Tempat Kelahiran - Yasunari Kawabata

Februari 08, 2018


Ketika seorang sekretaris yang akan menyewa sebuah rumah datang, ia melihat seorang anak kecil berkisar usia dua atau tiga belas tahun berdiri diambang pintu, ia tidak bisa menahan rasa ingin tertawa.

“Berhentilah menjadi sok pintar. Kirimkan saja surat ini kepada Ibumu dan katakan padanya tentang hal ini.”

“Jika kau bertanya pada Ibuku, ia akan berkata tidak. Kau akan menyewanya melaluiku.”

“Lalu berapa biaya sewanya?”

“Lima yen.”

“Hmm, aku tahu harga pasarannya,” sang sekretaris berkata dengan nada yang serius.

“Lima yen itu terlalu mahal. Turunkan sedikit ke tiga yen.”

“Lupakan saja.” Si anak lelaki itu mulai bersiap untuk pergi ke halaman yang ada di belakang. Sang sekretaris pun akhirnya menanggapi gaya tawar menawar yang kekanak-kanakan itu. Bagaimanapun ia harus memiliki tempat tinggal di belakang gedung kantor daerah.

“Hanya untuk bulan ini kau membayar uang sewa di muka.”

“Aku harus memberikannya padamu?”

“Ya, tentu saja.” Anak lelaki itu mengangguk dengan gaya seorang pemilik tanah. Namun, karena tak tahan menahan tawanya, ia mengerutkan bibirnya hingga kaku. Masalah transaksi keuangan yang baru saja ia tangani dan pelajari untuk ia lakukan ini sungguh menyenangkan dari yang pernah ia bayangkan. Ini adalah kedua kalinya ia mendapatkan kesempatan menangani masalah transaksi.

Ibunya pergi ke Tokyo untuk mengurus saudara perempuannya, yang sebentar lagi akan melahirkan. Ia tidak akan kembali untuk berbulan-bulan yang akan datang hingga bulan Maret. Dia meminta si anak lelaki untuk ikut datang ke Tokyo namun tidak meninggalkan sedikitpun uang untuknya. Seorang tetangga tengah memandanginya. Ketika seorang dealer datang dan menghampiri para tetangga, ia pun lantas membawanya masuk ke dalam rumah dan menawarkan padanya sebuah majalah dan lap tua. “Apakah ini cukup untuk dijual?” ia mengambil sebuah teko teh besi dari atas kompor dan menunjukannya kepada tukang dealer. Dia akhirnya begitu tertarik dengan hal-hal seperti ini: semua hal bisa dijual. Anak itu akhirnya membongkar isi rumah lusuhnya itu, bahkan menjual pakaian-pakaian tua milik ayahnya. Bahkan bila ia hanya mendapat lima yen saja, itu saja sudah cukup untuk pergi berkeliling di jalanan Tokyo. Transaksi semacam ini membuat si anak seolah telah beranjak dewasa, satu bagian dari kehidupan yang begitu aneh dimana seseorang mampu memperoleh pengalaman yang dialami oleh orang lain. Tapi ketika ia menerima uang, dari tukang dealer maupun dari sang sekretaris, ia merasa teramat sedih dan lelah atas kehidupan yang mereka jalani. Tetap saja, setelah segala usaha yang ia curahkan, ia merasa seperti seorang pemenang sejati. Ia tahu bahwa dirinya dapat bertahan.

Anak itu akhirnya sampai di stasiun Ueno di Tokyo dengan aroma apel hijau Aomori di sekujur badannya. Ibunya sangat kagum dan tidak akan memarahinya. Kenyataan bahwa ia tidak kembali ke rumah adalah satu hal yang menyesakkan dada seolah air yang sedang menenggelamkan.  Putera tertuanya juga tinggal di Tokyo. Meskipun ia telah mengecewakannya perihal rumah tua itu, jika terjual, akan berguna untuk modal usahanya, dan Ibu tidak akan membiarkannya terjual sama sekali. Kini anak itu telah menjual pakaian terbaik milik suaminya termasuk pakaian-pakaian tua miliknya, pakaian yang disimpan sang Ibu karena memilih menjual kimononya sendiri untuk mendapat uang makan.

“Aku akan tidur selama tiga hari.” Segera setelah anak itu sampai di rumah saudarinya, ia tertidur begitu saja.

 Saudara perempuannya itu tinggal di pinggiran kota dekat dengan kolam yang cukup besar. Hari berikutnya si anak lelaki pergi memancing sendirian. Dalam perjalanan pulang ia bersama lima atau enam anak dan membagikan pada mereka empat belas ikan mas tepat di depan gerbang rumahnya.

Di dalam rumah, sang Ibu dan puterinya sedang menangis. Suami puterinya itu memutuskan untuk menitipkan si anak lelaki itu kepada seorang tukang plester magang ditempatnya bekerja; pria itu menanyakan tentang si anak ketika sore tadi. Dan sang Ibu memprotesnya, berkata bahwa ia akan membawa anak itu kembali ke desa daripada menitipkannya ke pria magang tersebut. Anak itu pun segera beranjak, dan berbicara pada mereka seperti ia sedang melompat ke dalam kubangan air.

“Daripada kau berdebat dan terus menerus menangis seperti itu, aku siap untuk pergi kemanapun bahkan sebagai pekerja magang.”

Terdiam, sang Ibu pun akhirnya menjahit kaus kaki anak itu yang telah nampak berlubang. Anak itu membawa kimono polos milik Ibunya dan beberapa barang miliknya sendiri, dan, bahkan bila ia tahu musim panas akan segera tiba, ia tetap membawa kaus kaki musim dinginnya, yang ia jejalkan di dalam bagasi anyaman. 



* Diambil dari kumpulan cerpen karya Yasunari Kawabata, The Dancing Girl of Izu and Other Stories.

* Diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh, Andika Wahyu Adi Putra.

>>  Yasunari Kawabata, adalah seorang penulis Jepang, cerpenis, dan juga novelis yang mana tulisannya sangat kental akan kesan liris, halus dan puitis, yang akhirnya membuat dirinya meraih Penghargaan Nobel Sastra di tahun 1968, menjadi orang Jepang pertama yang meraih penghargaan tersebut. Karya-karyanya masih dapat dinikmati di seluruh dunia, dan masih relevan untuk dibaca.

You Might Also Like

0 komentar