A Little Lumpen Novelita, Roberto Bolaño

Maret 03, 2018

Semua tulisan itu sampah.
Orang-orang yang menuliskan segala hal yang sedang mereka pikirkan itu semuanya sampah. Semua penulis itu sampah.
Terutama para penulis zaman sekarang.

- Antonin Artaud

Baru halaman pertama, dan sudah disajikan dengan kalimat provokatif semacam itu, membuat saya semakin penasaran dengan buku ini. Ada rasa seolah saya sedang membaca Nietzsche yang di kompilasi bersama Sartre di saat bersamaan, sebab percaya atau tidak, buku ini memiliki kekuatan yang mahaluas dalam membahas eksistensi seorang manusia melalui gadis bernama Bianca yang baru saya ketahui namanya — si aku ini — sejak sekitar halaman 80-an. Mencakup tentang eksistensialisme. Kita akan bertemu dengan Aku (Bianca) yang suatu hari mendapati kabar bahwa kedua orang tuanya tewas ditempat pada suatu kecelakaan lalu lintas di wilayah bagian selatan. Kini otomatis ia pun menjadi yatim piatu bersama seorang saudara lelakinya. Hidup sendiri dengan tanpa ditinggali atau disiapkan uang yang cukup oleh kedua orang tuanya di usia yang masih sangat muda, bahkan harus membuat mereka akhirnya bekerja demi memenuhi kebetuhan sehari-hari, membuat sekolah mereka terbengkalai, hanya demi mencari uang dan membayar uang sewa apartemen kecil mereka di kota Roma. Ia bekerja di sebuah salon, sementara adiknya mendapat pekerjaan di suatu tempat gym. Semenjak itu Bianca merasakan bahwa hidupnya menjadi linier, tanpa ada rintangan (kecuali beban keuangan), ia banyak menghabiskan waktu menonton televisi seharian bersama adiknya, hingga suatu waktu adiknya membawa sebuah kaset dvd film porno, dan menontonnya bersama Bianca, mereka menontonnya dan membuat Bianca semakin banyak menghabiskan waktu di depan televisi. Disaat itulah ia merasakan ada yang aneh, mulai dari ia yang selalu memandang malam dengan langit yang begitu benderang, hingga dirinya yang diselimuti sinar yang begitu terang, ia merasa dirinya sudah gila, dan lama-lama akan menjadi lebih gila, rasanya. Hingga suatu waktu, adiknya membawa dua orang kawan yang ia sebut sebagai “orang Bolognia / Bolognan”, dan “seorang Libya / Libyan”, entah siapa nama mereka Bolano pun nampaknya enggan menuliskan nama mereka berdua selain berdasarkan sebutan rasisme diantara mereka. Membawa kedua orang asing yang bahkan bukan kawan adiknya itu, untuk menginap, dan lama-lama mereka beralih menjadi menetap di rumah mereka. Membuat keadaan menjadi berbeda, Bianca yang sebelumnya sibuk dengan mimpinya yang indah dan hidupnya yang linier, mulai berani menembus batas-batas kenormalan, sejak — sepertinya dimulai pada satu malam dimana seorang masuk ke dalam kamarnya (salah satu dari kedua teman adiknya) dan berhubungan intim bersamanya. Rasanya, dua sosok pria tak dikenal ini, adalah gambaran dari dinamika sosial masyarakat, dimana kita tahu, bahwa tidak semua yang terlihat baik itu benar-benar baik, terkadang kau melihat seorang teroris dari kalangan mereka-mereka yang alim, atau seorang pembunuh dari kalangan introvert tulen. Awalnya, ia merasa tak masalah dengan keberadaan mereka, toh, mereka tidak mencuri apapun, mereka tidak merusak apapun, mereka juga ikut membersihkan rumah, bahkan sering menyediakan makan untuk Bianca dan saudaranya. Tapi, sejak itu Bianca seperti masuk ke dalam sebuah lorong yang begitu gelap, mimpi-mimpinya yang indah sebelumnya berubah menjadi buah tidur yang mencekam, dari sosok kedua orang tuanya yang berubah menjadi ulat hingga, ia sadari begitu saja bahwa dirinya sudah lama tidak lagi bisa tersenyum. Tak lama, keadaan menjadi lebih buruk, adiknya dipecat dari pekerjaannya dan menjadi pengangguran, dan memilih memarjinalkan dirinya sendiri bersama dua kawannya itu, membuat ekonomi mereka tak lagi seperti semula, otomatis hanya Bianca yang bekerja di salon, harus menafkahi tiga orang pria di rumahnya. Tentu itu tidak cukup. Sampai suatu malam, Bolognian dan Libyan, kedua teman adiknya itu memiliki sebuah rencana yang kelak akan — dan mereka begitu yakin — bisa mengubah