Pada
akhirnya pria itu akan tersadar, bahwa ia hanya akan meninggalkan segala rupa bunga,
yang mungkin akan segera layu untuk anaknya kelak. Diantara dipan dan bantal
yang hakekatnya bisu, tak dapat berkata-kata. Dia betul-betul memahami,
waktunya ia pergi. Bahwa entah kapan dirinya kembali. Sebab ingatan tentang
segalanya telah pudar, dan mati. Senja itu ia akan melihat kakeknya menanam
pohon mangga yang besarnya tidak lebih dari pinggang si renta. Entah suatu
ketika pun dirinya akan melihat dia tanpa melepas pandang. Menyadari satu hal
yang ia dapat selama hidupnya, bahwa semakin tua kau akan semakin ditinggal.
Terbuang. Sendiri. Seolah hilang. Pohon itu pun akan ikut sendirian ditinggal
siapa-siapa. Mereka yang riang dilihatnya kini pudar seolah hanya riuh gelak
tawa yang ditelan guyur gemuruh air dari tepi samudera, terlihat memecah belah
dirinya sebab batu-batu karang akan ditabrak sebegitu keras tiada kira. Senja
itu pun si pria itu akan melihat bahwa Alfonso pergi meninggalkannya, sebab tak
ada yang tahu waktu berlalu begitu cepat, pertemuannya dengan Dorothy Emanuela,
di satu pagi di kampus fakultas sastra di Buenos Aires adalah awal ketika ia
menemukan rasa senang dan gemuruh asmara. Sebab dengan rasa itu Alfonso akan
lahir dengan perangai bahagia disuatu malam yang menggembirakan. Senyuman si
lelaki cilik menambah-nambah ranum gembira di rupa si pria tua. Pria yang
sekejap tersadar, seolah kereta melintas begitu cepat tiada tara, tentang
dirinya di satu senja, yang hanya akan ditemani si bunga yang layu di
pekarangan, sebab ia harap seseorang akan kembali dari perantuan. Hanya
berharap. Karena ketika matanya dirasa semakin berat, tak ada suara gemuruh
yang lebih santun ketimbang dedaunan pohon mangga yang didera angin jinak di
depan pagar rumah, suara itu mengingatkannya pada si kakek yang kian dekat. Di
pemakaman Saint Petrucci. Ia biasa menenangkan diri, dan oleh itu dia paham
sudah, mengapa si kakek mengatakan pada satu kali bahwa pohon itu akan hidup
untuk seribu tahun lagi. Walaupun sebenarnya dia tak yakin bahwa seribu tahun
cukup untuk si pohon agar menyaksikan pergolakan hidup si cucu yang telah ia
tinggal pergi. Pohon mangga itu hanya tumbuh dan tumbuh semestinya, si cucu
tetap akan ada di dalam rumah yang dijaga si pohon yang kian tua, sementara
Alfonso pergi dengan gagah dan langkah optimistis layaknya anak muda pada
umumnya, yang mencari jati diri dan tambatan hati di luar sana, dia akan punya
hidup, karir dan segalanya, seraya pohon itu telah berangsur menua. Tepat ketika
satu pagi di bulan kesebelas, Dorothy Emanuela menghembuskan salam terakhir
untuk si suami yang membungkuk duka, menangisi, memohon si malaikat tak
menghampirinya pagi itu. Dan si pohon tetap tegak dengan semestinya, kukuh
seolah tak tersentuh, menyadari si pria tua itu mendapat kabar bahwa ketika itu
Alfonso sedang berada di Birmingham untuk urusan bisnis katanya, dia baru
menikah dengan seorang gadis dari Puerto Rico, kulitnya langsat, dan matanya
sayu, dia mengingat itu sebab pria itu pernah melihat si gadis dari negeri
seberang yang dibawa anaknya dengan wajah sumringah sebahagia semestinya. Dan
ketika waktunya tiba dia pun tahu bahwa suatu hari kelak, si anak yang kian
dewasa ini akan menjadi sepasang kekasih yang terikat janji-janji penuh sehidup
semati dengan si gadis di pelaminan di sebuah pantai senyap di antara selat
malaka. Sejak janji itu dikumandangkan pula, Alfonso hanya meninggalkan
beberapa uang setiap bulan yang akan diberikannya secara cuma terhadap si pria
tua, sebab ia tahu bahwa ayahnya, hanya akan selalu berdiam di dalam rumah, dan
tak ada yang lebih suka ia lakukan ketimbang menanam benih-benih bunga di
pot-pot hitam dipekarangan rumah, setidaknya sejak ia tak lagi bekerja diusia
enam puluh lima. Dan setiap pagi yang berulang kali ia berharap benih-benih itu
