Serial Ini Mengubah Industri Televisi Amerika Untuk Berabad-Abad Kemudian.
September 27, 2018Memang tidak bisa diindahkan jikalau Televisi memiliki medium yang jelas sangat berbeda dengan sinema, bioskop. Katakanlah. Orang yang menonton serial televisi pun bukan seorang cinephile yang sering anda jumpai di teater-teater bioskop twentyone, misalnya. Atau yang sering berdesak-desakan di bioskop indie, dan khusyuk mendengarkan ceramah dan kesombongan pribadi dari filmmaker setelah acara pemutara usai. Mereka adalah orang-orang yang hanya ingin bersantai, dan melupakan peliknya dunia sekitarnya dengan menonton televisi dan berharap bisa hanyut di dalamnya. Setidaknya begitulah gap antara penggila film di Amerika sebelum tahun 90-an dengan setelahnya. Sekarang bahkan para cinephile tau serial tv yang sedang hype, atau kebalikannya orang awam paham apa jenis film yang berkualitas-dalam hal ini secara kisah dan pembawaan. Netflix salah satu medium yang belakangan gencar merobohkan sekat-sekat itu sama sekali. Bahkan invasinya sudah sampai di negara-negara Asia. Setidaknya begitu yang terjadi hari ini, namun serial tv Amerika sebelum masa itu tak jauh berbeda dengan serial telenovela di Amerika Selatan, atau bahkan Spanyol yang sampai sekarang tetap monoton, malah. Dan saya sedang membicarakan keberanian eksperimentasi mereka terhadap kisah itu sendiri yang kemudian membuka pasar baru dan selera baru yang beragam ruah. Saya sering bayangkan bila serial Amerika masih mempertahankan gaya jadul yang layaknya telenovela bergaya family sitcom di Amerika Selatan sana, mungkin hanya menyasar golongan orang-orang tua, dan tidak menyasar pasar anak-anak muda yang mana hari ini, lebih kritis dan lebih terbuka pada setiap genre berkisah atau style bahasa visual yang beragam, dengan bantuan internet, mereka bisa menolak paham pakem yang membosankan milik generasi sebelumnya, untung-untung generasi tua belum mati, entah apa yang terjadi kalau generasi tua musnah sama sekali dan generasi muda tak mau nurut lagi dengan kemauan industri, satu hal yang mulai tumbuh akibat hal itu hari ini contohnya, berjalan dan tumbuhnya industri musik indie yang menjauhkan diri dari nilai komersil industri musik mainstream, namun perlahan tapi pasti dengan bermodal kualitas basis fans terus bertumbuh dan mungkin dalam waktu dekat bisa bersaing, juga ini pun berlaku di kalangan anak muda Indonesia sekarang kalau kita lihat. Tapi semua ini harus kita apresiasi, David Lynch tersangkanya. Seniman Surrealist Americana, yang sering mengingatkan saya dengan maestro avant garde tahun 40-an, Maya Deren ini, secara terang-terangan membuat serial tv surreal ditengah pasar kapitalis yang tak peduli asal laku. Lucu memang. Maksud saya, mereka bahkan tidak perduli dengan sinematografi. Adalah kasus yang sama dengan telenovela atau serial tv mainstream lainnya yang mana mereka tidak perduli dengan segala aspek yang penting menjual. Apa yang dilakukan David Lynch dalam Twin Peaks adalah berkisah dengan gambar ke gambar. Bahkan dialog pun ia absurd betul-betul. Sepanjang karirnya yang saya ikuti dari Eraserhead sampai Twin Peaks: the return, David tidak pernah kuat dalam dialog, dalam artian orang awam sukar mendengar dialognya bahkan kadang tidak mengerti sama sekali. Dia membuat dialog layaknya puisi kadang kala, di satu show bernama Rabbit. Di lain waktu kemudian, ia membuat dialog bak trivia penuh teka-teki di film Inland Empire. Namun apakah segampang itu. Ya, jikalau si orang sudah memiliki reputasi, namun reputasi saja tak cukup untuk melawan Industri, David sendiri bahkan dibunuh di film adaptasinya, Dune. Yang bahkan satu kali ia pernah berkata, "lewat film itu, saya merasakan dua kali kematian." Tapi beruntunglah skenario yang ia