Erostratus - Jean-Paul Sartre

Februari 08, 2018


Kau benar-benar harus melihat manusia dari bawah. Aku mematikan cahaya dan pergi ke arah jendela; mereka tidak pernah tahu bahwa kau masih bisa melihat mereka yang ada di atas sana. Mereka sangat berhati-hati dengan apa yang ada di hadapan mereka, kadangkala di belakangnya, namun jarak yang telah di tentukan bagi para penonton hanya sekitar lima puluh delapan kaki. Siapa yang menyangka bahwa bentuk topi yang saling bertentangan itu masih dapat terlihat bahkan dari posisi lantai ketujuh? Mereka sepertinya lupa untuk menutupi kepala dan bahu mereka dengan warna-warna yang cerah dan pakaian yang mengkilat, mereka tak tahu bagaimana caranya melawan musuh terhebat sepanjang sejarah kemanusiaan ini, dari sudut pandang bawah. Aku bersandar di jendela dan mulai tertawa: dimana sebenarnya keindahan teratas yang selalu mereka banggakan: mereka luluh lantak kala melawan sudut jalan bersama dua kaki yang melompat keluar dari bawah bahunya.

Pada balkon lantai ke tujuh: disanalah aku harus menghabiskan seumur hidupku. Kau harus siap dengan nilai moralitas dan suprioritas yang di kemas dalam berbagai simbolisme, sebab jika tidak, mereka akan terjatuh. Tapi apa sebenarnya suprioritasku atas bangsa manusia? Suprioritas dalam posisi, tidak lebih: Aku menempatkan diri sendiri diatas kemanusiaan, dan aku mempelajarinya. Itulah mengapa aku tetap menyukai menara-menara Notre-Dame, dan perwujudan awal Menara Eiffel, Sacre-Coeur, lantai ketujuh tempatku di Rue Delambre. Memiliki banyak sekali simbol-simbol yang menakjubkan.

Sekali waktu aku turun ke jalanan. Untuk pergi kantor, contohnya. Aku terdiam. Lebih sulit untuk mengumpulkan orang-orang hingga serupa kawanan semut ketika kau sedang berada di pesawat yang sama dengan mereka: mereka justru akan menyentuh mu. Ketika aku melihat ada seseorang yang mati di jalanan. Dia jatuh tepat di bagian wajahnya. Saat mereka membalikan tubuhnya, ia terlihat berdarah-darah. Aku melihat matanya yang terbuka memperlihatkan kelopak mata yang diiringi dengan darah yang terus bercucuran. Aku berkata pada diri sendiri, “Itu bukan apa-apa, itu tak lebih menyentuh ketimbang cat yang masih basah. Mereka mengecat hidungnya dengan warna merah, begitulah.” Tapi aku merasakan lengan, kaki, dan leherku begitu basah dan sekejap aku jatuh pingsan. Mereka membawaku ke toko obat, memberiku sedikit tamparan tepat di wajah dan juga sebuah minuman. Aku bisa saja membunuh mereka.

Aku tahu mereka saling bermusuhan namun mereka tak menyadarinya. Mereka menyukai satu sama lain, mereka berkawan dekat, mereka akan mengulurkan tangan kepadaku, disini dan disana, karena mereka berpikir bahwa aku sama seperti mereka. Namun bila mereka memiliki dugaan yang didasari oleh kebenaran, mereka seharusnya sudah memukuli diriku sejak tadi. Mereka akan melakukannya nanti, bagaimanapun juga. Ketika mereka membawaku dan mereka sudah tahu siapa diriku sebenarnya, mereka akan membuatku kwalahan; mereka memukulku selama dua jam di pos polisi, mereka menampar, memukul, serta memutar lenganku, bahkan mereka juga merobek celana dan melemparkan kacamata milikku ke lantai, lantas aku memandang ke arah mereka, mereka berempat, mereka tertawa dan menendangku. Aku selalu tahu bahwa nanti mereka akan berhenti memukuli diriku; aku tidak kuat, juga tidak bisa melindungi diri sendiri. Seorang dari mereka telah mengintaiku sejak lama: yang bertubuh besar. Di jalanan mereka bertemu denganku untuk melihat apa yang sedang kulakukan. Aku berkata tidak ada. Aku bertindak seolah tak tahu apa-apa. Namun mereka tetap mengincarku. Aku takut pada mereka: itu sudah pasti. Tapi jangan kira bahwa aku sama sekali tak punya alasan untuk membenci mereka.

Sejauh yang terjadi, segalanya berjalan baik-baik saja hingga tiba hari dimana aku mulai rajin membawa sebuah revolver. Kau akan merasa begitu kuat ketika terbiasa membawa sesuatu yang bisa menimbulkan suatu ledakan dan suara bising. Aku membawanya setiap hari Minggu, aku selalu membawanya di dalam saku celana saat sedang ingin pergi keluar untuk jalan-jalan — sebenarnya di sepanjang jalan raya. Aku merasa celanaku menjadi sempit karena revolver itu terasa mengganjal, aku pun merasakan dinginnya yang menjalar hingga paha. Namun perlahan-lahan berubah menjadi hangat karena adanya gesekan dengan tubuhku. Aku berjalan sedikit kaku, aku nampak seperti orang yang mencurigakan, seolah sedang memikirkan sesuatu di setiap langkahnya. Aku menyelipkan tangan ke dalam saku celana dan merasakan benda itu. Beberapa waktu kemudian aku masuk ke dalam toilet umum dan menuju tempat urinoir— bahkan disana aku masih harus berhati-hati sebab ada disana juga ada tetanggaku di waktu yang bersamaan — aku mengeluarkan revolver, merasakan beratnya, aku melihat gagangnya yang bertanda centang hitam dan pelatuk yang nampak seperti kelopak mata yang sedang mengatup sebelah. Selain itu, seseorang yang melihatku dari luar, pasti akan mengira aku sedang kencing. Tapi sebenarnya aku tidak pernah kencing di dalam urinoir itu.