hidup mereka dengan seketika, bisa mengubah hidup mereka menjadi naik derajat lebih tinggi dari yang sekarang: Merampok seorang pria tua kaya raya yang buta, mantan aktor dan seorang binaraga, bernama — atau yang sering orang sebut dengan nama, Maciste. Ditulis dengan keinginan menggebu-gebu dalam batinnya dalam memprotes realita manusia, dan alter ego melalui sosok seorang gadis bernama Bianca, rasa-rasanya, kompleksitas cerita ini bukanlah murni dari alur, sebab seperti judulnya A Little Lumpen Novelita, hanyalah secuil gambaran kehidupan membingungkan yang dialami anak manusia, selebihnya adalah karung demi karung hasrat yang didasari oleh keinginan meraih sebuah cita-cita. Sebuah harapan, dan kegemilangan bahkan bila itu baru saja mengawang dalam angan semata, seperti kebanyakan manusia sekarang. Mereka tidak akan seperti ini bila kedua orang tuanya masih hidup, sejak keduanya meninggal, keanehan di dalam kepala Bianca menjadi-jadi. Ditambah belakangan adiknya sering mengurung diri dan menangis dengan sesenggukan seorang diri, begitulah setidaknya yang ia ceritakan pada Maciste selagi mereka bercinta pada malam yang sunyi, setelah sepakat sebelumnya pada kedua teman adiknya, bahwa, Bianca yang akan menyusup dan membodohi pria tua itu dengan menjadi semacam “pelacur” untuknya. Gambaran Maciste yang buta seolah gambaran dari seorang manusia yang sempurna dalam hal duniawi namun satu sisi dalam dirinya tidak menerima lagi hal-hal semacam itu, semuanya hanya basa-basi baginya, uang, rumah mahabesar, dan halaman yang sunyi, serta fasilitas yang ada di dalamnya, tak lagi berarti selain usia yang kian menua, kesendirian, dan kekurangan dalam dirinya — yang tak ia jelaskan dengan pasti mengapa ia bisa buta. Sebuah harapan yang sejenak membangkitkan gairah itu, tak pelak ia kunjung temukan, sebuah brankas atau tempat penyimpanan yang dicari-cari olehnya tak juga ditemukan, ia tak mendapati uang itu, sementara para lelaki yang menyuruhnya hanya berdiam di apartemen, menonton televisi, dan bersenda gurau seperti biasanya. Menyadari bahwa harapan itu tak akan bisa ia temukan, bahwa harapan itu mustahil untuk ditemukan seiring berjalannya waktu, seiring ia tak lagi tahu sejak kapan ia mulai beralih menjadi seorang kriminal seperti ini, ada satu sisi dalam dirinya yang memberontak, ada satu hal yang tak bisa ia jelaskan atas perasaannya terhadap Maciste, rasa cinta kah? Atau hanya belas kasihan belaka? Pada seorang pria tua penyendiri, yang entah dimana ia simpan segembog uang yang mereka cari-cari secara sembunyi. Yang ia tahu hanyalah, di malam terakhir mereka bersama, mereka bercinta di bawah patung St. Pietrino of the Seychelles. Merasakan bahwa ini adalah akhir hayat dari hidupnya, pada akhirnya. Dua pria kawan dari adiknya ini, yang seolah orang-orang baik — pada awalnya — sebelum orang lain sadar, bahwa orang yang terlihat baik adalah mereka yang memanfaatkan dirinya, memanfaatkan dan menculik sosok Bianca untuk masuk ke dalam keabsurdan hidup yang lebih absurd dari mimpinya dengan Maciste pada satu malam. Hingga akhirnya, Bianca berkata bahwa mereka harus pergi, jauh dari tempat mereka, dan jangan pernah kembali. Sebuah keberanian yang tak pernah ia ungkapkan sebelumnya, berpikir bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja. Mengembalikan dirinya dari seorang kriminal dan sorang pelacur, kepada jati dirinya sebagai seorang anak yatim piatu yang akan bekerja keras dalam menjalani hidup, bekerja di salon, dan bermimpi memiliki sebuah salon sendiri, sementara adiknya bekerja turut membantu memulihkan keuangan keluarga, terlepas dari kesalahan atau kecerobohan di masa lalu, ia bisa melupakannya tapi apakah dengan melupakan itu semua benar-benar pudar? Secuil rasa kekhawatiran muncul, walaupun rasanya tak lagi ada yang perlu di khawatirkan, akan gejolak takut bahwa kesalahan di masa lalu itu, sebenarnya tidak pernah benar-benar usai. Atau apakah, alih-alih merasa telah kembali, ia sebenarnya hanya melarikan diri?

You Might Also Like

0 komentar