kerjakan tidaklah sendiri, dan tidak juga ia sutradarai sendiri. Ia mengerjakan skenario bersama Mark Frost salah satu orang kuat di Industri film Amerika saat itu yang mempermudahkan jalannya untuk berinovasi. Twin Peaks sendiri berkisah tentang seorang gadis bernama Laura Palmer yang dibunuh oleh entah siapa, dan dari sana dimulailah penyelidikan oleh seorang agent FBI bernama Dale Cooper. Yang mana diakhiri jawaban yang begitu ambigu. Mengherankan memang mengapa sebuah serial tv yang nggak jelas seperti ini bisa menjadi salah satu serial tv paling laris sepanjang sejarah pertelevisian Amerika. Jawabannya adalah ia menawarkan beragam hal, penonton akan ditantang untuk penasaran, penonton akan ditantang untuk menanyakan. Dan tentu seperti pada umumnya di masa itu, penonton juga akan dapat ceramah secara verbal, yang mana hampir hilang sama sekali di serial tv hari ini. Semua hal dalam penyelidikan yang mana berisi: sub plot, multiple realities, realis magis. Karakter Dale Cooper adalah karakter yang logis berdasarkan pengalaman spiritualnya bukan sebagai seorang yang logis dalam hitung-hitungan seperti orang yang menyanggah betul soal menyoal kehidupan gaib, bagaimana ia begitu percaya bahwa mimpinya akan menemukan jawaban atas kasus Laura Palmer. Bagaimana sosok gaib seorang raksasa di dalam kamar hotelnya akan menuntunnya pada siapa si pembunuh sebenarnya. Bagaimana ia hanya percaya jikalau menyelami alam bawah sadarnya seperti pengalamannya yang pernah berkunjung ke Tibet satu waktu adalah cara yang ampuh pada akhirnya. Sedikit terlalu angkuh memang, tapi justru itulah yang membuat karakter Dale Cooper digemari orang-orang Amerika. Tentu saya harap anda tidak menganggap budaya Amerika adalah budaya yang logis sampai mati yang tak percaya Horror sama sekali. Namun apapun itu, yang terakhir adalah bahwa aktor-aktris yang terlibat tidak diberi kebebasan oleh para sutradara. Sedikit diktator memang, sementara sitcom di televisi Amerika saat itu begitu membebaskan para pemeran di dalam set dan bahkan mungkin, mereka bisa melakukan hal-hal spontan kapan saja inilah yang menyebabkan kualitas Twin Peaks berada diatas semua jenis tv series seangkatannya. Tapi selain itu yang terpenting adalah bahwa Twin Peaks tidak meninggalkan konflik yang memang sudah biasa dan digemari pada saat itu, ialah konflik keluarga. Saya katakan sebelumnya bahwa sitcom dan tv series Amerika era 70-80-an didominasi oleh kisah tentang keluarga, dan kadangkala malah romance tinlit. Lynch tidak meninggalkan semua itu, tentu saja, yang mana dari sana mayoritas audience akan mendengarkan duduk manis seperti biasa sebelum di hantam luar biasa oleh tim produksi Lynch/Frost selama dua musim berturut. Sinematografi adalah kunci terakhirnya, Lynch menawarkan aspek sinema seperti; emptiness, depth of field, ambiguitas-guna membuat penonton penasaran yang khas sekali dipakai oleh film-film horror contohlah, The Shining karya Stanley Kubrick. Belum lagi ditambah dengan akting yang dikarenakan pemain tidak diberikan kebebasan, mereka tak mampu akting dengan serampangan seperti tv series pada masa itu, yang walaupun cerita menarik, mungkin orang-orang sudah muak dengan gaya akting begitu-begitu saja. Dan bagaimana editing menentukan dimanakah sang karakter berada, misalnya jika Dale Cooper sedang berbicara dengan seseorang dengan suara yang begitu reverse seolah terengah-engah, maka itu adalah Red Lodge, atau dalam arti aspek suara ditempatkan pada tempatnya sesuai dengan kaidah sinematik yang berlaku. Yang tentu saja membuat tv series yang awalnya harus sekedar jadi dan tak mau tahu, kini menjelma menjadi tv series berkategori Art Cinema bahkan di musim ketiganya saya bisa berkata, adalah selayaknya karya eksperimental.

0 komentar