Satu malam aku mendadak ingin menembak orang-orang. Itu adalah Sabtu sore, ketika aku keluar untuk menjemput Lea, seorang wanita berambut pirang yang biasa bekerja di depan sebuah hotel di Rue Montparnasse.  Aku tidak pernah berhubungan dengan seorang wanita: rasanya seperti dirampok. Kau berada diatas mereka, tentu saja, tapi mereka selalu berhasil melahapmu dengan mulut berambut besarnya itu dan, dari apa yang kudengar, mereka adalah satu-satunya — dan selalu — yang hampir selalu berhasil dalam menuntaskan setiap urusan. Lagipula, aku tidak akan meminta bantuan pada orang lain hanya untuk hal-hal yang sepele. Atau lebih jelasnya aku harus bersikap lebih dingin, perempuan alim yang menyerah terhadap diriku benar-benar menjijikan. Pada hari Sabtu di setiap bulan aku menyewa satu ruangan di Hotel Duquesne dengan Lea. Ia melepas pakaiannya dan aku hanya akan memandang dia tanpa sama sekali menyentuhnya. Terkadang aku tidak tertarik dengan apa yang ada di dalam celanaku, di lain waktu ketika ada waktu luang aku akan pulang ke rumah dan melampiaskannya sendirian. Malam itu aku tidak menemukan dia. Aku menunggu beberapa saat dan, ketika aku sama sekali tidak melihatnya datang, aku berpikir mungkin dia sedang kedinginan. Itu masih awal Januari dan udara memang terasa begitu dingin. Lantas aku merasa seolah hancur lebur: aku adalah orang yang imajinatif dan selalu mengingat tentang segala hal yang sebelumnya telah aku alami terutama di sore hari. Di Rue Odessa ada seorang wanita berambut pirang yang sudah sering kulihat, sedikit terlihat dewasa namun nampak tegas dan juga gemuk: bukannya aku meremehkan tipikal wanita yang dewasa: ketika mereka tidak memakai pakaian sama sekali mereka akan nampak lebih telanjang dari apapun. Tapi biasanya mereka tidak akan mengerti apa yang sebenarnya aku inginkan dan aku yang terlalu penakut untuk bertanya padanya lebih memilih untuk pergi berendam. Itulah yang membuatku kini tidak lagi peduli dengan siapa aku berkenalan: wanita ini bahkan bisa membantu menyembunyikan beberapa penjahat dibalik sebuah pintu, dan kemudian, orang itu akan segera melompat keluar dan mengambil semua uangmu. Kau beruntung jika masih bisa pergi tanpa sekalipun terkena hajar. Tapi tetap saja, sore itu aku terlalu gugup, dan memutuskan untuk kembali pulang, mengambil revolver dan mencoba sedikit peruntungan.

Jadi ketika aku bertemu dengan wanita ini, lima belas menit kemudian, dengan pistol yang sudah siap di dalam saku, aku tak lagi takut pada apapun. Melihat sosoknya dari dekat, ia terlihat sedikit menyedihkan. Dia mirip seperti tetanggaku di seberang jalan, istri dari seorang sersan polisi, dan aku begitu gembira sebab sudah lama aku ingin melihat dirinya telanjang. Dia memakai pakaian dengan jendela terbuka ketika sersan tidak ada disana., sementara aku bersembunyi di balik tirai jendelaku hanya untuk memandang sepintas akan sosoknya. Sayangnya ia selalu memakai pakaian di sudut belakang ruangan.

Hanya tersisa satu ruang kosong di Hotel Stella, di lantai lima. Kita naik ke atas. Wanita itu terlampau berat hingga ia harus berhenti dan mengambil nafas sejenak setelah berjalan cukup jauh. Aku merasa baik-baik saja: aku memiliki tubuh yang cukup kuat, terutama di bagian perut, dan membutuhkan lebih dari lima lantai untuk berhasil membuatku kelelahan. Ketika sampai di lantai ke lima, ia berhenti dan memegang dadanya dengan tangan kanan seraya bernafas tersenggal-senggal. Ia membawa kunci ruangan di tangan kiri.

“Jauh sekali,” katanya, berusaha tersenyum padaku. Tanpa menjawab, aku mengambil kunci darinya dan langsung membuka pintu. Aku memegang revolver di tangan kanan, menunjuk ke arah depan saku, dan aku tak melepaskannya hingga aku menyalakan lampu. Ruangan itu kosong. Mereka memiliki kotak berisi sabun berwarna hijau pada waskom, kau hanya perlu memencetnya sekali saja. Aku tersenyum. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat dengan kotak sabun kecil itu. Wanita tersebut masih bernafas dengan berat dibelakangku dan itu membuatku tertarik. Aku berbalik; ia tiba-tiba mendekatkan bibirnya padaku, lantas aku mendorongnya agar kembali menjauh.

“Lepaskan bajumu,” aku berkata padanya.

Disana ada sebuah kursi dengan lengan di kedua sisinya; aku duduk dan membuat diriku senyaman mungkin. Disaat seperti inilah aku ingin segera merokok. Wanita itu melepas pakaiannya sendiri dan berhenti, memandang padaku dengan aroma ketidak percayaan.

“Siapa namamu?” aku bertanya, dan bersandar kebelakang.

“Renee.”

“Baiklah, Renee, cepatlah. Aku menunggu.”

“Kau tidak ikut melepas pakaian?”

“Lanjutkan saja,” kataku, “jangan khawatirkan aku.”

Dia menjatuhkan celana dalamnya, mengambil semuanya dan meletakkan perlahan diatas pakaian yang lain termasuk bra miliknya.

“Jadi kau tipikal orang yang pemalas, sayang?” wanita itu bertanya padaku. “Kau ingin aku bekerja sendirian?”

Di waktu yang bersamaan ia mendekat padaku dan, memegang lengan kursi, dengan susah payah berlutut diantara kedua kakiku. Aku pun segera bangkit. 

“Jangan begitu,” aku berkata padanya.

Dia memandangku dengan terkejut.

“Jadi, kau ingin aku melakukan apa?”

“Tidak ada. Hanya jalan-jalan. Berkeliling. Aku tidak ingin melakukan sesuatu bersamamu lebih dari itu.”

