Ketika Jatuh Hujan
September 08, 2018
Bila kau sedang mengayuh sepeda bersama seorang
kawan, maka jangan berhenti di tengah jalan. Kau akan bertaruh dengan sekuat
tenaga tentang siapa yang akan menjadi terdepan, siapa yang dapat mendahului
antara kawan dan lawan. Walaupun kau tahu satupun orang tak ada yang meminta
kau untuk terus jalan, tak ada seorang pun di samping kanan dan kiri mu untuk
terus melanjutkan tantangan. Kau akan terus ada di atas roda-roda yang bergulir
sedemikian rupa, melantunkan ritme antara pijakan kaki dan pedal. Seorang kawan
akan semakin memacu sepeda di sampingmu dengan sedemikian keras, dan tak ada
seorang pun yang mampu melewatkan ketangguhan kalian.
Kau
memiliki persaingan dengan kawan yang juga lawanmu, kau memiliki persaingan
setiap kali bertemu, bahkan tak hanya dengan kawan yang menjadi lawan, juga
bersama seorang yang terdekat dikeseharian. Entah itu saudara. Orang tua. Atau
sepupu belaka.
Namun
kayuh sepeda terlanjur terus bergulir, berjalan bergantian. Mendorong roda-roda
tetap bergerak membuatmu maju diantara pohon-pohon ditengah belantara milik
makhluk-makhluk hidup yang bersembunyi di dalam semak lantana dan belukar raya.
Mereka memandang, dan hanya memandangmu dari kejauhan saling berlomba adu cepat
dengan kaki-kaki yang keras. Jantung yang terus memompa. Dan aral melintang
terjal yang selalu kau libas. Hewan-hewan akan terperangah dan bersembunyi
diantara dedaunan melihat dua anak manusia gila yang menerobos setapak
belantara.
Satu
kali kau melewati bebatuan, satu kali kau melewati pasir-pasir dan lempung yang
memaharaja. Namun tiada yang bisa menghentikan, beberapa hewan akan menyingkir
penuh sukarela, mereka terlalu takut menghalangi jalan, jalan untuk mereka yang
bernyali menantang, menantang hamparan tempat yang mana tak siapapun dapat
mengenali setiap rintangan, bahkan dua kawan ini sekalipun tak pernah tahu apa
yang ada di dalam belantara, dan sama sekali tak tahu – bahkan tak mengerti –
apa yang akan dihadapinya kemudian. Barangkali bebatuan sungai, barangkali arus
sungai yang liar, atau ular-ular jatuh dari dahan-dahan. Tak ada yang tahu
pasti, namun mereka tetap mengayuh tanpa sekalipun memperlihatkan raut pasi.
Hujan
lebat, disisi belantara, hewan-hewan bersembunyi dan angin mendung menyerempet
wajah dua kawan. Kini mereka diam pada setapak, melihat hujan yang deras disisi
yang lainnya, dari kejauhan hujan itu seolah tak ada itikad baik untuk berhenti
sementara. Namun diatara mereka berdua tak ada yang berkata untuk mundur
selangkah demi langkah.
Hewan-hewan
telah bersembunyi disetiap celah lahan, tanah-tanah kembali dihuni oleh mereka
yang melata, goa-goa dihuni para srigala, dan dahan-dahan diisi oleh mereka
yang mamalia. Namun dua kawan hanya bermodal sebuah sepeda, tanpa penutup
kepala apapun, dan hanyalah kulit yang masih setia membalut badan mereka.
Hujan
tak akan berhenti, namun maju dengan iringan angin membahana, sedikit demi
sedikit maju pada mereka, seolah mengejar siapapun yang berdiri menantang alam,
berdiri hanya menatap, siapa yang terlebih dahulu akan menerobosnya dan tetap
bisa bertahan disisi belantara yang telah reda.
Atau
mungkin, Hujan itu sendiri sebetul-betulnya tiada.
Andika W. Putra

0 komentar