Semuanya Masih Berlangsung
Agustus 23, 2018
Akhirnya setelah sekian lama,
semuanya terwujud. Terserah bila seorang pun tidak ada yang mempercayainya.
Namun di sudut jalan ini aku berdiri, diterangi mentari terik musim semi.
Kulihat bunga-bunga disudut jalan - didepan kaca toko bunga tersebut - bermekaran,
semerbak harum aromanya. Warnanya merah, dalam seikat bunga mawar yang sedang
dibawa oleh seorang gadis keluar dari pintu depan. Diiringi oleh seorang lelaki
tua masuk, dengan pakaian rapih, kemeja berselimut jas hitam, seorang pekerja
kantoran mungkin, pikirku. Namun bisa juga, seseorang yang melebihi ekspektasi
pikiranku. Seseorang biasa memandang dengan cara seperti itu bukan, terserah
apapun kenyataannya, kita akan berasumsi sesuai keinginan kita. Kita melihat
merah, kita akan menyebut merah, sebohong apapun bila kita memiliki masalah kebutaan
warna, orang lain akan menyebutnya kuning. Tidak bagi kita, itu warna merah.
Dia berumur delapan belas tahun
mungkin, rambutnya pirang diikat, dengan jaket biru, dan celana jeans yang
tidak terlalu ketat, membawa seikat bunga mawar diapit oleh siku hingga bahunya.
Mungkin untuk diberikan pada orang terdekatnya, kekasihnya? Orang tua? Nenek?
Kakek?, aku melihat wajahnya dari samping saat itu, dan aku hanya bisa melihat
setengah dari bagian muka. Dia tidak tersenyum, ia nampak murung. Mulutnya
sedikit terbuka, menarik nafas bersamaan dengan hidungnya melakukan hal yang
sama. Mungkin aku bisa melihatnya lebih jelas bila aku berada di hadapannya.
Tidak. Bahkan entah mengapa, aku tidak bisa melakukan apapun selain melihatnya
dari sudut ini, diantara orang-orang kantoran yang berlalu lalang, seorang
mahasiswa pengangguran sedang memandangi gadis yang lebih muda dua tahun
darinya keluar dari toko bunga. Aku bisa berkata dalam kepalaku, “Waktu Normal.”
Dan semuanya akan berjalan seperti biasa. Dedaunan akan jatuh biasa dengan
kecepatan sepersekian detik. Tidak lebih dari lima detik untuknya mendarat
diatas tanah dan terinjak oleh orang-orang. Seekor burung melintas dengan
kecepatan tak lebih dari kecepatan orang yang sedang melakukan jalan cepat
menuju kantor dibawah sayap-sayapnya.
Beberapa saat, aku akhirnya bisa meyakinkan diri
untuk berjalan kearah gadis itu, tepat dihadapannya guna memandang wajah
tersebut, dari posisi yang pas. Namun kemudian membiarkannya pergi tanpa dia
memperdulikan. Dari gestur tubuhnya, ia adalah sosok gadis yang tengah diburu
waktu yang mungkin membahayakan masa depannya, masa depan yang hanya berselang
beberapa menit kedepan. Mungkin marabahaya, atau seseorang tengah menugaskannya
membeli seikat bunga. Hanya saja, aku tidak tahu pasti semua itu tentang apa.
Hingga satu pagi, seorang pria
mendatangiku di suatu kafetaria, ia bertubuh tinggi, mengenakan jas hitam
dengan blues putih melapisi bagian dalamnya. Dia memandang dan berjalan ke
arahku, aku tidak mengenalnya, secara spontan aku berpikir untuk melambatkannya
saat itu juga, ketika semuanya mulai melambat, namun tidak dengannya, hingga ia
duduk dihadapanku tidak terpengaruh seperti orang-orang kebanyakan di dalam
maupun diluar kafetaria. Lantas ia bertanya hal tersebut, dan aku menceritakan
bagaimana awal mula semua ini terjadi, sebab bagaimanapun juga jelas ia bukan
orang sembarangan, pikirku. Mungkin seorang Dewa yang tengah berjalan-jalan di
dunia.
“Kau tidak bisa, jelas kau tidak bisa melakukannya.”