Dia berjalan kebelakang dengan semacam kecanggungan. Tidak ada yang lebih mengganggu dari seorang wanita selain ketika mereka berjalan sembari telanjang. Mereka tak terbiasa untuk melepaskan sepatu heelsnya. Seorang wanita pelacur dengan punggung yang sedikit bungkuk dan tangan yang menggantung. Aku serasa di surga: dan disanalah aku berada, dengan tenang duduk di atas kursi, dengan pakaian hingga menutupi leherku, Aku bahkan masih mengenakan sarung tangan dan wanita dewasa ini membiarkan dirinya telanjang sendirian atas perintahku dan kembali maju ke hadapanku. Ia memandangku, dan, memperlihatkan senyumannya yang merona itu.

“Kau pikir aku cantik? Apa kau yakin?”

“Jangan pikirkan soal itu.”

“Katakan,” ia berkata dengan sedikit kesal, “apa kau pikir dirimu bisa memperlakukan aku seperti ini untuk waktu yang lama?”

“Duduklah.”

Dia terduduk di atas kasur dan kita saling memandang dalam diam. Ia bernafas seperti angsa. Bahkan aku dapat mendengar detik jam alarm yang ada di sudut ruangan. Akhirnya aku berkata padanya:

“Bukalah kedua kakimu.”

Dia ragu sesaat sebelum akhirnya menuruti perintah. Aku memandang diantara kedua kakinya dan mengeraskan hidungku. Lalu aku mulai tertawa terbahak sampai mengeluarkan air mata. Aku berkata, “Lihatlah itu!”

Dan aku kembali tertawa.

Ia memandangku, terdiam, merasa malu dan dengan segera menutup kedua kakinya.

“Bajingan,” ia berkata diantara giginya.

Namun aku tetap terbahak-bahak, hingga ia bergegas bangkit lalu mengambil pakaian dalamnya dari atas kursi.

“Hey!” ujarku, “ini belum berakhir. Aku akan memberimu lima puluh franc untuk yang tadi, tapi aku ingin uangku itu tidak sia-sia.”

Dia mengambil celana dalamnya dengan gugup.

“Aku masih memiliki cukup uang, mengerti? Aku tidak tahu apa yang kau inginkan. Dan jika kau mengajakku kemari hanya untuk membuatku terlihat bodoh...”

Lalu aku mengambil revolver dan memperlihatkannya pada dia. Dia melihatku dengan tatapan serius dan menjatuhkan celana dalamnya tanpa berkata-kata.

“Jalan,” aku berkata padanya, “bolak-balik.”

Dia berjalan mondar-mandir selama lima menit. Lalu aku memberinya sebuah rotan dan membuat dia melakukan perintah itu dengan benar. Ketika aku melihat karyaku itu telah banjir oleh keringat, aku pun bangkit dan memberinya sebuah cek lima puluh franc. Ia mengambilnya.

“Lama sekali,” tambahku. “Aku rasa aku belum cukup untuk membuatmu kelelahan hanya demi mendapatkan uang ini.”

Aku keluar, dan meninggalkannya sendiri dalam kondisi telanjang di tengah ruangan, sebuah bra di satu tangan dan cek lima puluh franc di tangan yang satunya lagi. Aku tidak menyesali uang yang sudah aku habiskan: aku membuatnya terkejut dan bukanlah perkara mudah untuk membuat wanita pelacur seperti itu terkejut. Sembari menuruni tangga aku merasa, “Inilah yang sebenarnya aku inginkan. Membuat semua orang terkejut.” Aku kegirangan seperti anak kecil. Aku membawa sabun berwarna hijau itu dan ketika sudah sampai di rumah aku menuangkannya kedalam air hangat hingga tak ada lagi yang tersisa namun selembar film terjebak diantara kedua jariku dan itu seperti permen mint yang sudah dihisap dalam waktu yang lama.

Pagi hari ketika aku terbangun, aku mendadak teringat wajah wanita itu, pandangan mata kala aku menunjukan pistol milikku, dan perut buncitnya yang selalu memantul keatas dan kebawah pada setiap langkah.

Benar-benar bodoh, pikirku. Tapi aku merasa sedikit menyesal: Seharusnya aku menembak dia ketika masih berada disana, menembak perutnya hingga dipenuhi oleh lubang. Malam itu dan tiga malam selanjutnya, aku bermimpi enam lubang kecil berwarna merah yang berkumpul di dalam sebuah pusaran yang melingkar.

Hasilnya, aku tak pernah keluar tanpa sekali pun membawa revolver. Aku melihat orang-orang dari belakang, membayangkan, sembari mereka berjalan, di sebelah mana mereka akan ambruk ketika aku menembak mereka. Aku memiliki kebiasaan untuk berkeliaran di sekitar Chatelet setiap hari Minggu ketika pertunjukan klasik sedang berlangsung. Sekitar jam enam aku mendengar bunyi bel bersamaan dengan seseorang yang datang membawa sebuah pintu kaca cukup tebal untuk segera dipasang pada pengaitnya. Ini hanya permulaan: suara bising perlahan memudar; orang-orang berjalan dengan langkah yang begitu lambat, mata mereka masih dipenuhi oleh mimpi-mimpi, hati mereka masih dipenuhi oleh banyak kecurigaan. Diantara mereka masih banyak yang memandang berbagai hal di sekitarnya dengan penuh kekaguman: jalanan terasa begitu aneh bagi mereka. Kemudian mereka tersenyum secara misterius: mereka berjalan melintasi satu dunia ke dunia yang lainnya. Aku menunggu mereka di dunia yang lainnya. Aku menyelipkan tangan kananku ke dalam saku dan memegang gagang pistol dengan sangat keras. Setelah beberapa saat, aku melihat diriku mulai menembaki mereka. Aku menghantam mereka seolah tanah liat yang mengalir melalui sebuah pipa, mereka terjatuh, satu persatu dan mereka yang panik segera masuk ke dalam teater, memecahkan kaca pintu. Sungguh sebuah permainan yang mengasyikan: ketika semuanya berakhir, lenganku menggigil dan aku tahu bahwa aku harus segera pergi menuju Drehers dan meneguk secangkir cognac untuk membuat diriku kembali tenang.

