Potongan Kertas di Udara Yang Melayang Diantara Ingatan.
September 04, 2018
Ingatanku
masih melayang pada satu siang di bulan Maret, ketika aku pulang dengan
sekantung plastik berisi segala macam bahan makanan dan minuman yang mungkin
akan cukup untuk disimpan selama setengah bulan lamanya – atau mungkin lebih.
Setidaknya, sebanyak sepuluh air mineral botol seharga tujuh ribu per satu
botolnya, dengan beberapa kripik kentang yang berisi udara di setengah
kemasannya dan setengah lagi dipenuhi kripik kentang yang dengan gampangnya
dikunyah hingga lantak, bersama beberapa mie instan cup yang rencananya juga
akan ku santap sehari sekali atau dua kali saja. Sementara sinar mentari bisa
kurasakan menembus diantara celah jendela dan kusen yang telah dihinggapi oleh
banyak rayap, berlubang, ikut menambah-nambah ruang bagi cahaya mentari yang
masuk ke dalam rumah. Kulitku hanya merasakan hangat dengan beberapa bulir
peluh yang menetes diantara rambut-rambut kepala, mengalir dari setiap pori
melalui pipi, dan ikut partisipasi membasahi kaos abu yang tengah ku kenakan.
Ketika
itu masih tepat pukul sepuluh pagi ketika telepon berbunyi dengan lantang
diseantero rumah yang ditempati hanya diriku seorang. Mataku masih terpejam
kala telepon itu berhenti berbunyi untuk yang kesekian kalinya. Entah sejak
kapan aku kembali dari minimarket tadi. Yang jelas, mataku kini tertutup
setelah sekian hari tak menutup. Denyut mataku seolah melambat sepersekian
detiknya, semakin lambat, dan lambat, membuatku semakin tak menyadari segala
hal yang kualami sebelumnya, tentang telepon yang berdering atau segala makanan
yang kubawa di kantung plastik hitam. Sejak itu, aku nampaknya tak terbangun
dan terus terperosok ke dalam sosok hitam, kelam dan semakin dalam. Hingga
mentari menyorot perlahan ke arah mata – mungkin seperti itu – membuat yang
hitam perlahan menjadi merah, aku pun akhirnya disadarkan olehnya, membuka mata
mengumpulkan kesadaran. Diatas tembok disamping sofa tempatku berbaring, aku
melihat jam dinding yang sedang menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas
menit. Bajuku sudah basah kuyup, dan mataku masih terkantuk. Hanya, ketika
telepon itu berdering entah yang kesekian kalinya. Aku mulai menggerakan kaki
menginjak lantai yang berdebu – aku tak menyapunya sejak tadi – berjalan ke
pojok ruang keluarga untuk meraih gagangnya. Dengan santai aku menempelkan
ditelinga,
“Halo,”
tanyaku.
“Hei,
Halo. Kau ada disana?” tanya seorang pria begitu bersemangat.
Aku
tak membalas untuk beberapa saat, selain karena aku belum sepenuhnya tersadar,
aku pun tak tahu siapa suara di dalam sambungan telepon itu,
“Siapa?”
“Ini
aku, Marco, mungkin kau tak lagi begitu mengenali diriku, sudah sejak lama
memang.”
“Ah,
Marco,” jawabku, berpura-pura terkejut, siapa
sebenarnya orang ini, pikirku saat itu.
“Rasanya,
mungkin aku akan menginap dirumahmu untuk beberapa waktu, sehari atau dua hari,
ada reuni yang harus kita hadiri di pusat kota. Kau sudah tahu itu?”
“Reuni?
Entahlah, aku tak mendapatkan kabar apapun,” aku membawa telepon seraya
berjalan kembali ke atas sofa, dan sembari berpikir apa yang dimaksud reuni
oleh pria ini. Apakah ia seorang penipu bermodus sahabat lama atau apa.
Entahlah, aku hanya masih terus menyimak pembicaraan ini, barangkali mungkin
aku bisa mengingat sesuatu. Terlebih aku baru saja bangun tidur – walaupun
sejenak. Dan mungkin aku memang lupa dengan kawan lama bernama Marco.
“Oh
iya, mungkin aku perlu membawakanmu beberapa makanan ketika sampai disana, dan
kita bisa menyantapnya bersama kala kita berdua berjumpa nanti. Sebelum
menghadiri reuni itu tentunya. Malas juga aku pergi kesana bila tak ada waktu
luang seper– “
“Marco,
itu namamu kan?” sanggahku padanya, “Bisa kau beritahu apa yang sebenarnya kau
bicarakan sekarang? Aku benar-benar tak mengerti sama sekali.”
“Kau
pasti tak mengingatku sama sekali bukan?”
“Maaf
tapi, ya aku memang benar-benar tak bisa mengingatmu.”
“Ah,
tentu saja, aku sangat egois memang. Jadi, kita akan ada reuni sekolah menengah
pertama, lima atau empat hari lagi mungkin. Dan aku adalah salah satu teman
sekelasmu ketika masih di bangku sekolah menengah pertama. Kau ingat?”
“Marco..”
aku memikirkan sejenak, kembali ke masa lalu yang sudah tak lagi kupedulikan
itu. “Marco? Joan Marco? Buenos Aires?”
“Ya.
kau tepat.” Jawabnya begitu semangat, “Aku Marco yang dulu pernah tinggal di
Buenos Aires.”
“Oh,
ya tentu saja,” kataku, “Maaf, aku benar-benar tak banyak ingat, dan sebenarnya
hampir tak lagi ingat sama sekali tentang masa-masa itu.”
“Santai
saja kawan,” balasnya, sembari tertawa lepas sepertinya, “Aku bahkan tak banyak
ingat nama guru sekolah kita kala itu, waktu berlalu sangat cepat bukan, kita
berusia empat belas tahun kala itu, dan kini kita bahkan sudah berusia empat
puluhan.”
Aku
hanya tersenyum oleh perkataannya, membenarkan dia sebetulnya. Bahwa waktu
memang berjalan begitu cepat tak terasa. Aku bahkan terkadang merasa baru
beberapa hari yang lalu bertemu dengan kawan-kawan baru, dan kini telah
menginjak usia empat puluh satu. Ketika menginjak usia itu, bahkan tak banyak
orang lagi yang peduli dengan semua masa lalu mereka, atau masa muda mereka.
Orang-orang akan bergerak di hidup mereka masing-masing dan bersikap seolah tak
peduli lagi.
“Jadi,
mungkin aku akan tiba dirumahmu sekitar besok sore,” kata dia lagi. “Mungkin,
atau kurang lebih.”
“Tunggu,
kau sudah tahu alamatku?”
“Ya,
aku menelponmu dua atau tiga malam yang lalu,” kata dia, “Dan tak ada yang
menjawab sama sekali. Jadi aku menghubungi Esther.”
“Ah,
ya, tentu saja kau akan menghubungi dia.” Jawabku singkat. Seraya menghela
nafas atas jawaban yang sudah kuduga sebelumnya.
“Ya,
teman-teman yang lain juga tahu kalau kau menikah dengan Esther, aku ikut
terkejut bahkan, dan – ”
“Kita
baru sudah bercerai sebenarnya,” singkatku menyanggah.