Ujar seorang pria berwujud kelinci itu. Ia mengatakan dengan wajah memandang
jendela. Ke arah luar kafetaria, orang-orang ramai. Aku menegak secangkir kopi,
ia memakan sebuah dessert. Bahkan, aku tidak pernah bertemu dengannya, namun
aku harus menanyakan tentang kejadian ini kepadanya.
“Aku bisa
memanfaatkan kekuatan ini, orang-orang menjadi lambat, bagi mereka mungkin aku
terlalu cepat, secepat cahaya hingga mereka tak dapat melihat.” Kataku padanya.
“Bukan itu yang aku maksud.” Jawab
dia.
“Maksudku, apa yang akan terjadi
kemudian?” ia berkata menatap kepadaku, “Butuh satu jam bahkan hanya untuk
melangkah, orang-orang seolah terhenti, mereka bahkan tidak akan sempat
merasakan apapun ketika kau mengambil dompet mereka. Tapi apakah benar tidak
ada sama sekali yang melihat keberadaanmu? Mereka masih menyala, mereka masih
merekam. Semuanya tetap berjalan bagaimanapun juga.”
“Ketika kau sampai rumah, bisa saja
beberapa polisi sudah menunggumu diambang pintu.” Dia menyilangkan tangannya
didepan dada, menyandarkan tubuhnya dibantaran bangku, masih menatapku. “Mengapa
kau bisa menganggap semua ini nyata?”
Sejak itu mungkin pertanyaan itu
mulai muncul. Mengapa aku menganggap semua ini nyata, seolah semua orang
berpikiran hal yang sama. Bagaimana jika semua ini hanya diriku saja. Aku yang
terlalu tenggelam kedalamnya. Hanya menghabiskan hari demi hari untuk memandang
gadis-gadis di tengah kota. Berpikir mungkin aku dapat menyentuhnya, sesekali
aku memang menyentuhnya, leher, tangan, payudara, pantat, bahkan kaki mereka
yang jenjang. Aku menyentuh bagian tubuh mereka, suatu hal yang selalu
membuatku penasaran selama ini, tentang bagaimana bentuk tubuh para gadis dan
wanita, dan terutama para gadis yang tak jauh beda seumuran denganku. Apakah
benar tidak ada gadis yang perawan bahkan ketika usia mereka masih menginjak
tujuh belas tahun. Benarkan semua ucapan orang tentang gadis-gadis memiliki
banyak rahasia di dalam sosok berbalut pakaian itu? Mereka tidak menyadarinya
ketika aku melakukan hal itu, tatapan mereka masih tertuju seperti semula, pada
jalanan yang sibuk. Kadangkala masih memandang lurus kedepan pada jalanan
trotoar. Pandangan yang masih tertuju pada apa yang akan mereka kerjakan di
pukul delapan tiga puluh lima pagi. Sebagian wanita tengah memandang langit
dibawah atap halte busway, memastikan apakah ada awan yang merebak disisi-sisi
mentari, sembari menunggu bis datang mengantarkan mereka ke gedung perkantoran.
Sebagian gadis muda melihat-lihat toko tas sebelum mereka berangkat ke sekolah,
dengan contoh tas yang sedang dijual dengan diskon termurah di jendela kaca
mereka. Berpikir, aku akan menyisakan uang jajan untuk membeli semua itu,
memamerkannya di sekolah, membuat kawanku takjub bukan kepalang. Ya, aku bisa
membaca itu hanya dari sorot mata dan wajah mereka, bola mata adalah lensa
kamera terbaik yang pernah ada, dan raut wajah adalah lembaran hasil cetakannya,
seseorang pernah mengatakan hal itu padaku.
Aku merasakan bahwa semua bisa
kulakukan terhadap mereka, memikirkan sesuatu yang nakal sebagai seorang lelaki
yang menyusuri jalanan kota dipagi hari. Aku bukanlah yang terburuk, aku tidak
pernah melakukan hal yang aneh selain menyentuh bagian tubuh mereka. Masih
banyak orang lain diluar sana yang akan melakukan sesuatu lebih dari itu, tapi
tidak denganku. Walaupun begitu, aku masih tetap menghargai mereka, sebab aku
tahu waktu tetap berjalan, hanya saja begitu lambat dari biasanya. Aku bisa
mengambil uang mereka, aku bisa meraskan kulit halus nan putih setiap perempuan
yang aku pilih di jalanan. Bahkan, tanpa perlu takut mereka menyadari hal itu.