Aku tidak membunuh para wanita. Aku bisa saja menembak mereka tepat di bagian ginjal. Atau pada rahim mereka, untuk membuat mereka sedikit menari-nari.

Aku belum mengambil keputusan apapun. Tapi aku melakukan itu semua seperti halnya aku memutuskan untuk segera menghentikannya. Di awali dengan ingatan yang kabur. Aku belajar menembak di sebuah tempat di Denfert Rochereau. Skorku sangat sempurna, hanya saja pria yang menjadi target tembak itu terlalu besar, terutama ketika kau menembak titik sasaran. Lalu aku mulai mengatur jadwal. Aku memilih hari dimana jam kuliahku sama dengan jam kerja. Di pagi hari. Aku baik-baik saja bersama mereka, bahkan walaupun aku pernah memiliki pengalaman buruk ketika menyentuh tangan mereka. Mereka akan melepaskan sarung tangan ketika bertemu denganmu: mereka selalu menelanjangi telapak tangannya, menarik sarung tangan itu dan melepasnya satu persatu melalui setiap ujung jari, memperlihatkan betapa gemuk, telanjang dan berkerutnya telapak tangan mereka. Aku tak pernah melepaskan sarung tanganku.

Kita tidak terlalu sibuk saat hari Senin. Seorang sekretaris dari jasa layanan masyarakat datang dan membawakan kami uang gajian. Lemercier sempat bercanda dengan wanita itu sebelum ia akhirnya pergi, mereka nampaknya tidak tertarik dengan hal-hal semacam itu. Kemudian ia membicarakan tentang Lindbergh. Mereka menyukai Lindbergh. Aku berkata pada mereka:

“Aku suka kuda hitam itu.”

“Negro?” Masse bertanya.

“Bukan, hitam dalam artian Ilmu Hitam. Lindbergh adalah seorang pahlawan putih. Dia tidak membuatku tertarik.”

“Coba saja kau lihat sendiri jika kau bisa dengan gampangnya menyeberangi lautan Atlantik,” tantang Bouxin.

Aku mengatakan pada mereka tentang maksud dari pahlawan hitam itu.

“Seorang anarkis,” Lemercier berkata.

“Bukan,” aku sedikit berbisik, “para penganut paham anarkis justru lebih mencintai dirinya sendiri.”

“Kalau begitu, berarti dia cuma orang gila.”

Tetapi Masse, yang memiliki pengetahuan lebih, menyanggah tak lama kemudian.

“Aku tahu karakter yang kau maksud,” ia berkata padaku. “Namanya adalah Erostratus. Dia ingin menjadi orang yang terkenal tapi dia sendiri tidak mampu untuk menemukan cara yang lebih baik daripada memilih membakar kuil Ephesus, satu dari tujuh keajaiban dunia.”

“Dan siapa nama orang yang membangun kuil itu?”

“Aku tidak ingat,” katanya. “Aku tidak percaya ada orang yang ingat namanya.”

“Benarkah? Tapi kau ingat nama Erostratus? Kau tahu, bahwa tindakannya itu tidak terlalu buruk.”

Percakapan terhenti pada kalimat tersebut, namun aku hanya terdiam. Mereka akan mengingat nama itu ketika waktunya tiba. Sebelumnya bahkan aku sendiri tidak tahu siapa namanya, hingga kemudian aku mendengar tentang Erostratus, kisahnya sungguh menarik. Dia telah meninggal lebih dari dua ribu tahun yang lalu namun tindakannya masih berkilau serupa mutiara hitam. Aku mulai berpikir bahwa takdirku mungkin tidak akan lama lagi dan segera berakhir dengan tragis. Awalnya hal itu membuatku ketakutan namun perlahan aku bisa mengatasinya. Jika kau melihatnya dari sudut pandang yang berbeda, itu memang menakutkan, namun di sisi lain, itu adalah kesempatan yang pantas untuk kau pertimbangkan agar berani memberi sebuah perlawanan dengan cara yang elegan. Aku merasakan adanya kekuatan aneh yang menyelimuti tubuhkan kala aku turun ke jalanan. Aku membawa revolver, suatu benda yang dapat menimbulkan ledakan dan suara bising. Tapi rasanya aku tak lagi bisa hanya mengandalkan benda itu, melainkan justru harus pada diriku sendiri: Aku adalah sebuah revolver, sebuah bom atau torpedo. Aku pula, yang satu hari di akhir dari kehidupanku yang suram ini, akan meledak dan menerangi dunia dengan sebuah kilat yang hanya sekejap namun kejam layaknya mesiu. Pada waktu itu aku pun mengalami mimpi yang sama secara beruntun. Aku adalah seorang anarkis. Aku menuntun diriku sendiri pada jalur yang sedang ditempuh Tsar sementara aku juga membawa sebuah mesin yang mengerikan. Hingga waktunya tiba, ketika para pengiring mulai berdatangan, bom tersebut akhirnya meledak dan kita semua terlempar ke udara, aku, Tsar, dan para petugas dengan rambut yang di kepang emas, di depan mata semua orang.

Kini aku pergi untuk beberapa minggu, tanpa mau menunjukan diri pada para petugas. Aku berjalan di sepanjang jalan raya di tengah calon korban di masa depan atau mengunci diriku di dalam ruanganku sendiri dan membuat berbagai rencana. Mereka memecatku di awal bulan Oktober. Lalu aku menghabiskan banyak waktu untuk menulis surat, yang akan aku buat menjadi 102 salinan:

Monsieur:
Kau adalah orang yang terkenal dan karyamu terjual sampai ribuan. Aku akan memberitahumu sebabnya: karena kau menyukai pria. Kau memiliki kemanusiaan di dalam darahmu: kau beruntung. Karena kau dapat berbaur saat sedang bersama dengan orang lain; segera ketika kau melihat salah seorang diantaramu, bahkan bila kau sebenarnya sama sekali tak mengenali pria itu, kau akan merasa kasihan padanya. Kau memiliki rasa seperti yang ada di dalam dirinya, tentang sebab mengapa ia bergabung, mengapa kedua kakinya membuka dan menutup sesuka hati, dan di kedua tangannya: itu membuatmu tertarik karena ia memiliki lima jari di setiap telapak tangan dan ia dapat mengarahkan ibu jarinya kepada jari yang lain. Kau gembira kala tetanggamu mengambil sebuah cangkir dari atas meja karena sebenarnya punya cara yang lebih manusiawi lagi, yang mana sudah sering kau ungkapkan dalam setiap karyamu: sulit di cerna, tidak lebih cepat dari seekor monyet, tapi apakah itu saja sudah cukup cemerlang? Kau juga suka dengan daging manusia, pria itu nampak terluka berat karena ketidak tahuannya, seolah menemukan kembali setiap langkahnya, dan tampangnya yang terkenal itu bahkan membuat binatang terbuas sekalipun tidak akan tahan padanya. Jadi sangatlah mudah bagimu menemukan kalimat yang tepat untuk berbicara kepada seseorang tentang dirinya sendiri: rendah hati, aksen yang kacau. Orang-orang akan melarikan diri  ketika sedang asyik membaca bukumu di atas kursi yang nyaman, mereka berpikir tentang kasih sayang, kebijaksanaan dan ketidak bahagiaan, yang kau berikan kepada mereka untuk merubah banyak hal, agar menjadi lebih buruk, penakut,  tidak setia, dan agar tidak bisa lagi bangkit saat tiba awal bulan Januari. Lalu mereka akan berkata dengan jujur dari dalam lubuk hatinya tentang bukumu yang terbaru: ini karya yang sangat bagus.

Aku pikir kau pasti penasaran bagaimana jadinya bila seseorang tidak menyukai pria. Baiklah, aku adalah seorang manusia, dan aku sedikit menyukai mereka sehingga aku akan segera beranjak dan membunuh setengah lusin dari mereka: mungkin kau penasaran mengapa hanya setengah lusin? Karena silinder revolverku hanya memiliki enam lubang. Barang yang aneh, bukan? Lagipula, apa itu suatu tindakan yang salah? Tapi aku akan katakan padamu bahwa aku tidak bisa menyukai mereka. Aku mengerti apa yang kau rasakan. Tapi sebenarnya apa yang membuatmu tertarik pada mereka sebenarnya adalah hal menjijikan bagiku. Aku sudah melihat, dari sudut pandangmu, pria yang mengunyah dengan lamban, dimana dan kapanpun ia berada matanya tetap saja memburu, tangan kirinya membolak-balikan halaman surat kabar ekonomi. Apakah salah bila aku lebih memilih untuk menonton anjing laut yang sedang di beri makan? Seseorang tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang membeku kala berurusan dengan firasat. Ketika ia sedang mengunyah, dengan mulut tetap mengatup rapat, dan setiap sisi mulutnya bergerak keatas dan kebawah,  dia nampak seperti sedang menyeberang dari satu ketenangan menuju semacam keterkejutan yang begitu menyedihkan. Kau menyukai hal-hal seperti ini, aku tahu itu, kau akan menganggap hal ini sebagai sebuah peringatan gaib. Tapi tidak denganku; Aku tidak tahu mengapa; Aku sudah dari lahir memang seperti itu.

Jika ada ketidak samaan selera diantara kita aku tidak akan memperdebatkannya denganmu. Tapi seperti kau yang menghormati segala yang hal telah terjadi, aku tidak seperti itu. Aku bebas untuk menyukai atau tidak menyukai lobster Newburg, namun jika aku tidak menyukai pria, aku pasti akan celaka dan tak akan menemukan satupun tempat di dalam cahaya mentari. Mereka memonopoli esensi kehidupan. Aku harap kau mengerti apa yang aku maksud. Selama 33 tahun lamanya aku berusaha mendobrak pintu yang tertutup rapat itu, yang mana disana tertulis: “Dilarang masuk, jika tidak berkeprimanusiaan.” Aku telah merelakan segala hal yang sebelumnya sudah ku miliki, aku harus memilih: walaupun itu aneh dan rasanya akan sia-sia, cepat atau lambat segalanya hanya akan kembali menguntungkan mereka. Aku tidak dapat melepaskan diriku sendiri dari jerat pemikiranku yang sama sekali tak mampu memahami mereka dengan pasti, yang rasanya seperti: mereka tetap berada di dalam tubuhku seolah makhluk hidup yang bergerak secara perlahan-lahan. Tidak peduli apa yang aku lakukan, aku akan tetap menjadi seperti mereka; perkataan, contohnya: Aku berusaha menemukan perkataanku sendiri. Tapi setiap aku menggunakanannya aku langsung terseret hingga tak tahu berapa kali hati nurani ku berbicara; mereka merasuk ke dalam kepalaku dengan segala macam kebajikan yang sebelumnya aku dapatkan dari segala macam hal dan itu bukan berarti tanpa amarah sama sekali ketika aku menuliskannya kepadamu. Tapi untuk yang terakhir. Aku hanya ingin berkata padamu: mencintai pria adalah satu-satunya cara paling ampuh agar mereka mau membiarkanmu menyelinap keluar dari segala macam hal itu. Tapi, aku tidak ingin keluar. Segera aku akan mengambil revolver milikku, dan aku akan turun ke jalanan sembari melihat-lihat apakah ada orang lain yang berani melakukan sesuatu pada mereka di luar sana. Selamat tinggal, berharap dirimu lah yang akan aku temui kelak. Kau tidak akan pernah tahu bagaimana aku akan menghancurkan otakmu. Jika tidak — dan sepertinya memang begini — bacalah koran edisi besok. Disana nanti kau akan tahu seseorang yang bernama Paul Hilbert telah membunuh, dengan segala amarahnya, enam orang pejalan kaki di sepanjang jalan Edgar-Quinet. Kau lebih mengetahui ketimbang orang lain yang baru akan membaca berita itu di koran nanti. Lalu kau mengerti bahwa aku “sedang marah.” Sebaliknya, aku masih tenang-tenang saja dan memohon kepadamu agar bersedia mengijinkannya, Monsieur, jaminan atas perasaan yang selalu membuat diriku merasa sebagai sosok manusia yang berbeda.

Paul Hilbert.