“Apa?”
suara itu nampak tertegun, “Oh, maaf kawan. Mungkin, seharusnya aku tak
menghubungi dia kemarin.”
Kita
hening untuk beberapa saat, suasana yang sama bahkan terdengar diujung
sambungan telepon itu. Angin pun bisa ku dengar berhembus jinak diantara celah
kusen jendela, dan rongga yang dihinggap rayap. Matahari masih menyingsing
diujung sana. Ketika aku melihat jam sudah hampir jatuh pukul sepuluh lewat
tiga puluh menit. Ia berkata kemudian dan tiba-tiba.
“Kau,
tahu.”, ujarnya, “Aku kira Esther akan hadir besok, jika kau tak ingin hadir,
aku tak akan memaksa.”
Aku
berpikir sejenak, antara diriku dan Esther beberapa tahun belakangan, entah
sejak kapan ini semua terjadi diantara kami. Namun, waktu sudah berjalan dan
itu semua menjadi masa lalu, tak perlu lagi disesali atau dipikirkan lagi.
Menurutku.
“Tidak,
aku akan tetap hadir,”
“Kau
yakin?”
“Ya.
Tentu saja.”
Kami
pun segera mengakhiri pembicaraan tersebut, dan itulah suara seorang kawan lama
bernama Marco. Aku bahkan tak mengenali sosoknya lagi, apakah ia berjanggut
atau berambut botak, atau mungkin dipenuhi keriput diwajahnya. Entahlah, aku tak
ingat dan tak bisa membayangkan sosoknya lagi setelah sekian lama. Bahkan Marco
ketika muda pun aku tak ingat. Aku segera meletakan telepon itu ketempatnya
semula. Dan membereskan segala barang belanjaan yang kubawa hari ini.
Menaruhnya di dalam lemari pendingin sesuai penggolongan jenisnya masih-masing.
Dan sebagian lagi aku letakan di lemari dapur, seperti mie instan misalnya.
Hari
itu suasana begitu panas, seolah memanggang tubuhku di dalam himpitan tembok
ini. Tembok rumah yang sudah banyak menyaksikan pergulatan historis antara aku
dan Esther. Rumah yang kita bangun bersama, dan runtuh pun – seharusnya juga –
bersama. Kembali aku terpikir soal Esther. Pria itu berkata ia akan hadir
ketika acara reuni beberapa hari lagi, entahlah. Bahkan biarpun aku sudah
berkata akan hadir, tetap saja, semuanya seolah begitu meragukan, sesuatu itu
masih mengendap di dalam hatiku. Penyesalan, atau bukan. Aku tak dapat
memastikan, satu hal yang membuatku tak yakin dengan keputusanku yang mendadak
di sambungan telepon tadi. Bodoh sekali.
Terakhir
kali aku berbicara dengannya adalah ketika suaminya berkunjung ke rumah ini,
beberapa bulan setelah kami bercerai. Ia mencari Esther kala itu, aku tidak tahu kemana dia berada.
Jawabku padanya pada pagi itu. Lelaki itu langsung beranjak pergi dari teras
rumah tanpa lagi berkata sepatah kata. Itu terjadi tak lama setelah kami berdua
berpisah dan dia menikah dengan seorang lelaki yang juga sesama pegawai di
perusahaan multinasional. Ketika pintu tertutup aku segera mengambil gagang
telepon dan menghubungi nomor ponselnya yang sepertinya belum diganti setelah
sekian bulan perpisahan. Setidaknya itu yang kuharap darinya.
Sekali,
tak ada jawaban. Dua kali, hal yang sama terjadi. Bagaimanapun ia pasti pergi
ke suatu tempat, mungkin tempat itu, pikirku. Tempat dimana pada satu saat kita
pernah – dan sering – melepaskan rasa penat seharian ketika telah sampai di penghujung
tahun. Itu adalah sebuah bangunan kosong dipinggiran kota Ushuaia, Tierra del
Fuego – cukup jauh dari tempat kami bersekolah dahulu. Sebuah gedung yang tak
lagi dibangun hingga tuntas, entah apa yang direncanakan oleh si pemiliknya
dahulu, mungkin akan dibuat sebuah gedung hotel, atau mungkin hanya sebuah
supermarket biasa. Sejauh yang kami pandang – dan yang kuingat tentu saja –
gedung itu hanya berdiri diatas kerangkanya yang terbengkalai, diantara batu
bata dan dinding dari semen yang masih berupa tulang belulang. Manusia tanpa
urat, nadi, bahkan daging, itulah gambarannya. Sungguh luas bangunan itu,
bahkan aku pun bisa melihat satu sudut dan sudut lainnya tanpa tersekat apapun.
Tembok yang memisahkan antar ruang, masih nampak jarang. Membuat kami seolah
sedang dihamparan lapang yang merentang dilangit-langit, seolah melayang
diudara. Kami berdua berada di lantai dua ketika itu, dan itu yang kami
rasakan.
Ketika
kita lulus sekolah menengah, aku dan Esther mengenyam pendidikan di dua
Universitas berbeda di Buenos Aires. Aku mengambil jurusan seni visual di
Universidad Nacional de las Artes, sementara Esther mengambil jurusan ekonomi
di Universidad de Buenos Aires. Kita memang memiliki kesenangan, selera, dan
hobi masing-masing dan itu yang selalu memperjarak kita diantara waktu yang
terus berusaha mendekatkan dua sosok anak manusia. Semenjak masih berada di
sekolah menengah bahkan, memang dia terbilang anak yang rajin bahkan sangat
mendominasi di pelajaran eksak. Sementara aku, lebih berminat di bidang-bidang
yang berbau seni. Karena entah mengapa, ada satu gairah dalam diriku yang
membuatku terus tak bisa berhenti di satu waktu kosong, hanya untuk berdiam dan
merenungi nasib yang tak kunjung ubah. Membuatku selalu melampiaskan semuanya
ke dalam pikiranku sendiri kala berdiam diri dan segera ku tuangkan dalam
secarik kanvas dengan beberapa cat minyak yang aku gores dengan kuas-kuas tebal
membentuk pola yang tak karuan, terkadang orang-orang berkata seperti itu.
Bagiku, itulah sekelumit hal di dalam kepalaku yang tak bisa dimengerti
siapapun. Seorang kawan melihat lukisanku pada satu ketika, dan akhirnya ia tak
mengerti apa yang aku gambar, sebuah kepala dengan tubuh berupa air yang bahkan
selama sejam setengah ia memperhatikan gambar itu, ia tak paham sama sekali
tentang makna yang terkandung di dalamnya. Atau kepala babi yang hanya berupa
goresan minyak yang abstrak, diselingi dengan gurat cakar macan yang entah apa
maksudnya, kata seorang kawan sejurusan yang pernah melihat karyaku.