Namun untungnya, nafas lega dari sekedar rasa kepenasaran sepele yang
menghantui diriku, membuatku hampir tak pernah melakukan hal berlebihan sama
sekali. Ketika mereka sadar, mereka hanya merasakan sesuatu menggores tubuhnya
sejenak, mungkin serangga yang melintas diantara kerumun manusia. Aku berdiri
ditempat semula, sementara tidak ada yang menyadarinya.
Hingga gadis itu melintas kembali,
kini di depan kafetaria. Seorang gadis yang membuatku penasaran sejak kemarin.
Yang wajahnya tidak dapat aku prediksi tentang apa yang sedang dan akan ia
hadapi. Sebab, aku tidak bisa mengetahui apa yang tersirat dari gambaran itu,
apakah ia sedang gembira, panik, atau murung. Aku penasaran, aku ingin tahu.
Aku kembali menghampiri gadis itu tepat dihadapan wajahnya yang manis.
Rambutnya terurai hingga bahu – dan kini tidak terikat sama sekali, ia memakai
jaket biru yang masih sama. Bibir bagian atasnya nampak melengkung dengan gigi
kelinci yang lucu di dalamnya, membuatku semakin jatuh cinta pada sosoknya. Wajahnya
menunjukan antara rasa panik dan gembira, tapi juga ketakutan yang mendalam.
Seperti lorong yang tak kau temui ujungnya, hanya gelap, dingin, dan suram. Semua
itu membuatku bingung disaat yang sama. Namun apapun itu aku merasakan rasa
cinta yang menggebu dalam diri ini. Berpikir untuk mengembalikan waktu kepada
kondisi semula, dengan kecepatan normal, aku bisa menyapanya, aku bisa bertanya
namanya, aku bisa mengatakan aku menyukainya pada pandangan pertama, mungkin
bahkan bisa berjalan bersama di arah yang sama beberapa detik yang akan datang.
Tapi apakah semudah itu, seseorang
menerima orang asing yang tak pernah ia kenal sebelumnya, bahkan sekonyong ia
temui dijalanan kota seperti ini. Jika itu aku, aku tidak akan mau mengobrol
dengan seorang gadis yang tidak kukenal sama sekali, diriku ini yang sulit
bergaul dengan teman-teman – terutama para gadis – di kampus adalah fakta yang
pasti. Jelas, bisa saja ini terjadi pada gadis dihadapanku sekarang. Diriku di
dalam orang yang berbeda. Membuatku urung untuk melakukannya, merasakan diriku
takluk pada pikiran dan perkiraan. Tapi mungkin setidaknya aku bisa memikirkan
hal itu lagi di lain waktu, esok, atau lusa. Membangkitkan gairah keberanian
untuk menyapa, berkenalan, dan mengetahui dirinya lebih mendalam. Membuat salam
perpisahan untuk sementara ini, bukanlah suatu pilihan yang buruk, dengan
mendekatkan bibir kami berdua, menghayati ciuman mesra perpisahan dua insan
yang hanya orang asing sama sekali. Dari punggung gadis itu selang beberapa
meter dibelakangnya, aku bisa melihat pria berkepala kelinci tersebut sedang
memandangiku yang tengah mencium bibir si gadis.
Mengingatkanku pada semua ini. Apakah ini semua
adalah sesuatu yang nyata adanya, ataukah hanya diriku saja yang merasa? Dan,
yang lebih penting, apa yang mungkin dipikirkan dan dirasakan oleh gadis ini
kelak setelah kami berpisah? Apapun itu, dengan semacam ketidak pedulian akan
masa depan. Waktu tetaplah berjalan seperti biasa, selagi itu masih
berlangsung, menikmati saat-saat kami berciuman, bukanlah pilihan yang buruk.
Bahkan bilapun aku tidak tahu menahu soal dirinya sama sekali. Dan apa yang ia
pikirkan saat ini.
Andika W. Putra
0 komentar