Berbeda
Juni 13, 2018
Tepat pada hari dimana Badram,
merasa bahwa ia sudah tidak tahan lagi. Dia bahkan bisa merasakan puncak bara
api itu sudah mencapai titik ujung kepalanya. Dengan kedua kaki angkuhnya, ia
turun ke jalanan, di taman kota ia memandang sekitar. Orang-orang yang
melangkah, membawa tas, pria-pria tua berpakaian lusuh, anak-anak muda yang bermesraan
seraya merangkul satu sama lain seiring langkah menuju ke tempat yang mereka
ingin kunjungi. Disanalah ia berdiri, mematung menatap setiap orang yang
melintas, tanpa pernah mereka pedulikan. Aku akan beritahukan padamu apa yang
ia lihat di kedua matanya; warna-warna yang berbeda. Berbagai macam warna itu
sungguh menyilaukan mata, seolah gelas yang berkilauan, dan mutiara yang
memantulkan sinar mentari. Begitulah yang nampak melalui kedua matanya.
Menyilaukan, di waktu yang bersamaan membingungkan. Bagaimana tidak, berbagai
jenis warna menyelimuti tubuh orang-orang; kuning – merah – hijau – hitam –
cokelat, warna-warni yang begitu berkilauan di siang hari. Dirinya tidak
menyangka pengelihatannya seburuk itu. Rasanya seperti ia sedang melihat
badut-badut sirkus berjalan di trotoar. Beberapa jam lalu ia berharap dengan
memandang jalanan, berjalan-jalan, matanya bisa kembali normal. Yang ia temui
kini, lebih buruk bahkan.
“Tepat hari pertama aku lulus
sekolah menengah atas,” ujarnya pada seorang dokter. Dokter itu hanya
mendengarkan di meja miliknya, apa yang terjadi sebenarnya pada anak muda ini.
“Aku tidak tahu mengapa, sore hari ketika aku pulang dari acara kelulusan
sekolah, aku tertidur. Kau tahu, bagaimana bahagianya diriku ketika mengetahui
bahwa besok, kau tidak akan menemui pelajaran, guru, atau kebijakan-kebijakan
sekolah lagi. Tapi yang terjadi malah lebih buruk, dan tidak sesuai harapan.”
“Apa kau melihat sesuatu saat tidur?
Seperti mimpi, kenangan, atau semacamnya?” Dokter itu bertanya.
“Tidak, aku tidak memimpikan
apapun.” Jawab Badram, “Satu-satunya hal yang masih aku ingat dengan jelas
adalah upacara kelulusan sekolah sehari sebelumnya.”
Dia terbangun ketika pagi mencuat
diantara rimbun tembok-tembok apartemen, dan atap rumah. Wajahnya di terpa
sinar mentari dan dering alarm yang menggetarkan telinga kanannya. Ia membuka
mata, dan yang nampak hanyalah; kuning. Frasa kuning, yang seperti sengaja di
atur sedemikian rupa, seolah kau sedang berada di dalam sebuah set pertunjukan
teater yang benar-benar tertutup. Warna kelabu yang melapisi tembok kamarnya
berubah menjadi kekuningan, begitu pula dengan tas miliknya, berubah menjadi
biru, padahal sebelumnya berwarna hitam. Buku-buku yang ia miliki pun kini
berubah menjadi hijau seluruhnya. Entahlah apa yang terjadi, ia tidak tahu
apakah ini kamarnya atau bukan, tapi dari posisi tata letak barang-barang di
dalamnya, sepertinya memang begitu. Namun, dari segi warna; jelas ini bukan
kamarnya. Ia membuka pintu, hal sama terjadi, bukan merah tapi justru warna
violet, semua benda pun berwarna tidak semestinya. Tidak kamar mandi, tidak ruang
keluarga, semuanya menjadi aneh.
Karena itu, ia langsung mencari
berbagai alat yang bisa ia gunakan untuk mengembalikan pandangannya, setidaknya
secepat mungkin warna-warna yang membingungkan ini segera kembali seperti
semula. Mengambil beberapa kertas dan mencorat-coretnya dengan pensil warna,
atau cat poster yang ia miliki, menempelkannya di tembok dan menatapnya
berjam-jam. Entah berapa lama ia menatapnya dengan keringat yang membanjiri
sekujur tubuh. Takut, dan panik. Semuanya bercampur aduk saat itu. Dua hari.
Tiga hari ia melakukan hal yang sama, warna yang nampak melalui kelopak matanya
itu enggan hilang sama sekali. Ia pun mencari cara baru.
“Apakah semua warna begitu
membingungakan bagimu?” Dokter itu bertanya.
“Tidak semua warna,” ujar Badram
pada dokter.
“Jadi, maksudmu, ada beberapa warna
yang tidak membuatmu bingung seperti kebanyakan?”
“Beberapa warna yang tidak aku
kenali. Maksudku, aku tahu warna itu, hanya tidak tahu namanya”, Badram diam
sejenak, mengingat. “Warna putih, dia selalu berada di tempatnya. Tidak ada
yang aneh dari warna itu.”
“Dia tidak sekalipun berbaur dan
bercampur dengan warna lain, seperti yang seringkali aku lihat.” Tambahnya.