Esther
tak pernah memprotes lukisanku yang seperti itu. Ia hanya memandang seraya
tersenyum, entahlah ia memahaminya atau tidak. Ia bahkan tak pernah mau tahu
dengan seni sejak dahulu. Aku meragukan senyuman itu sebagai suatu kepahaman
absolut yang berusaha ia sampaikan secara tak lisan. Dia tidak paham sama sekali,
pikirku setiap waktu. Namun aku tak mempermasalahkannya, aku tak pernah
memintanya melihat juga – namun ia akan melihat pada satu waktu secara
tiba-tiba dan membuka kain penutup yang selalu aku gunakan untuk menutupi karya
lukisku. Sebelum akhirnya tersenyum sembari mengumbar sejuta arti, dan
pemaknaan mendalam bagiku.
Seusai
menempuh pendidikan di Universitas, sekitar setahun atau dua tahun setelahnya,
aku melamar Esther. Setelah pernikahan, kita berdua membeli lahan untuk kita
bangun rumah bersama diatasnya, kita rancang segalanya, bentuk hingga posisi
setiap ruangan, dan ini lah rumah yang ku tempati saat ini, satu lantai dengan
enam ruangan di dalamnya, ketika kau masuk, kau akan melintasi dua pintu besi
yang berlapis, sebelum kau akhirnya bisa menginjakan kaki diantara
lantai-lantai rumah ini. Di pintu sebelah kiri kau akan menjumpai ruang tengah,
ada dua sofa dan satu televisi. Sementara dua pintu kamar nampak terlihat di
lorong tak jauh dari ruang tengah, satu pintu kamar tidur kita ada di sisi kiri
lorong itu, sementara satu sisi lagi, kau akan menemui pintu dimana Esther
sering bekerja di separuh malamnya. Ketika kau berjalan jauh lagi di ujung
lorong itu kau akan menemukan dua ruangan yang hanya terpisah oleh tembok
dengan lubang persegi ditengah-tengahnya, yaitu ruang dapur dan ruang makan.
Sementara ruanganku sendiri, tempat dimana aku bekerja untuk melukiskan setiap
imajinasi dan pikiran yang membuncah pada saat yang tiba-tiba. Ada di ruang
basement. Pintunya tepat ada di ruang tengah, berwarna abu dengan gagang emas
yang berkilau memantulkan cahaya yang menembus diantara jendela.
Esther
bekerja, di satu perusahaan teknologi multinasional, dibagian sekertariatan.
Sementara aku adalah pelukis yang tak peduli dengan perspektif orang lain tentang
uang, dimana orang-orang beranggapan hidup adalah untuk mencari uang, setelah
kau mati. Itu adalah saat dimana kau sedang liburan – pensiun bahkan. Aku hanya
terus melukis dan tak pernah berpaling dari hal itu. Mempublikasikan karyaku di
galeri-galeri. Atau mungkin bekerja sama dengan kawan-kawan sesama seniman di
bidang yang lain untuk membuat suatu proyek seni yang berbeda dari kebanyakan
yang ada. Namun tetap, aku akan memilih semua pekerjaan yang berhubungan dengan
gambar, kuas, dan keabsurdan realitas.
Hingga,
umurku sudah mencapai tiga puluh lima, aku menyadari semua ini mungkin adalah
kesia-siaan belaka. Esther memang bekerja, ia digaji dengan uang yang cukup
besar nominalnya. Menjadi pegawai seperti dia sungguh menggiurkan, kau bisa
hidup tenang dan hanya berurusan dengan pekerjaan kantor yang harus kau jalani
setiap hari, sudah terkonsep dan tak perlu ambil pusing untuk apa yang akan kau
lakukan esok hari. Diakhir bulan kau juga akan menerima gaji dari pekerjaan
yang kau kerjakan. Di akhir tahun kau akan mendapatkan uang lebih dari biasanya
dari kantormu sendiri tentu saja.
Kita
berdua tak banyak membicarakan hal ini, namun bagaimanapun aku merasa,
seharusnya itu adalah tugasku. Bekerja menghasilkan uang banyak untuk keluarga
sendiri, dan bahkan kita pun belum mempunyai anak di usia ke sepuluh tahun
pernikahan. Esther pernah berkata, bahwa ia tak masalah dengan belum memiliki
anak. Mungkin suatu hari nanti, dan kita bisa melakukan itu kapanpun saja.
Kalau aku tentunya sudah siap untuk memilikinya. Bahkan, aku pun merasa terus
menerus merasa gagal dalam menciptakan maha karya dalam lukisanku sendiri. Ada
alasan tersendiri, mengapa ia merasa aku belum siap memiliki anak, berhari-hari
sering kuhabiskan di basement hanya untuk membuat lukisan-lukisan yang berbeda.
Seolah tanganku sudah menjadi mesin pencetak dari imaji yang ada di kapala ini.
Namun, kenyataannya lebih buruk. Lukisan-lukisan ini tak ubahnya benang
melingkar yang aku lalui setiap saat, satu ketika aku berpikir dengan cara
kiri, dan aku tak bisa mengambil cara kanan untuk melakukan hal yang berbeda.
Aku akan tetap berada di kiri, dan kurasa itu adalah selamanya. Selamanya aku
hanya menjadi pelukis ulung yang tak dikenal siapapun, ya, aku memang sudah
lama hilang diantara kerumunan masyarakat kota, terkukung dibawah basement
dengan pikiran yang hanya berkutat di dalamnya, tak pernah sekalipun bisa
meraih pintu basement di ujung tanggan sana, dan melangkah ke ruangan lain di
luar pintu abu itu.
Itulah
mengapa, aku menceraikan istriku lima tahun kamudian. Dan tak lama setelah itu,
ia menikah dengan rekan kerjanya di kantor yang sama tempatnya bekerja. Ia
memiliki seorang anak gadis sekarang, dan kurasa ia lebih bisa berbahagia
dengan kehidupan barunya.
Dari
semua hal tentang kehidupan sekolah menengah ku, tentang remaja, masa
universitas, atau karir. Aku tidak banyak ingat tentang nama atau rupa
kawan-kawan sekelasku dahulu. Hanya Esther mungkin yang aku ingat sejauh ini,
mungkin karena kami bersama untuk bertahun-tahun lamanya. Hingga hanya dirinya
secercah kepingan masa sekolah yang masih mengiringi setiap langkah seorang
pria yang tengah membangun bahtera bersama. Setidaknya, aku tidak begitu
amnesia dengan masa-masa itu.
“Halo,”
Itu
adalah panggilan kelima yang ku buat ke nomor yang sama, dan suara itu muncul
secara tiba-tiba di sisi sambungan telepon yang lain, aku mengenalnya, suara
wanita itu. Dan angin yang sama, yang kurasakan di bangunan tak terpakai
tersebut. Diriku seolah teresendat diantara kerongkongan dan mulut, membuatku
bahkan tak menggerakan lidah guna membalas sapaan jinak itu.
“Halo?”
“Halo?
aku tahu ini dirimu. Jawablah, ada apa?”
“Kau
masih menyimpan nomor rumah ini?”, balasku.
“Ya,
tentu saja,” dia berkata seraya terbahak lirih, “Kenapa? Ah, jangan bilang dia
menghampiri dirimu untuk menanyakan tentang keberadaanku.”
