Bonsai, Alejandro Zambra

Februari 26, 2018


Terkadang, kalau sedang merancang suatu kisah, entah untuk novel atau cerita pendek, atau bahkan untuk film, kita, termasuk saya, terlalu disibukkan dengan pola penceritaan, hingga lupa sejenak tentang esensial dari kisah itu sendiri. Katakanlah, merancang kisah seperti merancang jalur jalan raya di sebuah kota metropolitan, yang bertele-tele dan bisa memakan waktu yang lama. Alih-alih ingin membuat terkejut para pembaca, dengan opsi-opsi yang njlimet, justru kita sendiri yang bisa dibuat bingung dan bosan dengan cara seperti itu. Penulis seperti Haruki Murakami misalnya menganalogikan merancang suatu kisah selayaknya menata halaman — untuk cerita pendek — sedangkan untuk sekelas novel — kita sejak awal sedang menanam hutan dengan rerumputan dan pepohonan tua yang menjulang-julang. Tak ayal, membuat kisah selayaknya memelihara makhluk hidup yang kelak bisa mati dan terlupakan. Ada tanggung jawab, dan tentu bukan hal main-main. Menanam selayaknya dengan keindahan yang luar biasa, lebih menarik dari apapun. Bonsai, di sisi lain, adalah satu mahakarya Alejandro Zambra di awal debutnya sebagai novelis di tahun 2006-an. Bahkan belakangan ia sering disebut-sebut sebagai titisan Roberto Bolaño. Tapi, sebenarnya karyanya yang pertama ini lebih cocok disebut novella karena halamannya yang tak lebih dari 90 halaman (terbitan Melville House). Terinspirasi dari tanaman Bonsai, yang mana sering orang bilang adalah miniatur alam — sebenarnya miniatur sebuah pohon di suatu pot bunga, makannya dinamakan pohon Bonsai, dan jika pohon itu dilepas, dan ditanam di lahan lain yang cukup luas dan alami, kita bisa menyebutnya dengan “bonsai” saja. Begitulah sekiranya penjelasan salah satu fragmen di novella Bonsai, kala Julio sedang mempelajari tentang Bonsai itu sendiri. Berkisah tentang sepasang anak muda yang jatuh cinta, sebut saja dan kita hanya menyebutnya dengan nama Emilia dan Julio — karena mereka sebenarnya tak bernama, penulis lebih senang menyebutnya sebagai “dia” untuk masing-masing keduanya dan meminta si gadis di sebut Emilia dan si lelaki di sebut Julio — yang jatuh cinta kala menjelang ujian Spanish Syntax II. Novella ini cukup unik dengan ide yang singkat dan bisa di tulis dalam satu paragraf saja, di awali dengan sebuah kalimat: In the end she dies and he remains alone. Kita telah diberi bocoran bagaimana akhir kisah ini, seperti kita membaca Chronicle of a Death Foretold nya Marquez. Tapi yang memberi perhatian lebih adalah bagaimana Bonsai bisa bertransformasi pada sebuah kisah cinta “gagal” yang berakhir pada kematian Emilia di akhir kisah. Terlebih saya — dan mungkin para pembaca lainnya juga — menduga bahwa Julio dalam kisah ini adalah alter ego dari Zambra itu sendiri, selain Zambra sebagai narator dalam kisah tersebut, tentu saja. Terlebih ketika Zambra merasa ada karakter yang membuat kisahnya melenceng ia akan berbicara pada pembaca: bahwa karakter itu adalah pelengkap, bukan karakter utama, kita akan kembali fokus pada Emilia / Julio. Ini adalah satu narasi yang cukup lucu menurut saya.

Di potong menjadi lima bab yang cukup pendek, kedua sejoli itu bertemu dengan semacam ketidak sengajaan, ketika mereka sedang belajar di sebuah rumah seorang kawan, dan secara kebetulan mereka menjadi kian dekat dan menjumpai satu kesamaan diantar keduanya. Namun, begitu, kebohongan terjadi bahkan ketika pertama kali mereka sedang berusaha saling mendekat satu sama lain: “The first lie Julio told Emilia was that he had read Marcel Proust.” Tapi terlepas dari kebohongan yang mereka ciptakan sendiri, kesamaan diantara keduanya adalah buku — bacaan. Saya bahkan sempat nyengir sendiri, ketika sampai pada paragraf dimana mereka terbiasa membaca sebuah kisah bersama-sama, dalam satu buku dengan nada-nada yang khas dan berubah-ubah, taksir saya seperti seseorang yang sedang membaca naskah dialog pertunjukan teater. Hingga akhirnya mereka sampai pada sebuah kisah berjudul, “Tantalia”, karya Macedonio Fernández. Kisah tentang sepasang kekasih yang membeli sebuah tanaman mungil sebagai simbol persatuan cinta diantara keduanya, namun mereka pun menyadari bahwa kala tanaman itu mati, cinta yang menyatukan keduanya pun juga ikut mati. Menurut saya bagian ini salah satu yang terpenting sebab, Alejandro Zambra menanamkan analogi yang tersebar diantara bab per bab. Terlebih kala Julio dan Emilia berpisah dan mulai menjalani hidup mereka masing-masing, dimana Julio bertemu dengan seorang novelis, Gazmuri yang meminta bantuan kepada Julio, untuk menulis ulang kisah yang ia tulis tangan dalam beberapa buku catatannya. Dia membuat sebuah cerita yang mirip dengan kisah Bonsai ini tapi sedikit berbeda dengan Tantalia karya Macedonio Fernández yang sebelumnya Julio baca bersama Emilia. Tentang sepasang kekasih yang membeli sebuah tanaman untuk menyatukan kisah cinta mereka; Pohon Bonsai.

Sebuah tanaman, yang menjadi miniatur alam konon katanya, diubah menjadi analogi dari kisah cinta, yang tragis pada akhirnya. Pohon Bonsai dalam hal ini seperti yang saya katakan di awal sebelumnya, akan disebut Bonsai saja ketika mereka berada di alam liar dan terbuka (tidak dalam sebuah pot bunga) karena, pot dalam hal ini adalah menyatukan elemen dari alam itu sendiri. Perasaan, kejujuran, kesetiaan, dan terakhir ajal/kematian. Menjadi satu kesatuan bersama Pohon Bonsai di dalam pot bunga, menyatukan semuanya menjadi analogi alam dalam miniatur alam terkecil sekalipun, ketika Bonsai itu di lepas dia tidak akan mati (dalam hal ini, secara implisit tentu saja), tapi justru akan tetap ada dan hidup dengan cara yang berbeda.

Alhasil, Zambra sendiri tak dapat mengakhiri kisah Julio sama sekali.

You Might Also Like

0 komentar