Setapak

Agustus 06, 2018


 Pada akhirnya pria itu akan tersadar, bahwa ia hanya akan meninggalkan segala rupa bunga, yang mungkin akan segera layu untuk anaknya kelak. Diantara dipan dan bantal yang hakekatnya bisu, tak dapat berkata-kata. Dia betul-betul memahami, waktunya ia pergi. Bahwa entah kapan dirinya kembali. Sebab ingatan tentang segalanya telah pudar, dan mati. Senja itu ia akan melihat kakeknya menanam pohon mangga yang besarnya tidak lebih dari pinggang si renta. Entah suatu ketika pun dirinya akan melihat dia tanpa melepas pandang. Menyadari satu hal yang ia dapat selama hidupnya, bahwa semakin tua kau akan semakin ditinggal. Terbuang. Sendiri. Seolah hilang. Pohon itu pun akan ikut sendirian ditinggal siapa-siapa. Mereka yang riang dilihatnya kini pudar seolah hanya riuh gelak tawa yang ditelan guyur gemuruh air dari tepi samudera, terlihat memecah belah dirinya sebab batu-batu karang akan ditabrak sebegitu keras tiada kira. Senja itu pun si pria itu akan melihat bahwa Alfonso pergi meninggalkannya, sebab tak ada yang tahu waktu berlalu begitu cepat, pertemuannya dengan Dorothy Emanuela, di satu pagi di kampus fakultas sastra di Buenos Aires adalah awal ketika ia menemukan rasa senang dan gemuruh asmara. Sebab dengan rasa itu Alfonso akan lahir dengan perangai bahagia disuatu malam yang menggembirakan. Senyuman si lelaki cilik menambah-nambah ranum gembira di rupa si pria tua. Pria yang sekejap tersadar, seolah kereta melintas begitu cepat tiada tara, tentang dirinya di satu senja, yang hanya akan ditemani si bunga yang layu di pekarangan, sebab ia harap seseorang akan kembali dari perantuan. Hanya berharap. Karena ketika matanya dirasa semakin berat, tak ada suara gemuruh yang lebih santun ketimbang dedaunan pohon mangga yang didera angin jinak di depan pagar rumah, suara itu mengingatkannya pada si kakek yang kian dekat. Di pemakaman Saint Petrucci. Ia biasa menenangkan diri, dan oleh itu dia paham sudah, mengapa si kakek mengatakan pada satu kali bahwa pohon itu akan hidup untuk seribu tahun lagi. Walaupun sebenarnya dia tak yakin bahwa seribu tahun cukup untuk si pohon agar menyaksikan pergolakan hidup si cucu yang telah ia tinggal pergi. Pohon mangga itu hanya tumbuh dan tumbuh semestinya, si cucu tetap akan ada di dalam rumah yang dijaga si pohon yang kian tua, sementara Alfonso pergi dengan gagah dan langkah optimistis layaknya anak muda pada umumnya, yang mencari jati diri dan tambatan hati di luar sana, dia akan punya hidup, karir dan segalanya, seraya pohon itu telah berangsur menua. Tepat ketika satu pagi di bulan kesebelas, Dorothy Emanuela menghembuskan salam terakhir untuk si suami yang membungkuk duka, menangisi, memohon si malaikat tak menghampirinya pagi itu. Dan si pohon tetap tegak dengan semestinya, kukuh seolah tak tersentuh, menyadari si pria tua itu mendapat kabar bahwa ketika itu Alfonso sedang berada di Birmingham untuk urusan bisnis katanya, dia baru menikah dengan seorang gadis dari Puerto Rico, kulitnya langsat, dan matanya sayu, dia mengingat itu sebab pria itu pernah melihat si gadis dari negeri seberang yang dibawa anaknya dengan wajah sumringah sebahagia semestinya. Dan ketika waktunya tiba dia pun tahu bahwa suatu hari kelak, si anak yang kian dewasa ini akan menjadi sepasang kekasih yang terikat janji-janji penuh sehidup semati dengan si gadis di pelaminan di sebuah pantai senyap di antara selat malaka. Sejak janji itu dikumandangkan pula, Alfonso hanya meninggalkan beberapa uang setiap bulan yang akan diberikannya secara cuma terhadap si pria tua, sebab ia tahu bahwa ayahnya, hanya akan selalu berdiam di dalam rumah, dan tak ada yang lebih suka ia lakukan ketimbang menanam benih-benih bunga di pot-pot hitam dipekarangan