Kisah Terowongan Tua

September 18, 2018


Stalker (Andrei Tarkovsky, 1979)

Kereta kini telah melaju tak lama sejak pagi tadi, guna menuju stasiun terakhir di daerah pusat pulau Jawa, dan pemuda itu terbangun ketika mentari nampak telah menyingisng di ufuk timur, dimana laju si kereta terdengar begitu mengguncang dan nampak sedikit cepat, sesekali melewati jalanan raya tempat mobil-mobil, dan orang-orang berlalu lalang. Sebuah momen singkat yang selalu akan kau temui untuk sekedar melihat orang-orang berjajar membiarkanmu melewat di atas rel untuk melanjutkan perjalanan; mereka berbaris di belakang penghalang jalan, memandang si kereta berlari kencang, mungkin kurang dari satu detik di tempatmu terduduk, kau akan melihat lelaki berjaket hitam diatas jok motor bebeknya, membonceng seorang gadis yang entah siapa, mungkin istri, anak, atau pelanggan ojeknya; seorang sopir setengah mengantuk di jok kemudi mobilnya, dan kau sekilas melihat dua orang anak berpakaian sekolah tengah bercanda ria di bangku belakangnya, lantas kau akan bertanya dalam kepala, apakah si sopir itu ayahnya, atau dua orang anak itu adalah anak dari majikannya, atau justru adalah anaknya sendiri; seorang tukang becak renta pun kau lihat tengah menunggu diantara desak roda empat dan roda dua, menahan dengan kaki-kaki tua yang nampak reyot itu untuk berjuang dalam desak aroma knalpot yang mengeluarkan asap-asap mengepul hitam. Dahulu mungkin ia tak pernah berada dalam situasi yang sama, kini segalanya telah berubah, orang-orang memilih mengotori udara perkotaan ketimbang berjalan kaki, atau menaiki sepeda. Atau menjadi pelanggan si pria tua renta.
            Seorang kawan berkata hal tersebut pada si pemuda di sebuah gerbong pada bangku 5 A, ia duduk menghidap jendela keluar, dengan hanya berselimutkan jas almamater kampusnya, seraya memandang dari sudut sempit kereta pada mereka yang tengah berhenti sejenak oleh laju mesin-mesin beroda besi. Keadaan kereta membuatnya bosan sekali, sebab tak ada yang lebih menarik daripada hanya duduk di bangku menunggu stasiun tujuan terakhir yang akan dia datangi. Seorang kawan di Universitas yang telah lama tak ia temui berkata agar, menulislah di dalam gerbong kereta seraya mengisi waktu untuk membunuh waktu.
            “Kau akan bertemu orang-orang menarik, mungkin kau bisa menuliskannya sekedar untuk menolak bosan.”, katanya pada satu siang, “Orang-orang sering melupakan segala hal yang tak penting, dan hanya akan mengingat segala sesuatu yang ingin diingatnya saja, sesudah beranjak dari stasiun utama, mereka yang berpergian seorang diri, hanya memilih untuk diam dan tak melakukan apa-apa sebab orang-orang akan lebih ingin tidur membunuh waktu, mempercepat waktu guna segera menuju tujuan mereka. Bahkan mereka yang berpergian bersama kekasih, kawan, atau keluarga, hanya akan mencari-cari topik tak penting yang barangkali tak harus diperbincangkan juga.”
            Orang-orang hening tak bersuara, hanya decit gerbong yang membahana, beberapa deret bangku seakan melompong tak berguna, barangkali di beberapa bangku yang saling berhadapan itu hanya satu saja yang diisi di dekat jendela. Siapa juga yang hendak berbicara pada orang-orang asing, siapa juga yang ingin berbicara pada seseorang yang baru ia kenal. Ada seorang gadis yang tertawa-tawa dengan entah siapa di satu bangku di dalam gerbong yang sama. Seorang pria tengah sibuk membaca sebuah buku, sepertinya sebuah kitab suci, seraya seisak tangis sesekali terdengar darinya, di beberapa bangku di belakang si gadis yang tengah terbahak pada entah siapa, di belakangnya lagi samar-samar seorang wanita yang sedang sibuk berdandan dengan kaca kecil dan pupur yang sedang ia sebar di wajahnya, bergantian dengan gincu merona merah yang ia oleskan di kedua bibirnya, dia nampak ayu dengan hal-hal semacam itu, hanya saja guratan panjang di bawah lengannya sedikit mengganggu pesona si wanita dimata si pemuda.
Pemuda itu menuliskan segala hal tersebut dalam catatan kecilnya, tentang segala sesuatu yang ada di hadapannya, sekedar membunuh waktu sesuai saran si kawan lama. Menulis tentang seorang ibu yang sedang bermain dengan anak-anaknya, seorang anak yang bermain bola di pinggiran kota, atau bahkan sebuah kecelakaan tragis di pinggiran rel kereta, semuanya ditulis di atas kertas di buku yang ia bawa, dan entah sudah berapa lembar ia habiskan untuk hal-hal sepele yang di tulis secara cuma.