tumbuh layaknya ia menyaksikan Alfonso yang telah membina kasih bersama si
gadis dari Puerto Rico. Ketika tiba harinya mereka bermekaran dia hanya bisa
memandang sayup dari jendela kamar tempatnya biasa merajut mimpi bersama
Dorothy dahulu kala, seraya menunggu dan berharap terhadap waktu yang terus
berputar dari jam dinding usang di sudut ruang, memandang tak berpaling dari bunga-bunga
beraneka ragam itu, yang pastinya mengikuti jam yang berdentang setiap detik
waktu yang terus berjalan, sedikit demi sedikit mereka akan merona ranum di
belakang pagar, dan ketika saatnya tiba, dia harap bisa tersenyum melihatnya
bahagia. Si pria tua itu tersadar, surat-surat yang telah dikirimnya itu
mungkin akan dibaca, mungkin akan dibuang, atau dibakar sesudahnya, mungkin
akan menyampah disegala ruang memenuhi perabotan, menyelip diantara
barang-barang, dan masih banyak mungkin-mungkin lainnya. Namun ia berharap ketika
waktunya tiba, mungkin esok lusa, atau lusa depan. Ketiganya tetap akan
berkumpul lagi dalam satu ruang yang sama, berbincang tentang hidup dan berbagi
pengalaman selayaknya sesama orang dewasa pada umumnya. Tapi juga ketika senja
itu tiba, ia tak lagi mendengar, gemuruh pohon mangga si kakek yang terkubur di
Saint Petrucci. Atau dedaunan yang jatuh bergilir sebab udara meluluh lantakan
mereka disetiap jengkal tanah dan memaksa siapapun untuk menyapu
berulang-ulang. Lantas ia melihat Alfonso melangkah diantara orang-orang
menggendong tas ransel di satu kelumit kota, bercampur aduk dengan yang
lainnya, satu waktu hanya tampak punggungnya, satu waktu hanya tinggal kaki dan
tas ranselnya, terakhir, ia hanya tinggal senyuman si lelaki cilik yang didekap
manja oleh Emanuela ketika malam tiba di hari kelahirannya. Dia merasakan
segalanya menjadi hampa, sebegitu kosong seolah sedang melayang diantara ruang
kedap udara, dan sayup suara Emanuela akan menghilang seperti kebanyakan orang.
Ia tak lagi bisa mengingat segala kenangan, mimpi akan hangus dihapus oleh
waktu bahkan zaman, namun ia tak ingin kenangan sehari-harinya tergerus oleh satu
hal yang sama. Perlahan langkahnya menjadi gampang, pikirannya tak sesak oleh
hal-hal yang selalu penuh oleh kebisingan, kekhawatiran, dan keinginan. Ia tahu
itu dan tetap membiarkan. Anak lelaki itu jelas mendatanginya pada satu senja
yang sama, diantara rindang pohon dan gesrak semak lantana, segalanya menjadi
semakin jelas ketika katup mata membuka perlahan. Gemuruh air samudera yang
terbelah oleh bebatuan karang itu kini kembali bertemu di hilir sungai yang
sama setelah mengarungi lajur yang berbeda, selama berminggu, berbulan,
berpuluh-puluh tahun lamanya.. Ketika ia melihat bunga-bunga di pot hitam
bermekaran dan beranak pinak disisi-sisi lainnya, nyatanya segalanya berjalan
sewajarnya: pot-pot itu ada ditempat yang semestinya, pohon mangga kini berbuah
ranum dan segar untuk siapapun yang ingin mencoba rasanya, dan rumah itu tetap
sederhana seolah tak ubah bertahun-tahun lampau ia dan si kakek baru
menghuninya. Tak lagi ada yang ia takutkan, tak lagi ada yang ia khawatirkan.
Ketika pagi itu seorang gadis kecil keluar dari pintu depan rumahnya, lalu
sekejap menyirami pot bunga itu dengan air yang mengalir jinak, dan roman
senyum yang menyeruak. Ia akhirnya mengerti bahwa satu hari, segala hal
ketakutan itu akan berubah menjadi sesuatu yang menenangkan di dalam kuburnya,
disamping makam sang kakek, pada satu senja di pemakaman Saint Petrucci yang
senyap oleh sayup udara.
oleh Andika W. Putra
CATATAN:
* Kisah ini terinspirasi oleh sebuah puisi klasik
Jepang, Hito wa isa.
Seorang penulis, cinephile, pembuat film pendek, dan seorang founder sekaligus Program Director dari kelompok kajian dan pengembangan sinema Cacophony.ID yang saat ini masih berdomisili di kota Tasikmalaya, Jawa Barat, dibawah naungan Fun Learning Foundation
0 komentar