Saat
itu aku berpikir, apakah sebaiknya aku memberitahukan kedatangan suaminya ke
rumah ini beberapa saat yang lalu? Ataukah, aku tak seharusnya ikut campur
urusan diantara mereka berdua. Entahlah, aku mengambil waktu sejenak untuk
memikirkannya, sepuluh detik mungkin, atau lima.
“Tidak,
aku, hanya ingin tahu kau sekarang ada dimana?”
Dia
nampak tertawa mendengar balasanku, entah apa maksud dibalik tawaan gembira
itu. Sama seperti apa maksud senyuman yang ia berikan selama ini dihadapanku.
Membuatku ikut teringat kala kita berdua bersama dahulu, senyuman dan tawaan
sumringah dari bibir tipisnya itu. Entahlah, apakah ada wanita lain yang
memiliki senyuman seperti dirinya.
“Kau
sangat lucu”, ujarnya padaku. “Aku disini, dan aku baik-baik saja.”
“Apakah
masih sama?” tanyaku seketika.
“Ya,
begitu tenang, dan angin sedang menggoyahkan rambutku. Kalau kau mau tahu.”
Aku
terbawa kembali pada sosoknya, tentang hari dimana kami masih bersama, di usia
muda kala menikmati udara ditengah bangunan kosong – dan mungkin tua – itu.
“Kau
tahu, ada sebuah lahan kosong disamping bangunan ini, dengan dua ekor anjing
dan dua anak kecil di sekitarnya.” Lanjutnya, “Sedari tadi, aku lihat, bermain-main
di tempat yang sama. Apa kau pernah melihat mereka?”
“Tidak.”
“Aku
tidak pernah melihat mereka,” kataku padanya, “Apa menurutmu, mereka nampak
bahagia?”
“Hmm..”,
ia tak menjawab sejenak, suaranya nampak berkelindan dengan angin yang
berhembus menghempaskan rambut hitamnya.
“Aku
tak bisa melihatnya,” ujarnya lirih, “Tapi, aku rasa mereka cukup senang.
Setidaknya aku pikir seperti itu.”
Kami
hanya diam sejenak, aku tak bisa mengatakan apapun bahkan. Dia pun hanya
bungkam, digantikan kepakan sayap angin yang mendera ponselnya. Sesekali, aku
berpikir sedang apa dirinya, sedang duduk di sebelah mana dia, atau bagaimana
penampilannya sekarang. Aku hanya memikirkan itu semua, membuat segalanya tambah
runyam didalam kepalaku saja. Bukan persoalan, aku tak tahu harus berkata
dengan cara bagaimana, namun ini semua tentang kita yang tak lagi bersama.
Seharusnya ini tak aku lakukan, seharusnya, ini sudah diakhiri sejak dua
panggilan yang berakhir sama.
“Kau
mengingat ini semua?”
“Mengingat
apa?”
“Tempat
ini,” jawabnya. Dengan nada yang rendah dan membuatku sesekali perlu dengan
seksama mendengarkan suaranya yang tersapu nada angin yang kian memaharaja di
luar sana.
“Tentu
aku ingat, sesekali aku pernah melukis di tempat itu,” jawabku, “Walaupun sudah
lama sekali aku tidak kesana, mungkin empat atau tiga tahun yang lalu.”
“Hmm..
Begitu,” jawabnya lirih. “Aku juga sudah jarang kemari.”
Aku
hanya tertawa kecil, mendengar suaranya untuk beberapa saat.
“Kalau
kau tidak kenapa-napa. Syukurlah,” balasku, “Aku harus pergi keluar sekarang,
selamat tinggal.”
“Ya,
selamat tinggal.”
Aku
segera menutup sambungan itu, dan pagi itu adalah terakhir kali aku berbicara
dengannya, ketika ia – dan entah kenapa – berada di bangunan tersebut. Taksir
ku, mungkin ia sedang bermasalah dengan suaminya di rumah. Tapi, siapa peduli.
Aku tak lagi terikat hubungan pernikahan dengan dia, bahkan. Panggilan itu juga
tak seharusnya terjadi ketika suaminya baru saja datang dan menanyakan
keberadaan sang istri kepadaku sendiri.
* * *
Entah
sejak kapan aku tak lagi berani menyentuh kuas dan cat minyak. Apalagi kanvas.
Semuanya terkunci dalam waktu yang cukup lama di bawah sana, dengan kain putih
menutupi setiap wujudnya. Bahkan aku sendiri tak lagi ingat apa yang tertuang
dipermukaan kasarnya, aku tak tahu apakah itu sudah menjadi lukisan atau hanya
baru sekedar coretan. Kini hanya sekedar tumpukan sampah yang tak lagi terpakai
di bawah basement. Pintu dengan gagang emas itu pun tak lagi nampak bersih dari
noda, seperti tertutup oleh debu-debu yang berhambur di udara. Buenos Aires
tidaklah sebersih yang diduga oleh banyak orang, kota ini cukup memiliki udara yang
sedikit kotor. Sekali waktu aku melihat debu menempel dilantai-lantai atau
meja-meja. Semakin kau mengusir mereka, mereka hanya berpindah lahan dan
tempat. Sama-saja, kau tak akan bisa membersihkannya. Sebab, mereka akan terus
melayang diantara udara, diantara oksigen yang kau hisap, mengendap, dan
membuat paru-parumu sesak nafas.
Saat
itu jam enam sore, dan aku menuangkan air panas ke dalam cup mie instan yang
kubeli siang tadi. Membuka bumbu yang ada di dalamnya dan mencampurkan mereka
semua hingga tanak. Menunggu beberapa menit dengan menonton televisi yang
menyiarkan sebuah telenovela. Sekedar membunuh waktu, pikirku. Sepanjang hari
itu aku benar-benar teralihkan tentang reuni beberapa hari lagi. Sebuah kabar
tiba-tiba, aku bahkan tak ingin diriku muncul diantara mereka, disisi lain
mungkin aku masih ingin bertemu dengan Esther, yang menurut lelaki bernama
Marco siang tadi, dia akan datang di dalam acara reuni sekolah kami.
Mie
itu sudah matang, aku membuka penutupnya, dan aku makan menggunakan garpu
dengan beberapa hisapan mengarungi asap putih yang masih mengepul panas.
Bahkan, ketika itu kulakukan. Aku sekejap saja tak lagi mengingat tentang
berapa banyak mie, atau berapa banyak kuah yang tersisa di dalamnya, atau
seberapa panas asap-asap itu menghantam wajah ini bertubi-tubi rasanya. Sebab,
aku terus terganggu selama berjam-jam ini, tentang satu hal yang sedari tadi
mengendap di dalam kepalaku sendiri. Aku sama sekali tak mengingat siapa itu
Marco, atau kawan-kawan sekolahku dahulu. Bahkan seperti apa rupa sekolahku. Sejak
panggilan telepon itu muncul, aku tak tahu seperti apa segala hal yang kulalui
bersama Esther selama kami bersekolah dahulu. Apa yang kami pelajari, siapa
guru-guru kami disana, atau bagaimana bentuk sekolahan kami pada saat itu. Aku
tak ingat. Dan terdengar konyol memang. Bahkan bila ini kukatakan kepada
orang-orang asing di jalanan kota, mereka pasti hanya tersenyum seraya
menertawakan. Tak mungkin seseorang seolah amnesia terhadap masa lalunya.
