunculkan rupa. Aku melihatnya kemarin, ia lama memandangiku dan kemudian pergi begitu saja. Rasanya ia seperti sudah tak lagi tertarik dengan kami, dia tidak seperti biasanya. Sejak itu aku banyak berpikir, terus memikirkannya. Itu terjadi padaku bahwa ketika pertama kali kita mulai berkomunikasi, ia merasa lebih dari seseorang dengan segala misteri yang mengendap di dalam dirinya. Namun jembatan antara dia dan diriku telah runtuh, sebab apa yang menjadi obsesinya kini adalah seekor axolotl, makhluk asing dalam kehidupan manusia. Awalnya aku mengira bahwa aku bisa kembali padanya dengan mencoba beberapa cara — ah, hanya dengan beberapa cara — dan membiarkan ia sadar akan hasratnya untuk mengetahui bahwa kami baik-baik saja. Aku adalah seekor axolotl yang baik-baik saja sekarang, dan jika aku berpikir seperti manusia itu karena setiap axolotl memang berpikir seperti manusia dibalik tubuh mereka yang mirip sebongkah batu berwarna merah. Aku percaya bahwa keberhasilan dalam mengkomunikasikan berbagai hal kepadanya beberapa hari yang lalu itu, adalah saat aku masih menjadi dirinya. Dan pada akhir dari keterasingannya yang mana tak lagi tiba, aku berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa mungkin ia sedang menulis suatu kisah tentang kami, mungkin ia sedang menyusun sebuah kisah, dia akan menulis segala hal tentang axolotl.




* Diambil dari kumpulan cerita pendek karya Julio Cortázar, Blow-Up & Other Stories. (Collier, 1968)

* Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh, Andika Wahyu Adi Putra.

>> Julio Cortázar, bernama lengkap Julio Florencio Cortázar Descotte, adalah seorang penulis Argentina, seorang novelis, dan cerpenis. Dia mempengaruhi seluruh generasi penulis di Amerika Latin, dari Meksiko hingga Argentina, dan banyak dari karyanya sudah di terjemahkan ke dalam bahasa Prancis, dimana kemudian ia menetap disana pada 1951.

You Might Also Like

0 komentar