Aku menyelipkan 102 surat di dalam 102 amplop dan pada setiap amplop aku sematkan 102 alamat para penulis Prancis. Kemudian aku letakkan seluruh hasil kerjaku itu di dalam laci meja milikku bersamaan dengan enam buah buku perangko.

Aku jarang keluar selama dua minggu setelahnya. Membiarkan diriku dikuasai perlahan-lahan oleh hasrat kriminal. Pada cermin, dimana biasanya aku melihat diriku sendiri, aku akhirnya tersadar akan wajahku yang telah berubah oleh kebahagiaan. Mata yang semakin lebar, seperti sudah siap untuk menelan seluruh bagian wajah. Berwarna hitam dan lembut dibalik kaca mata dan aku memutar-mutar mereka layaknya planet. Mata yang cocok untuk seorang pembunuh. Tapi aku mencoba membayangkan apa yang terjadi setelah pembantaian kelak. Aku melihat gambar dua gadis cantik — pembantu yang membunuh majikannya sendiri. Aku melihat gambar sebelum dan setelahnya. Sebelum, mereka nampak seperti bunga yang tumbuh di atas kerah pique. Mereka nampak sehat dan begitu bersahabat. Alat pengeriting rambut juga terlihat masih menempel di rambut mereka dengan bentuk yang sama. Tapi selain soal rambut mereka yang keriting, kerah baju dan penampilan mereka di dalam gambar itu, mereka juga memiliki kemiripan sebagai dua gadis yang bersaudara, mereka benar-benar mirip, dimana keduanya memiliki satu ikatan darah bahkan dari akar pohon keluarganya. Setelahnya, wajah mereka menyala seperti api yang membara. Leher mereka kini telanjang serupa tahanan yang akan digantung. Semuanya mengerutkan dahi, atas wujud dari ketakutan dan kebencian, lipatan, dan luka di tubuh mereka serupa guratan kuku binatang buas yang tengah berjalan menuju wajah mereka. Matanya, tetap berwarna hitam, dan tajam seperti milikku. Belum, mereka belum serupa satu sama lain. Masing-masing, dengan caranya sendiri, memiliki memori tentang kejahatan yang biasa terjadi sehari-hari. “Jika ini saja sudah cukup,” aku berkata pada diri sendiri, “bagi sebuah kejahatan yang mudah sekali dilakukan, dapat begitu saja merubah wajah dua anak yatim piatu ini, lalu apa yang bisa aku harapkan dari sebuah kejahatan yang segalanya hanya aku pahami dan aku rancang sendirian.” Itu mengganggu diriku, menjungkir balikan segala kebusukan manusia... sebuah kejahatan, sekejap saja bisa memotong kehidupan dari seorang lelaki yang melakukannya bahkan sebanyak dua kali. Pasti ada jalan keluar ketika seseorang ingin kembali ke titik awal, namun sebuah benda yang begitu mengkilap yang berada tepat di belakangmu, menghalangi jalan itu. Hanya sejam aku bersantai, melepaskan segala macam beban. Sekarang, aku akan mengatur segalanya dengan caraku sendiri: Aku memutuskan untuk melaksanakan eksekusi tepat di atas Rue Odessa. Aku tidak akan sulit untuk melarikan diri, pergi begitu saja setelah mengambil nyawa mereka. Aku akan lari, aku akan menyeberangi jalan raya Edgar-Quinet. Dan segera masuk ke Rue Delambre. Aku hanya butuh 30 detik untuk sampai di pintu masuk gedungku. Mereka yang tengah memburuku mungkin masih berada di jalanan Edgar-Quinet, mereka akan kehilangan jejakku dan tentu saja butuh waktu lebih dari satu jam untuk bisa melacaknya kembali. Aku akan menunggu mereka di ruanganku, dan ketika sudah terdengar suara pintu yang sedang berusaha di dobrak, aku akan mengisi ulang revolverku dan menembak diri sendiri tepat di bagian dalam mulut.

Aku akan mulai hidup dengan bergelimang kesuksesan; Aku akan mendirikan dan memiliki sebuah restoran di Rue Vavin yang akan buka dari pagi sampai sore hari. Seorang bocah lelaki membunyikan belnya, tapi aku tidak membukakan pintu sama sekali, aku menunggu beberapa menit lalu aku membuka separuh pintu dan melihat banyak sekali piring tergeletak di dalam sebuah keranjang di sepanjang lantai.

Pada 27 Oktober, tepat pukul enam sore, aku hanya memiliki 17 dan setengah francs. Aku mengambil revolver milikku bersama paket berisi surat lalu turun ke lantai bawah. Aku berhati-hati agar tidak menutup pintu, jadi aku bisa masuk dengan cepat tanpa perlu lagi berlama-lama. Aku merasa tidak enak, tanganku begitu dingin dan darahku dengan cepat naik menuju kepala, mataku pun sedikit gatal. Aku melihat ke arah pertokoan, Hotel de lEcole, toko alat tulis dimana aku biasa membeli pensil, namun rasanya aku tidak mengenali semua itu. Aku penasaran, “Jalan apa ini?” Jalanan Montparnasse selalu penuh dengan orang-orang yang sibuk berlalu lalang. Berdesak-desakan, mendorong diriku, menabrakku dengan siku atau bahu mereka. Aku membiarkan diriku terdorong oleh mereka, Aku tidak memiliki cukup tenaga untuk menyusup diantara mereka. Segera aku mendapati diriku terkepung oleh banyak orang, begitu mengerikan hanya sendiri dan merasa kerdil. Mereka bisa menyakitiku kapanpun mereka mau! Yang aku takutkan hanyalah soal pistol di dalam sakuku. Aku rasa mereka pasti sudah mengetahui benda itu ada di dalam sana. Mereka memandangku dengan tatapan tajam dan akan berkata: “Hey itu... Hey... !” dengara rasa geram yang membuncah, menyergapku dengan cakarnya. Habisi beramai-ramai! Mereka akan menghempaskanku ke atas kepala mereka dan aku akan kembali jatuh ke pangkuan tangan mereka seperti boneka pertunjukan. Rasanya lebih baik jika aku menunda rencana eksekusi itu hingga hari berikutnya. Aku pergi untuk makan di Cupole seharga 16 francs 80. Aku punya sisa 70 centimes dan aku membuangnya ke dalam selokan.