Bahkan, bila itu hanya beberapa tahun ia lalui. Tak mungkin seseorang akan
melupakan hal-hal semacam itu dengan gampangnya.
Satu-satunya
kepingan yang kuingat di masa remajaku hanyalah Esther. Entah mengapa, aku pun
tak mengerti, seolah semuanya menghilang ikut terkukung di bawah basement itu.
Tempat dimana aku selalu – dan terus – tak lagi bisa menjangkau, ataupun
dijangkau. Bersama ingatan dan imajinasi ku yang bahkan tak lagi nampak di
dalam kepala, tentang apa yang pernah ku lukis dan apa yang belum pernah ku
lukis.
Masih
pukul tiga, kala telepon berbunyi, sebuah deringan yang lantas membuatku
terperanjat dari pejaman mata di malam yang gelap gulita. Aku menyalakan lampu
kamar, dan mengangkat telepon yang bersanding dengan jam weker yang masih
menunjuk pukul tiga dini hari itu – itulah mengapa aku tahu betul jam berapa
telepon itu berbunyi. Aku menempelkan gagang telepon tepat ditelinga kanan. Dan
rasanya saat itu hawa dingin sekejap merasuk ganas ke dalam tulang belulangku.
Dari speaker telepon yang menempel tepat di daun telinga, suara itu menghembus
begitu tajam, lantang, dan suram. Aku bisa mendengarkan dahan-dahan goyah, dan
mayat-mayat dedaunan bergelimpangan seketika. Disaat yang sama, angin berhembus
memaharaja, begitu besar, dan bisa kubayangkan. Tak ada angin di luar rumahku ketika
dini hari itu. Tak ada dedaunan rontok di halaman atau pekarangan rumahku.
Meyakinkan aku itu semua bukan mimpi ataupun salah dengar, sebab, semuanya
seolah menghanyutkan diriku ke dalam suasana hening dan pengap. Sementara hawa
dingin terus menerus merenggut kesadaran. Dimana aku masih bisa dan hanya bisa
mendengar suara dedaunan jatuh diantara tanah, angin sepoi menghujam diantara
dahan, mungkin pohon beringin tua nun lebat, atau sejenisnya.
“Halo?”,
ucapku saat itu.
Tak
ada jawaban, hanya angin yang seolah mendengar segala ucapan. Itu adalah suara
di satu tempat yang hampir tak bisa kubayangkan letaknya. Hanya tentang pohon
dan dahan yang goyah, serta angin yang melantakkan segala macam dedaunan
menguning dan kemerahan ke atas tanah yang entah basah atau mungkin kering
kerontang. Semuanya nampak senyap, seolah kita sedang berada di gedung itu,
ketika masih diusia remaja. Aku dan Esther berdiri merasakan rambut kita yang
terus dihempas oleh sepoi angin dipinggiran kota Ushuaia. Begitu menyegarkan
dan menghamburkan segala penat yang dilalui selama setahun belakangan.
“Siapa
ini?”, tanyaku berulang kali. Namun tetap sama, hanya angin dan dedaunan yang
gugur di satu hamparan tanah yang cukup luas sepertinya.
Namun
yang jelas, sekitar dua atau tiga menit kemudian, aku menutup telepon itu.
Dengan hembusan nafas panjang berkali-kali. Berpikir siapa yang mengerjai orang
yang sedang tidur di jam tiga dini hari. Tak habis pikir, namun angin itu membawaku
pada kenangan tentang Esther. Dan semakin aku terbawa, aku semakin tak paham,
apa yang sebenarnya terjadi di dalam kepalaku ini sejak kemarin siang.
Hingga
tiba pagi itu, setelah mandi, dan mencuci pakaian, juga sarapan tentu saja. Aku
membuka ruang kerja milik Esther, ruang yang sudah lama tak kusentuh. Beberapa
perabotan masih nampak diam ditempatnya sejak terkahir kali Esther meninggalkan
rumah ini. Mungkin, hanya beberapa buku dan berkas yang sudah ia angkut bersama
dengan sosoknya pergi di ujung jalan ditelan waktu dan jarak. Beberapa almari
nampak kosong, tak bersisa, laci meja kerja, dan atasnya pun nampak tak ada
apa-apa. Aku bisa menjual semua perabotan ini pikirku. Namun selalu urung ku
lakukan. Malas tentu saja.
Ruangan
itu cukup besar, seperti sebuah kamar apartemen yang tak bersekat, hanya
sehamparan saja, seolah lapang yang dipayungi oleh atap dan dibatasi batu-bata
membentuk persegi panjang nun luas. Beberapa paku mungil masih nampak tertancap
di beberapa sudut dindingnya, nampak belum di cabut, dan aku selalu lupa untuk
melakukannya. Sebelumnya, paku itu ditempati oleh banyak sekali lukisan yang
kubuat untuk Esther. Namun entah apa yang lukisan macam apa yang kubuat
untuknya, aku tak ingat. Sama sekali, bahkan warna atau konsepnya. Semuanya
seolah hilang ditelan waktu. Padahal belum lama kita berpisah, belum sampai dua
hingga tiga tahun bahkan. Dan kurasa lukisan itu masih kusimpan erat-erat di
antara tumpukan lukisan yang ada di basement. Namun, hari ini aku tak ingin
sekalipun membuang waktuku yang berharga hanya demi menengok kembali kenangan-kenangan
lama.
Ada
sebuah biffet di sudut kiri dekat meja kerjanya yang bersebrangan dengan
jendela menuju halaman belakang. Diatasnya, cahaya matahari menyinari sebagian
dan nampak debu sesekali di beberapa sudut menutupi permukaan biffet yang
terbuat dari kayu yang cukup tebal dengan cat coklat yang masih seperti baru
dibuat. Sementara di permukaan biffet itu pun nampak beberapa foto kita berdua
yang masih di usia dua puluhan, sekali waktu aku lihat beberapa foto yang terpampang
dalam bingkai abu dengan foto yang sudah luntur warnanya di sisi lain
permukaan. Mungkin itu foto kami kala masih berusia delapan belas atau sembila
belas, dengan syal merah dan biru yang nampak melingkar di leher kita berdua.
Namun
itu semua bukan alasanku, untuk masuk dan berada di ruangan ini lagi. Ini semua
adalah tentang sebuah buku. Aku ingin mencari sebuah buku tahunan yang kurasa
tidak ia bawa pergi sama sekali dari ruangan ini. Sebuah buku cukup lebar yang
hampir sama sekali tak pernah kubuka. Bahkan ketika aku pertama kali
mendapatkannya. Sebenarnya kita memiliki dua buku tahunan, satu milik Esther
dan aku memiliki satu yang lainnya. Tapi aku tak tahu kemana buku milikku,
mungkin hilang atau masih berada di rumah kedua orang tuaku. Entahlah. Namun
aku masih ingat kalau Esther menyimpan miliknya di ruangan kerja semasa kita
masih bersama. Itulah mengapa aku mencari buku itu. Hanya untuk sekedar membuka
kembali tabir memori yang tersingkap selama ini, membuatku tak lagi mengenal
rupa hingga sosok siapapun yang pernah kujumpa dan berjumpa di masa sekolah
menengah. Sebab, aneh bila aku hadir dalam reuni itu, namun aku sama sekali tak
mengenal siapapun di sana. Lebih konyol lagi, aku seolah akan menjadi
satu-satunya orang asing diantara kerumunan yang mengenal penuh tentang diriku
dan masa laluku semasa remaja.