rumah, setidaknya sejak ia tak lagi bekerja diusia enam puluh lima. Dan setiap pagi yang berulang kali ia berharap benih-benih itu tumbuh layaknya ia menyaksikan Alfonso yang telah membina kasih bersama si gadis dari Puerto Rico. Ketika tiba harinya mereka bermekaran dia hanya bisa memandang sayup dari jendela kamar tempatnya biasa merajut mimpi bersama Dorothy dahulu kala, seraya menunggu dan berharap terhadap waktu yang terus berputar dari jam dinding usang di sudut ruang, memandang tak berpaling dari bunga-bunga beraneka ragam itu, yang pastinya mengikuti jam yang berdentang setiap detik waktu yang terus berjalan, sedikit demi sedikit mereka akan merona ranum di belakang pagar, dan ketika saatnya tiba, dia harap bisa tersenyum melihatnya bahagia. Si pria tua itu tersadar, surat-surat yang telah dikirimnya itu mungkin akan dibaca, mungkin akan dibuang, atau dibakar sesudahnya, mungkin akan menyampah disegala ruang memenuhi perabotan, menyelip diantara barang-barang, dan masih banyak mungkin-mungkin lainnya. Namun ia berharap ketika waktunya tiba, mungkin esok lusa, atau lusa depan. Ketiganya tetap akan berkumpul lagi dalam satu ruang yang sama, berbincang tentang hidup dan berbagi pengalaman selayaknya sesama orang dewasa pada umumnya. Tapi juga ketika senja itu tiba, ia tak lagi mendengar, gemuruh pohon mangga si kakek yang terkubur di Saint Petrucci. Atau dedaunan yang jatuh bergilir sebab udara meluluh lantakan mereka disetiap jengkal tanah dan memaksa siapapun untuk menyapu berulang-ulang. Lantas ia melihat Alfonso melangkah diantara orang-orang menggendong tas ransel di satu kelumit kota, bercampur aduk dengan yang lainnya, satu waktu hanya tampak punggungnya, satu waktu hanya tinggal kaki dan tas ranselnya, terakhir, ia hanya tinggal senyuman si lelaki cilik yang didekap manja oleh Emanuela ketika malam tiba di hari kelahirannya. Dia merasakan segalanya menjadi hampa, sebegitu kosong seolah sedang melayang diantara ruang kedap udara, dan sayup suara Emanuela akan menghilang seperti kebanyakan orang. Ia tak lagi bisa mengingat segala kenangan, mimpi akan hangus dihapus oleh waktu bahkan zaman, namun ia tak ingin kenangan sehari-harinya tergerus oleh satu hal yang sama. Perlahan langkahnya menjadi gampang, pikirannya tak sesak oleh hal-hal yang selalu penuh oleh kebisingan, kekhawatiran, dan keinginan. Ia tahu itu dan tetap membiarkan. Anak lelaki itu jelas mendatanginya pada satu senja yang sama, diantara rindang pohon dan gesrak semak lantana, segalanya menjadi semakin jelas ketika katup mata membuka perlahan. Gemuruh air samudera yang terbelah oleh bebatuan karang itu kini kembali bertemu di hilir sungai yang sama setelah mengarungi lajur yang berbeda, selama berminggu, berbulan, berpuluh-puluh tahun lamanya.. Ketika ia melihat bunga-bunga di pot hitam bermekaran dan beranak pinak disisi-sisi lainnya, nyatanya segalanya berjalan sewajarnya: pot-pot itu ada ditempat yang semestinya, pohon mangga kini berbuah ranum dan segar untuk siapapun yang ingin mencoba rasanya, dan rumah itu tetap sederhana seolah tak ubah bertahun-tahun lampau ia dan si kakek baru menghuninya. Tak lagi ada yang ia takutkan, tak lagi ada yang ia khawatirkan. Ketika pagi itu seorang gadis kecil keluar dari pintu depan rumahnya, lalu sekejap menyirami pot bunga itu dengan air yang mengalir jinak, dan roman senyum yang menyeruak. Ia akhirnya mengerti bahwa satu hari, segala hal ketakutan itu akan berubah menjadi sesuatu yang menenangkan di dalam kuburnya, disamping makam sang kakek, pada satu senja di pemakaman Saint Petrucci yang senyap oleh sayup udara.

oleh Andika W. Putra

CATATAN:
* Kisah ini terinspirasi oleh sebuah puisi klasik Jepang, Hito wa isa.

You Might Also Like

0 komentar