Aku berdiam diri selama tiga hari di dalam ruanganku, tanpa makan, tanpa tidur. Aku menutup tirai dan sama sekali tidak berani melangkah ke ambang jendela bahkan untuk melihat secercah cahaya mentari sekalipun. Pada hari Senin, seseorang membunyikan bel pintu. Aku berhenti bernafas sejenak dan menunggu. Setelah beberapa menit, suaranya kembali muncul. Aku berjalan mengendap-endap lalu mendekatkan mataku di lubang kunci. Aku hanya bisa melihat sepotong pakaian berwarna hitam bersama dengan celana miliknya. Pria itu kembali membunyikan bel lalu pergi begitu saja. Aku tidak tahu siapa dia. Pada malam harinya aku mendapatkan gambaran baru, pohon palem, air yang mengalir, serta langit berwarna ungu di atas sebuah kubah. Aku tidak haus karena setiap waktu aku selalu minum air keran. Tapi sebenarnya aku merasa lapar. Aku melihat wanita pelacur itu lagi. Di sebuah kastil yang aku bangun di Causses Noires, sekitar 60 mil dari kota manapun. Dia telanjang bersamaku. Aku mengancamnya dengan pistol milikku dan aku juga memaksa dia untuk berlutut, lalu kemudian berlari sambil merangkak; setelah itu aku mengikatnya pada sebuah pilar dan setelah aku menjelaskan apa yang akan aku lakukan kemudian, aku menghabisinya dengan beberapa kali hempasan peluru. Gambaran ini benar-benar menggangguku dan aku harus menenangkan diriku kembali. Setelah itu aku perlahan tak lagi dapat bergerak di dalam kegelapan, kepalaku benar-benar kosong. Perabotan mulai berdererit. Itu jam lima pagi. Aku harus meninggalkan ruangan, tapi aku tidak bisa pergi keluar karena orang-orang nampak telah berlalu-lalang di jalanan.

Hari itu akhirnya tiba, aku tidak lagi merasa lapar, tapi aku justru berkeringat: pakaianku sudah basah. Di luar udara sangatlah panas. Lalu aku pikir: “Pria itu telah menyerah pada kegelapan, di ruangan tertutup, selama tiga hari. Ia bahkan tidak makan ataupun tidur. Mereka membunyikan bel pintu tapi ia tidak membukanya. Segera, pria itu akan turun ke jalanan dan melancarkan pembunuhan.”

Aku takut terhadap diriku sendiri. Tepat jam enam sore rasa lapar menyergapku lagi. Aku kesal dan marah. Aku melampiaskannya pada tiap perabotan yang ada, kemudian menyalakan lampu di setiap ruangan, dapur, kamar mandi. Aku mulai bernyanyi dengan suara terbaikku. Aku mencuci tangan dan pergi keluar. Butuh dua menit bagiku untuk mengambil semua surat yang ada di dalam kotak pos. Ada banyak surat yang masuk. Aku harus mengambil semua amplop itu. Kemudian menyusuri jalanan Montparnasse sepanjang Rue Odessa. Aku berhenti di depan cermin sebuah butik pria, dan ketika aku melihat wajahku sendiri aku berpikir, “Malam ini.”

Aku berdiri sendirian di sekitar Rue Odessa, tak jauh dari lampu jalanan, dan hanya menunggu. Dua wanita melintas, bergandengan tangan.

Aku kedinginan tapi berkeringat cukup banyak. Setelah sejenak aku melihat tiga pria datang; aku membiarkan mereka lewat: aku butuh enam orang. Salah satu diantara mereka memandangku dan menggerak-gerakan lidahnya. Aku mengacuhkannya.

Pukul tujuh lewat lima, ada dua kelompok yang saling mengikuti, menuju ke jalan Edgar-Quinet. Ada seorang pria dan seorang wanita dengan dua orang anak. Di belakang mereka terlihat tiga wanita paruh baya. Aku mengambil langkah. Wanita itu sepertinya kesal dan meraih lengan anak laki-lakinya. Si pria pun lantas berkata,

“Dasar keparat,”

Jantungku berdetak begitu kencang dan itu sampai pada lenganku. Aku menghampiri dan berdiri di depan mereka, tidak bergerak. Jari jemariku, menyusup ke dalam saku, dimana sebuah pemicu senjata yang lembut terasa.

“Maafkan aku,” pria itu berkata, melihat kepadaku.

Aku sejenak kembali teringat bahwa aku masih berada di dekat pintu gedung apartemenku sendiri dan itu membuatku sedikit panik. Aku harus merelakan kesempatan untuk memulainya. Mereka kemudian pergi. Aku berbalik dan mengikuti mereka diam-diam. Tapi aku malah merasa tidak ingin menembak mereka lagi. Mereka kini menghilang diantara kerumunan orang. Aku bersandar di sebuah tembok. Aku dengar jam delapan dan jam sembilan sudah saling berbenturan. Aku berkata pada diri sendiri, “Kenapa aku harus membunuh orang-orang ini, yang kelak juga akan mati dengan sendirinya?” rasanya aku ingin tertawa. Seekor anjing kemudian datang dan mengendus kakiku.

Ketika seorang pria berbadan besar melintas dihadapanku, aku segera mengikutinya. Aku bisa melihat lipatan di bagian belakang lehernya yang berwarna kemerahan diantara kerah baju mantel. Ia berjalan perlahan-lahan dan bernafas sesekali tersenggal-senggal, dengan suaranya yang terdengar serak. Aku mengeluarkan revolver milikku: rasanya begitu dingin dan menyilaukan, membuatku tak nyaman,  aku tidak lagi ingat apa yang sebenarnya harus kulakukan dengan benda ini. Terkadang aku memandang benda ini dan terkadang pula aku melihat ke bagian leher pria itu. Lipatan yang ada di lehernya tersenyum kepadaku layaknya senyuman dari sepotong bibir. Aku penasaran apakah kelak aku benar-benar sama sekali tidak membuang benda ini ke saluran pembuangan.