Satu
persatu, pintu di almari itu aku buka, hampir semuanya kosong. Biffet itu cukup
panjang, ada dua bagian yang menopang dua pintu kecil dengan kaca yang
melapisinya hingga nampak menembus di bagian dalam. Aku bisa melihatnya
walaupun kabur, sebab debu yang nampaknya sudah membuat kaca itu semakin kotor
dan kusam. Tak menemukan di dua sisinya. Aku membuka pintu di bagain bawahnya.
Ada tiga pintu yang cukup lebar dan semuanya tertutup, bahkan perlu sebuah
kunci untuk membukanya. Tapi untungnya aku tak perlu kunci untuk membuka tiga
pintu itu. Dia sepertinya sengaja tak menguncinya, pikirku.
Berbeda
dengan sebelumnya, dua pintu di dua sisi bagian atas yang kosong melompong. Di
bagian bawah ini aku bisa melihat di pintu pertama di sebelah kiri, beberapa
tumpukan kertas, dan kaset tape musik milik Esther. Di pintu kedua, nampak
beberapa buku-buku tebal semasa ia kuliah dahulu – mungkin. Di pintu ketiga,
beberapa buku catatan kusam dan beberapa lembar kertas yang usang menguning.
Esther
membawanya, pikirku saat itu.
Dia
duduk di tempat ini, ketika siang hari. Memasukan beberapa barang dan beberapa
perlengkapan kerjanya ke dalam sebuah kardus. Beberapa buku bersampul merah,
beberapa buku catatan, map dokumen, surat, dan beberapa kertas. Aku ingat
betul, semua yang ada di kardus itu adalah barang-barang dari almari bawah
biffet. Tempat dimana ia selalu menyimpan buku tahunan berwarna hitam legam itu.
Dan ia pernah mengatakan hal itu pada satu hari kepadaku. Namun, siang itu aku
terus memperhatikannya tanpa berkata-kata. Hanya menatap sembari bungkam.
Entahlah, ada gejolak rasa yang tak pernah merelakan dirinya meninggalkan rumah
kami berdua. Namun itulah yang terjadi. Siang itu ia bergegas pergi, dengan
sebuah mobil sedan milik kekasihnya, aku hanya menunggu ia dan mengawasinya
memasukan beberapa barang dari meja, almari, biffet, dan laci meja. Dia tak
sama sekali menyisakan satupun yang penting, kecuali foto kita berdua. Seolah
kenangan telah dibuang begitu jauh, dan terlampau jauh olehnya di siang yang
merona benderang.
Aku
masih ingat, bagaimana foto-foto itu tak ia bawa. Tetap ditempatnya,
menghentikan waktu di siang itu, ketika dia dan aku berpisah tanpa sepatah
kata. Walaupun, aku ikut mengangkut beberapa barang ke dalam mobil kekasihnya,
tapi sepertinya memang. Saat itu ia tak memasukan satupun buku tebal raksasa
berwarna hitam. Lagipula, buku itu juga adalah kenangan masa remajanya ketika
kita masih berhubungan dekat – ya, walaupun bersama beberapa kawan di halaman
per halaman berikutnya – setidaknya jika foto-foto berbingkai mungil pun ia
tinggalkan diatas biffet, ia juga pasti meninggalkan buku tahunan sekolah
menengah itu tak jauh dari tempat yang sama. Pikirku.
Seharian
itu, hampir aku mencari ke setiap sudut rumah ini, di lemari pakaian kamar kita
berdua. Di laci meja, bahkan hingga lemari dapur pun aku geledah mati-matian.
Namun tetap tak ada satupun buku hitam tebal yang aku temukan. Aku tidak ingat,
Esther pernah membuangnya, sebab ia pernah berkata pada satu malam tepat
sebelum kami tertidur pulas.
“Kau
tak membawa buku itu kemari?”, tanya dia.
“Ya”,
jawabku singkat. “Ku rasa aku tak membutuhkannya lagi.”
“Kita
bisa mengambilnya besok kalau kau mau,” jawab Esther dengan nada lirih, “Aku
rasa itu adalah barang penting juga.”
“Tidak
usah, bahkan aku tak membutuhkannya untuk mencari kerja, bukan?”
“Ya,
memang,”
Kita
hening sejenak di atas dipan kamar itu, aku sibuk membaca buku, dan Esther
nampaknya berusaha tidur namun tak mampu.
“Kau
ingat, Julian?”, tanya dia seketika.
“Julian?”,
aku merasa aneh dengan nama itu, “Siapa dia? Temanmu?”
“Kau
tidak ingat? Dia teman kita dulu.”
Aku
memikirkan sosoknya sejenak sebelum aku menyadari tentang siapa itu Julian, ia
seorang lelaki keturunan Yahudi, yang pernah kita temui di perpustakaan
Universidad de Buenos Aires. Aku beberapa kali bertemu dengannya, kadangkala
jika sedang menemani Esther, sebelum pulang dari kegiatan kampus, hanya sekedar
menemaninya mencari bahan-bahan untuk mengerjakan tugas kuliahnya di dalam
perpustakaan Universitas. Dan lelaki itu akan datang – hampir selalu – dan
duduk di meja yang tak jauh dari tempat kami berada. Sekali waktu kita
mengobrol dengannya – dengan suara yang begitu pelan tentu saja – namun tak
begitu sering, ia pendiam. Dan tak banyak bicara atau bertanya.
“Julian,
temanmu itu? yang satu kampus denganmu?” tanyaku padanya.
“Ya,”
jawab Esther. “Sore tadi, aku baru mendapatkan kabar, kalau dia baru saja meninggal
di rumah sakit.”
“Hah?
Kenapa?”,
“Dia
punya semacam penyakit kanker, dan sudah dirawat sejak setahun atau dua tahun
yang lalu.” Sembari membalikkan badan membelakangiku sekarang.
Aku
hanya terdiam, saat itu. Antara terkejut dan menyesal bahwa aku sempat tidak
mengingat tentang dirinya. Menyalahkan ingatanku berkali-kali kenapa aku bisa
tak mengingatnya. Lantas hal itu membuatku tak lagi ingin membaca buku, aku
menutup buku yang aku genggam, dan mulai berusaha tidur senyenyak mungkin,
melupakan tentang kejadian tadi. Rasanya aku begitu menyesal malam itu.
Sementara Esther nampaknya sudah tertidur lelap membelakangi diriku, tepat
disampingku.
