The Strange Library, Haruki Murakami
Februari 28, 2018“Ketika aku masih seusia dirimu aku merasa bersyukur masih memiliki waktu untuk membaca. Dan sekarang kau disini, mengkhawatirkan tentang waktu dan makan malam. Kau sudah gila!”
Bagaimana Perpustakaan yang tenang dan sunyi, berubah menjadi suatu keliaran yang mahagila. Ini salah satu karya terliar Murakami. Itulah yang terpikirkan dibenak saya ketika selesai membacanya, seolah sedang membaca karya-karya cerita pendeknya, hanya saja ini berupa ilustration novella. Begitupun dengan tema yang diambil; Perpustakaan. Seorang anak yang mampir ke sebuah perpustakaan untuk mengembalikan sebuah buku yang ia pinjam tempo hari, dengan tepat waktu tentu saja. Dengan keisengan anak-anak pada umumnya, ia berkata bahwa ia juga sedang mencari buku lainnya. Dia pun diarahkan dan pergi ke ruang basement perpustakaan dan masuk ke sebuah ruangan tepat di suatu koridor yang begitu mencekam, disanalah ia melihat seorang pria tua duduk di mejanya, dan disanalah kisah yang aneh itu dimulai. Ketika pria tua itu memberikan buku The Diary of an Ottoman Tax Collector (dan dua lagi yang sejenis), si anak tidak diperkenankan untuk meminjam dan membawanya pulang, tapi ia harus membacanya di perpustakaan tersebut, di sebuah ruang baca, jauh di bawah basement perpustakaan itu, dengan koridor yang mereka lalui serupa labirin, dan ruang baca serupa penjara, kaki anak itu bahkan harus diikat dengan rantai dan bola besi seolah tawanan perang di dalam gulag. Lebih aneh lagi, seorang penjaga ruang baca tersebut; lelaki berkostum kulit domba. Sebenarnya saya sempat dibuat nyengir-nyengir sendiri sama bayangan lelaki berkostum domba yang si anak temui kala pria tua tersebut mengantar si anak lelaki pergi ke ruang baca (yang sebenarnya adalah penjara, sih). Dan pria tua itu tak memperbolehkan si anak pergi dari ruang baca, bahkan untuk pulang sekalipun — walaupun hari kala itu telah senja, dan si anak khawatir ibunya akan memarahinya kala kembali ke rumah kelak — dan si pria tua berkata, untuk membaca seluruh isi buku itu, sampai semuanya bisa di hafal di luar kepala, hingga sampai waktu itu tiba, ia akan terus mengawasinya, bergiliran dengan si lelaki berkulit domba yang akan memberinya makan setiap senja. Baiklah, sampai disini, kita bisa melihat jelas, suatu keanehan akan terjadi, mengingat judulnya The Strange Library. Murakami memang novelis absurd yang masih begitu aktif sampai sekarang, dan biasanya, keabsurdan dia, entah mengapa selalu begitu kental kala ia menulis cerita pendek daripada novel, namun kini walaupun masuk dalam kategori novella, mungkin bisa setara dengan karya-karya kisah pendeknya yang begitu sureal. Sulit melihat berlian yang memantulkan sinar mentari dari dalam lautan yang tengah tercemar minyak bumi, namun bukan tidak mungkin sama sekali tak nampak. Seperti itulah The Strange Library. Tak sulit namun juga tak mudah mengidentifikasi apa yang Murakami ingin utarakan dalam karyanya ini, namun beberapa cukup samar: kedigdayaan kaum tua, lemahnya idealisme kaum muda, dan budaya membaca yang kian terkuras zaman. Juga mungkin, budaya basa-basi yang melemahkan. Ini tercium kala adegan di ruang pria tua di basement perpustakaan tersebut, dimana si pemuda merasa tak nyaman dengan suasana di sekitarnya dan ingin segera pergi, serta berkata bahwa ia hanya iseng belaka, dan buku yang ingin ia pinjam pun tak terlalu penting baginya, berharap pria tua itu memaklumi, dan membiarkannya pergi, namun nyatanya justru si pria tua “menceramahi” si pemuda, membuat si pemuda sungkan tuk kembali meninggalkan ruangan, dan kembali masuk ke perpustakaan. Sikap yang ditunjukan pria tua itu jelas suatu pertentangan, dan mungkin sebuah protes terhadap masyarakat yang mempertanyakan mengapa orang-orang tua selalu pemarah, selalu cerewet selalu ingin menceramahi anak-anak muda, sementara yang muda dengan keukeuhnya percaya apa yang mereka inginkan dan sedang jalani saat ini, adalah yang terbaik baginya. Bagaimana pria tua ini bersikap, dan bagaimana respon si aku dalam hal ini, yaitu anak lelaki tersebut, jelas menggambarkan situasi antar generasi, terlebih ketika di dalam penjara, si anak lelaki mengeluh ingin segera pulang, ingin segera bertemu ibunya dan memberi makan hewan peliharaannya. Berdalih bahwa ibunya akan khawatir terhadap dia yang tak kunjung pulang. Ditambah apa yang disampaikan si lelaki berkulit domba, bahwa pria tua itu akan melahap isi kepalanya. Alhasil ketika ia membaca, walaupun sebenarnya apa yang ia baca bisa ia nikmati begitu saja, dan langsung menempel dalam otaknya, sesuai seperti yang diinginkan si pria tua, ia ingin tetap pulang, ia ingin bertemu ibunya, dan kembali ketika senja tiba. Sebab yang ia tahu, bahkan berhari-hari setelahnya, pria tua itu akan segera melahap otaknya seusai ia menuntaskan tugas tersebut, melahapnya tanpa tersisa sedikitpun untuk si anak lelaki menjalani hidupnya kemudian. Tapi, apakah benar segalanya akan berakhir penuh dengan kanibalisme dan bengisnya keteragisan belaka? Anak muda terlalu tahu menahu akan segalanya, sebab bahkan ia tak tahu apa yang kelak akan terjadi di hari-hari berikutnya. Akankah buruk atau baik yang tengah ia alami saat ini, anak muda. Mereka terlalu muda untuk tahu segalanya. Yang mana memang sepertinya, sudah alamiah dan lumrah di dalam masyarakat modern seperti sekarang.
0 komentar