Segera, pria itu berbalik dan memandangku, merasa terganggu. Aku sedikit mundur.

“Aku ingin bertanya padamu...”

Dia seperti tidak mendengarkanku, ia hanya memandang ke arah tanganku.

“Apakah kau tahu dimana letak Rue de la Gaite?”

Wajahnya nampak bodoh dan bibirnya bergetar. Dia tidak berkata apapun. Bahkan dia justru membentangkan tangannya. Aku mundur sedikit kebelakang dan berkata:

“Aku hanya...”

Lalu aku mengerti bahwa aku harus segera berteriak. Tapi aku tidak ingin melakukan itu: aku akan menembak dia tiga kali tepat di bagian perutnya. Dia terjatuh dengan wajah idiotnya, terjatuh diantara kedua lutut dan kepalanya miring ke arah pundak sebelah kiri.

“Sialan,” kataku, “Dasar keparat!”

Aku berlari. Aku mendengar dia terbatuk-batuk. Aku juga mendengar teriakan dan gemertak alas kaki di belakangku. Seseorang bertanya, “apakah terjadi perkelahian?” kemudian tak lama setelahnya seseorang berteriak, “Pembunuhan! Pembunuhan!” Aku tidak berpikir bahwa teriakan itu ditujukan kepadaku. Tapi mereka seolah ancaman, seperti sirine dari mobil pemadam kebakaran ketika aku masih kecil dulu. Ancaman yang konyol. Aku berlari sekuat tenaga, sejauh kakiku dapat membawaku pergi.

Hingga akhirnya aku tersadar bahwa aku melakukan kesalahan fatal: alih-alih naik ke atas Rue Odessa kemudian menuju jalan Edgar-Quinet, Aku justru berlari menuju ke arah jalan Montparnasse. Ketika aku menyadari segalanya sudah terlambat: aku sudah berada di tengah keramaian, wajah-wajah itu memandangku dengan heran (aku ingat wajah seorang wanita dengan tatapan kejamnya memakai topi hijau dengan semacam bulu bangau putih di atas kepalanya) dan aku mendengar seseorang dari Rue Odessa dengan bodohnya berteriak “pembunuh” sembari menunjuk padaku. Sebuah tangan menepuk pundakku. Sekejap aku hilang akal dan kemudian: aku tidak ingin tertangkap ditengah kerumunan seperti ini. Aku melepaskan dua kali tembakan. Orang-orang mulai berteriak dan berlarian. Aku pun berlari menuju sebuah kafe. Mereka yang tengah asyik menikmati minumannya langsung bangkit, sementara aku berlari dari arah yang berlawanan membuat mereka tidak sempat menghentikanku, aku berlari di dalam kafe dan mengurung diriku sendiri di sebuah kamar kecil. Masih tersisa satu peluru di dalam revolver.

Waktu berlalu. Aku hampir kehabisan nafas sama sekali. Segalanya terasa sunyi, mungkin orang-orang masih terkejut di luar sana. Aku mengarahkan pistol itu ke arah mataku sendiri, aku bisa melihat lubang kecil tersebut, melingkar berwarna hitam: peluru akan keluar dari sana; mesiu akan membakar wajahku. Aku melemaskan tanganku lagi, dan menunggu. Setelah beberapa saat mereka datang; pasti salah satu dari kerumunan itu. Menghakimi sembari berkumpul di atas permukaan lantai. Mereka berbisik-bisik dan kembali diam. Aku masih bernafas dengan tersenggal-senggal dan mungkin mereka juga bisa mendengarnya dari luar bilik. Seseorang maju perlahan-lahan dan menggerak-gerakan gagang pintu. Dia pasti sedang berada di samping pintu, berusaha agar tidak terkena tembakan peluru. Aku masih ingin menembak — tapi ini adalah peluru terakhirku.

“Apa yang mereka tunggu?” aku penasaran. “Jika mereka mendorong pintu dan membuatnya ambruk seketika, aku tidak akan memiliki kesempatan untuk bunuh diri dan mereka akan membawaku hidup-hidup.” Tapi merekalah yang sebenarya terburu-buru; mereka memberikan aku waktu sebanyak mungkin untuk mati. Para bajingan itu, mereka ketakutan.

Setelah beberapa saat, seseorang bicara, “Baiklah, buka pintu ini. Kami tidak akan menyakitimu.”

Sejenak hening dan suara yang sama kembali berkata, “Kau tahu bahwa dirimu sudah tidak bisa kabur lagi.”

Aku tidak menjawab, aku masih bernafas dengan tersenggal-senggal. Untuk menguatkan tekad menembak diri sendiri, aku berkata pada diriku, “Jika mereka akhirnya menangkapku, mereka akan memukulku, mematahkan gigiku, bahkan mungkin mengeluarkan mataku.” Aku ingin tahu apakah pria bertubuh besar itu benar-benar sudah mati. Mungkin aku hanya membuatnya terluka saja... Mereka akan segera mendapatkan bukti, mereka menyeret sesuatu yang sepertinya sangat berat di atas lantai. Lantas aku langsung mengarahkan ujung pistol ke dalam mulut, sembari menggigitnya dengan keras. Tapi aku tidak bisa menembak sama sekali, aku tidak mampu bahkan disaat aku sudah meletakan jari tepat di pemicunya. Segalanya benar-benar hening.

Aku pun membuang revolver itu dan membuka pintu.




_______

* Diambil dari buku kumpulan cerita pendek karya Jean-Paul Sartre, The Wall & Other Stories. (New Directions, 1969)

* Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh, Andika Wahyu Adi Putra.

>>  Jean-Paul Charles Aymard Sartre, lebih dikenal dengan nama Jean-Paul Sartre, adalah seorang filusuf asal Prancis yang juga seorang pelopor pemikiran eksistensialisme, seorang penulis skenario, novelis, dan juga seorang kritikus. Dia adalah salah satu filusuf Prancis paling terkemuka dan berpengaruh di abad 20. Dia pun juga sempat mendapat Penghargaan Nobel Sastra di tahun 1964.

You Might Also Like

0 komentar