Tepat
sekiranya empat menit setelah aku memejamkan mata ketika ia berkata, “Kau ingin
susu vanilla? Aku mau mengambilnya di dapur.” tanya dia, sepertinya ia belum
tertidur sama sekali. Namun rasa kantuk mulai menggerayangi setiap urat saraf
mataku, hingga aku pun tak ingin sekalipun atau sedetikpun menghabiskan waktu
untuk membuka mata ini lebar-lebar untuk menjawab pertanyaannya.
“Tidak,”
kataku seraya terpejam. “Aku ingin tidur.”
Aku
bisa mendengar suara langkah kakinya, telapaknya yang halus menginjaki lantai
rumah kami, menuju dapur, semakin jauh langkahnya semakin keras suaranya,
menggema diseantero dinding rumah. Bahkan, aku tak sadar bila ia sudah kembali
lagi hanya beberapa saat kemudian. Suara gema langkahnya sungguh mengganggu
telinga, namun syahdu jika didengar seksama.
“Dingin,”
ujarnya lirih, disamping tubuhku. “Susu ini menjadi dingin, aku lupa
memanaskannya.”
Aku
tak menjawab hanya mendengarkan, seolah diriku terus meluncur deras ke lubang
yang semakin jauh dari permukaan, hanya suaranya yang menemaniku kala itu.
“Jangan
khawatir, aku rasa Julian tak ingin diingat banyak orang”, suaranya begitu jauh
dan semakin jauh dari telingaku. “Dia pendiam. Namun sepertinya, dia nyaman
dengan dirinya yang seperti itu.”
“Untung,
kita berdua masih mengingatnya.”
Terdengar
suara gelas membentur permukaan meja kecil di sebelah ranjang milik kita berdua.
Begitu menggema, namun sedikit jinak dari suara gema sebelumnya.
“Soal,
buku itu,” lanjutnya beberapa saat kemudian. “Buku tahunan sekolah kita. Aku
menyimpan milikku di lemari bawah biffet, kau tak perlu jauh-jauh jika
membutuhkannya satu hari nanti.”
Hening
seketika. Aku semakin terlelap dan terlelap, ia duduk di sampingku lalu kembali
berbaring. Rasanya seperti itu. Dan malam itu begitu senyap diantara kita
berdua. Sementara entah, apakah ia langsung tertidur saat itu atau tidak. Yang
pasti, aku sudah terlelap ketika ia bebaring disampingku. Malam itu.
* * *
Ketika
bel rumah berbunyi tepat diatas ubun-ubun kepala, senja itu aku terhentak dari
atas sofa dan mentari telah jatuh di ufuk timur. Kaus yang kupakai bahkan telah
dibasahi oleh keringat yang membanjiri seluruh tubuh. Itu adalah bunyi bel
pintu depan, pikirku tangkas. Dan ketika itu terjadi aku lekas bangkit dan
berjalan – walaupun sempoyongan – ke arah pintu depan rumah. Sementara bel
terus di tekan berkali-kali dari arah luar, aku pun membuka kunci pintu
tersebut, dan membukanya.
“Hi,”
seorang lelaki menyapa seraya tersenyum sumringah, ia mengenakan mantel hitam
dengan dilapisi kemeja putih di dalamnya, serta rambut kepala yang nampak
sedikit beruban. “Aku juga membawa beberapa makanan, kalau kau mau.”
Dia Marco, kawan lamaku. Pikirku saat
itu juga.
Aku
mempersilahkannya masuk, membuka kantung plastik yang ia bawa, hanya beberapa
snack, dan beberapa kaleng bir. Namun, kurasa itu cukup untuk membunuh waktu
selama beberapa malam ini. Aku membuat beberapa roti lapis untuk kita nikmati
bersama di ruang tengah. Sementara ia duduk di atas sofa.
“Apa
yang kau lakukan selama?” tanya dia padaku.
“Maksudmu?”
“Apa
yang kau lakukan? Kau bekerja?”
“Ya,
tentu.” Aku membuka sekaleng bir dan duduk di sofa tepat di depan televisi.
“Di
perusahaan?”
“Tidak,
aku pelukis”, ujarku seketika. Walaupun sudah beberapa lama ini tak lagi
melukis. “Kau sendiri? Tinggal dimana sekarang.”
“Manhattan,”
jawabnya sembari melahap beberapa sandwich. “Wall Street. Ya, aku ambil cuti
untuk beberapa hari.”
“Pasti
penghasilannya sangat besar disana,”
“Ya,
tapi pekerjaan disana sangat militan, kau bisa lihat,” ia menunjukan kantung
mata dan kepalanya yang ditumbuhi rambut pendek beruban, sedikit botak ditengah
kepala juga nampaknya. Memperjelas bagaimana jam kerja di Wall Street sebenarnya.
“Kau
akan nampak terlampau tua sebelum waktunya.” ujarnya tertawa lepas. Sembari
meminum sekaleng bir yang ia beli sebelumnya. “Hey, aku benar-benar minta maaf
sebelumnya. Aku tak tahu kalian sudah bercerai.”
“Aku
bahkan tak seharusnya melakukan itu. Bodoh.”
“Jangan
khawatir, hubungan kita berdua tidak sedingin itu,” jawabku. “Beberapa kali aku
sempat menghubunginya, dan ku rasa tidak ada masalah diantara kita. Hanya masa
lalu yang tak perlu dibahas.”
“Tapi,
kau sudah tahu tempat kita melakukan acaranya nanti?”
“Ah,
itu. Aku belum tahu sama sekali.”
“Sebelumnya,
Paolo mengatakan padaku bahwa mereka tidak bisa melaksanakannya di sekolah kita
dulu, di Ushuaia. Lalu dipindahkan ke sebuah cafe yang cukup besar, milik Clara
Emannuela di tengah kota, disini. Kau ingat Clara?”
“Aku
tak ingat”, jawabku sembari menduga-duga.
“Dia
sangat cantik waktu kita masih bersekolah dulu, ku rasa Esther lumayan dekat
dengannya”, lanjut dia. “Lalu, beberapa waktu lalu aku mendapat kabar dari
Paolo. Bahwa kita malah katanya sudah diijinkan untuk bereuni di sekolah. Tapi,
akan ada konfirmasi lagi besok katanya.”
“Jadi,
kita kemungkinan akan pergi ke Ushuaia?”
“Mungkin,
tapi akan ada kabar lebih lanjut soal itu”, jawab dia sembari tersenyum kecil.
“Itulah kenapa aku tak ingin menjadi salah satu dari panitia acara itu.”,
bisiknya sembari tertawa.
Kita
banyak mengobrol tentang masa lalu. Sebenarnya, dia yang banyak mengobrol
tentang hal itu, sebab aku sudah tak ingat tentang apa saja yang pernah dilalui
oleh para remaja-remaja ketika masa sekolah. Kita tak lagi menyebutkan nama
Esther dalam pembicaraan. Sementara, aku sama sekali bahkan tak mengenal
orang-orang yang ia sebut sebagai ‘kawan lama kita dahulu’. Walaupun begitu,
aku tetap mendengarkannya, tentang cerita bagaimana pesta hari jadi sekolah
sungguh meriah kala itu. Dengan ratusan botol soda yang kita semua semprot
menghujam udara. Bagaimana, tentang cantiknya gadis-gadis semasa kita sekolah.