Dokter itu terdiam, mencatat apa
yang ia dengar pada secarik kertas mungil.
Ia mengambil beberapa cat minyak, poster,
hingga cat tembok, bersama beberapa kuas. Pergi ke belakang rumah, dimana
terdapat pohon oak. Cukup tua, batangnya pun cukup besar, sudah tertanam di
tempatnya semenjak Badram dan keluarganya menempati rumah ini. Tak lama ia
melingkarkan beberapa cat dengan warna yang berbeda-beda dengan semacam
kesembronoan. Ia tak tahu lagi mana biru, mana kuning, mana merah, mana hijau,
mana violet. Ia mengecat batang pohon itu dengan gelagat panik. Memandanginya.
Dan berjalan-jalan mengelilinginya. Sekali waktu ia mendekatkan wajahnya pada
cat yang menempel itu, melihatnya begitu tajam. Berharap pengelihatannya
kembali seperti semula; ia kembali mengenali warna itu, dan tak ada yang perlu
di khawatirkan. Tapi yang terjadi sebenarnya, adalah hanya warna putih yang
bisa ia kenali begitu saja. Cukup gampang, satu-satunya warna yang tidak
berbinar, adalah warna putih, dan dia yakin bahwa warna itu adalah satu-satunya
warna yang bisa ia kenali sama sekali.
Tapi, pengelihatannya akan warna yang lainnya
semakin kabur. Rasanya seperti kau melihat sebuah cahaya yang menyorot matamu
dengan begitu benderang. Hanya saja warna-warna ini seolah memiliki daya
sendiri untuk mengeluarkan sebuah cahaya yang cukup untuk menyilaukan matanya.
Kecuali warna putih.
Berhari-hari ia tak keluar dari
kamarnya sejak pagi itu. Sementara ia merasa bola matanya semakin mudah kering.
Seperti angin selalu berhembus kencang menerpa kedua bola mata itu. Walaupun
jendela tertutup, pintu terkunci, ventilasi dilapisi kain. Rasa kekeringan itu
semakin menjadi-jadi. Dia memutuskan keluar rumah, beberapa hari kemudian
setelah dirinya sudah sedikit membaik dan tidak terlalu panik, berharap sebuah
keajaiban terjadi bila ia sekali saja menginjakkan kaki keluar rumah.
Berjalan-jalan dan memandang orang-orang sekitar, melihat pepohonan, rerumputan
atau bunga-bunga taman. Tapi apa yang nampak, malah semakin membuatnya
kebingungan dan kembali panik. Ia bahkan harus berkedip sebanyak mungkin agar
matanya tidak semakin tersiksa oleh rasa pedih. Walaupun sebenarnya, itu
sia-sia.
Tidak lama, ia tak lagi tahu dimana
keberadaannya, di jalanan raya, sebelah mana – dan dimana. Matanya dibutakan
oleh warna-warna. Lantas kakinya melangkah pada sebuah toko bangunan, yang ia
lihat secara samar. Dia tidak lagi peduli apakah itu benar-benar toko bangunan atau
bukan. Kepanikan itu mengelabui dirinya sama sekali, membuatnya tak bisa
berpikir jernih untuk membaca situasi. Meraba-raba setiap barang yang ada di
dalam toko, di setiap rak, mengacak-acaknya mencari sesuatu yang bisa digunakan.
Mencari beberapa ember cat, ia membuka dengan jari-jemarinya dengan seluruh
otot tangan. Menggotongnya, dan melempari setiap orang yang ia lalui dengan cat
tersebut, cat berwarna putih yang ia kenali dengan pasti, satu-satunya warna
yang bersahabat dengannya. Beberapa orang berlarian, trotoar menjadi ramai oleh
teriakan para wanita, para pria berusaha mendekati dan mengurung Badram di
berbagai sisi, namun mereka justru dilempari oleh cat yang sedang ia bawa.
Seperti seseorang yang sedang berusaha memadamkan api yang tengah membara;
membakar matanya.
Setelah cat itu habis, warna putih
nyatanya belum mampu membuatnya sedikit merasa lega. Warna itu justru pudar
oleh gemilang pancaran warna dari warna-warna yang lainnya. Tertutup sama
sekali, hampir tak nampak, sebanyak apapun Badram menyirami orang-orang dengan
cat tersebut. Sebab pancaran warna dari setiap orang akan menutupinya dengan
warna lain, yang tak kalah cerah, yang tak kalah benderang. Dengan sigap ia
menarik nafas panjang, lalu memasukan jari-jemarinya sendiri ke dalam dua
kelopak matanya. Mengeluarkan mereka dan menghancurkannya.
Dokter itu terdiam, melihat Badram,
dan kemudian bertanya, “Tapi, kau masih ingat warna-warna itu kan? Bagaimana
wujud warna merah, kuning, hijau, hitam, dan sebagainya.”
“Ya, sejauh yang aku ingat sejak aku
kecil sampai sekarang, aku masih ingat betul bagaimana wujud mereka semua
dokter,” jawab Badram. “Apa yang aku lihat itu, tidak sesuai sama sekali.”
Andika Wahyu Adi Putra
0 komentar