Dimana, para lelaki selalu memuji mereka kala bergunjing ria di sudut lapangan
sekolah. Berkata dan bermimpi satu hari akan memilikinya, namun nyatanya, tak
satupun ada yang memiliki gadis-gadis primadona sekolah kala itu.
Jam
dinding menunjuk pukul sembilan tiga puluh malam. Kita sudah masing-masing
menghabiskan dua hingga tiga kaleng bir, dan beberapa sandwich, tentu saja.
Tidak terasa.
“Tapi
jujur, masa muda itu tidak gampang untuk dilupakan,” ujarnya.
“Ya,
seharusnya begitu,” jawabku.
“Tapi,
entahlah aku tidak tahu apa yang dilakukan oleh waktu, dia hanya terus berjalan
mengikuti arus yang terus kita lalui. Dan perlahan kita semakin jauh dan
semakin jauh dari titik awal kita berdiri semula. Hingga, kita bahkan tak tahu
dimana kita mengawali semuanya.”
“Kau
masih menyimpannya?,” tanya dia kembali. “buku tahunan sekolah kita.”
Aku
hanya terdiam, tak tahu harus berkata apa. Buku itu sejak seharian ini
menghilang entah kemana. Atau memang sudah hilang sejak lama. Namun, benar. Aku
tidak bisa mengunjungi acara reuni sekolah itu hanya bermodal sepotong ingatan
yang ala kadarnya. Bahkan aku hanya mengingat nama Esther saja. Sungguh aneh
bila ini terus berlanjut hingga esok ketika kita hadir di dalam acara itu.
“Aku
rasa aku menyimpan buku itu,” jawabku. “Entahlah, aku tak ingat buku itu ada
dimana.”
“Sayangnya
bahkan, aku tidak membawa milikku,” ujarnya. Perlahan ia membisikan padaku,
“Tapi, apakah Esther masih menyimpannya?”
“Entahlah,
aku tidak ingat,” jawabku,“mungkin sudah ia bawa ketika dia meninggalkan rumah
ini. Mungkin.”
Tak
lama kemudian aku membawa kaleng-kaleng bir kosong yang tergeletak diatas meja
tengah lalu membuangnya di dalam tempat sampah di ujung ruangan, dengan
piring-piring bekas yang aku bawa dan aku letakkan di dalam washtafel, dengan
segera kucuci dan kusimpan kembali ke dalam tempat piring-piring berjejer
semestinya. Seraya berkata pada Marco, “Aku akan mencari buku itu sebentar.
Mungkin terselip di satu tempat.”
“Kau
ingin kubantu?”, terdengar suaranya di ruangan tengah.
“Tidak,
tidak perlu.” Balasku menuju kamar tidur.
Aku
mencari ke dalam lemari pakaian yang sering digunakan Esther untuk menyimpan
pakaiannya. Namun aku tidak menemukan apapun di dalam lemari itu, bahkan aku
mengulang mencari ke segala pelosok perabot yang ada di antara kamar dan ruang
kerjanya. Tetap kosong melompong. Tidak nampak wujud buku hitam legam yang
tebal yang pernah ku lihat sebelumnya. Hingga, saat itu aku menyesal
meninggalkan buku itu di rumah kedua orang tuaku. Sialan, pikirku.
Setelah
beberapa kali mencari namun tak menemukannya. Dapat dipastikan buku itu kemungkinan
besar telah lenyap atau mungkin memang terbawa oleh Esther di dalam kotak
kardusnya pada hari itu. Aku hanya bisa merentangkan tubuh diatas dipan dengan
menghela nafas dan memejamkan mata sejenak. Menjernihkan pikiran – dan berharap
memori lama kembali dengan sendirinya dalam waktu yang instan. Sejenak aku
teringat panggilan telepon tempo lalu. Suara angin jinak yang menerpa dedahanan
yang dengan tanpa tedeng aling-aling menjatuhkan banyak dedaunan ke atas
permukaan tanah yang basah atau mungkin kering korantang, pikirku. Yang jelas
angin itu menerpa wajah kita berdua di bangunan tua kala masih menjadi bagian
dari kaum remaja di Tierra del Fuego. Sebuah bangunan kosong yang seolah ditiup
oleh serbuan udara yang menghempas segalanya, membuat suara mengiang diantar
dinding-dinding bata yang tak terlapisi apapun, masih menempel tanpa cat yang
berwarna-warni dan tak akan pernah, untuk selamanya. Dan entah kenapa, aku jadi
mengingat saat-saat itu lagi.
“Kau
sudah menemukannya?” teriak Marco.
Suaranya
nyaring terdengar diantara telinga kananku, tepat diarah pintu masuk lorong
itu. Aku membuka mata. Menyadari bahwa hari semakin malam, dan tentu aku
menyerah untuk buku hitam tebal itu yang bahkan aku tak tahu apa isinya. Foto
kah? Kata-kata mutiara? Siapa yang peduli. Buku itu telah lenyap bersama Esther
dan tak akan pernah kujumpai di rumah ini lagi, pikirku.
Aku
berjalan menuju lorong, bermaksud untuk menghampiri Marco, “Aku tak
menemukannya, kurasa memang sudah hilang.”, namun ia tak nampak diruangan
tengah sama sekali. Hanya mantel hitamnya yang tebal, tergeletak diatas sofa,
dengan plastik putih yang masih berisi dua kaleng bir dan beberapa snack yang
terbuka, televisi pun masih menyala menampilkan acara talkshow seperti biasa.
“Marco?”
Berjalan
disekitar ruangan yang ada, aku tak menemukan sosoknya lagi. Di ruangan kerja
Esther. Dapur. Toilet. Atau bahkan halaman belakang. Sementara aku masih
mencarinya, telepon berdering di sudut ruangan tengah. Begitu nyaring hingga
terdengar oleh diriku yang saat itu berdiri di halaman belakang yang begitu
gelap.
Tak
lama, aku segera kembali ke ruang tengah dengan menduga-duga bahwa Marco
mungkin sedang berada di teras atau diluar rumah. Dan aku pun segera
menghampiri telepon itu, lalu mengangkat gagangnya dengan tangkas
menempelkannya di telinga kanan.
“Halo?”,
kataku saat itu juga.
Namun
yang kudengar, hanya suara hening berkelindan dengan suara pasir yang mendesis.
“Halo?
Siapa ini?”
Tetap
tidak ada yang menjawab. Hanya suara pasir yang diiringi sayup-sayup angin
jinak. Seolah tak ada yang mendengarkan diujung panggilan itu. Satu nuansa sama
yang membawaku ketika masa-masa pernikahan antara diriku dan Esther. Begitu
senyap dan tak banyak kata yang terucap. Membuat darahku berdesir di seantero
badan, dan pembuluh darah, hingga tak lagi kudengar dedaunan berjatuhan
diantara permukaan tanah, atau dahan yang terkoyak-koyak udara hingga lantak.
Semuanya hening, dengan hanya butiran pasir yang saling berbenturan dan angin
yang menerbangkan. Aku tak bisa merasakan apapun, selain kesendirian, dan
kedamaian.
Andika W. Putra
0 komentar