            Sementara seorang pria tua itu datang dari ujung gerbong dengan pakaian jas lusuh dan kemeja yang kusut, sesekali noda dan beberapa sobekan menghiasinya. Seraya menggerutu tak tentu, orang itu jelas adalah orang asing, kulitnya kuning dan si pemuda dia adalah turis dari negeri lain yang tersesat di gerbong ini, sementara tak ada siapapun yang paham bahasa si pria tua itu. Dan cahaya matahari sekejap menyinari satu sisi wajahnya aku bisa melihatnya dari kejauhan si pria yang nampak pucat dengan rambut sedikit acak serta mata sayu nya itu dengan liar mencari-cari tempat duduk – atau seseorang? – yang tak terisi terutama pada bangku di dekat jendela, mungkin ia mencari nomor tempat duduk sesuai tiketnya pikir si pemuda. Dan kebetulan saja di bangku yang berhadapan dengan si pemuda pun nampaknya kosong tak terisi, mungkin nanti si penghuni datang dari stasiun selanjutnya, atau bahkan tidak ada sama sekali. Namun si pria tua sekejap duduk di hadapannya, mata merah seperti tak lagi dapat tertidur setelah sekian lama itu memandang ke arahnya. Dengan nafas tersenggal-senggal.
            “Tidak ada, tidak pada bangku ditempatku, tidak pada gerbong ini, atau gerbong lainnya. Membuatku tersadar bahwa aku sudah kehilangan mereka.”, nampak wajahnya tengah dipenuhi oleh keringat yang mengucur dari sela-sela rambutnya. “Matahari pun ternyata sudah terbit ketika aku tersadar akan hal itu.”
            Si pemuda hanya menatap si pria tua dengan tatapan yang sedikit terkejut, nampaknya si pria tua itu tengah mengajukan permintaan saran padanya atas kebingungan yang mendera, namun ia pun tak tahu apa saran yang harus disampaikan terhadap si pria tua – yang entah siapa – yang duduk dengan nafas begitu memburu dihadapannya, berusaha menenangkan diri namun nampaknya begitu sulit.
“Akan ada hari esok tuan, akan ada waktu, dan sesuatu yang anda maksud mungkin tertinggal entah dimana, mungkin hilang entah bagaimana. Dan itu mungkin bisa anda temukan lagi satu saat nanti tuan.”, ujar si pemuda, “Lagipula kereta telah melaju sedemikian kencang, nampaknya akan segera memasuki area persawahan, kemudian pesisir pantai, dan terowongan panjang. Tak mungkin untuk berhenti mendadak, bahkan jika tanpa stasiun seperti sekarang.”
            “Kau tak mengerti anak muda.”, ujar si pria, “Dia berkata untuk menunggu, hanya saja waktu terus menuntut diriku agar segera meninggalkan pekarangan rumah saat itu. Aku takut, dan sebenarnya aku pun tak ingin meninggalkan rumah yang kubuat dengan jerih payah tanganku sendiri. Lee dan Maya, aku mengajak mereka untuk ikut naik ke dalam mobil namun istriku hanya berdiam dan memilih tak beranjak dari kamarnya. Tapi, lagipula, itu adalah pilihannya.”
            Si pemuda hanya diam sejenak memandang ke arah pria tua yang terus tersenggal dengan rasa keputus asaan yang telah berada di ujung tanduk itu. Sekali waktu dia dapat melihat kegeramannya disalurkan sendiri melalui kepalan tangan yang dihantam-hantamkan ke arah bangku kereta yang sedang ia tempati sekarang.
            “Orang-orang selalu memiliki pilihannya sendiri tuan, mereka hanya selalu ingin melihat apa yang ingin mereka lihat saja; seorang gadis, yang juga adalah seorang kawan lama pernah berkata seperti itu padaku, di suatu pagi sebelum bulan Mei, aku bertemu dengannya di gerbang kampus, dan nampaknya tak ada yang berubah dari penampilannya; tentang rambut hitamnya yang sebahu, dan celana jeans yang menjadi ciri khasnya. Setelah sekian lama, sungguh menyenangkan ketika kami bisa kembali bersua, dan nampaknya memang kita berdua sedang ingin saling bertemu setelah sekian lama waktu berlalu. Adalah satu-satunya alasan mengapa kita bisa berada di tempat yang sama dan di situasi gejolak yang serupa.
            Orang-orang selalu berkata itu adalah suatu kebetulan, tapi tidak, kami berada di tempat yang sama di dalam situasi yang sama, aku anggap wajar hal itu terjadi, karena memang seharusnya kelak entah kapan pertemuan itu akan kembali terjadi, dia sedikit banyak menelepon di beberapa waktu, mengobrol tentang banyak hal, dan kita saling mengetahui bahwa kita berdua dalam satu sisi yang sama. Andai hal itu juga terjadi pada istri anda, aku yakin seseorang akan mengerti apa yang sedang anda rasakan sekarang.”
            Pemuda itu tak tahu apakah si pria tua itu mendengarkan ucapannya atau tidak, namun sejauh yang ia lihat nampak kini pria itu sedikit tersenyum pada akhirnya, setelah beberapa saat belakangan selalu murung dan terus menggerutu geram, “Dia itu, hanya tak ingin aku membawa Lee dan Maya pada pagi harinya,” jawab si pria tua, “ berusaha membujuk diriku untuk tetap tinggal, dan tak pergi kemana-mana. Orang-orang akan menghakimi orang-orang lain yang kini tak sewarna dengannya, kata dia. Sehingga kami hanya berdiam di dalam mobil untuk beberapa saat sebelum melintas berusaha menembus ke dalam kerumunan orang-orang yang tengah dibakar amarah.”
            “Sebelum akhirnya mereka melempari kami dengan bebatuan ditengah kota yang sedang riuh oleh penolakan, melihat mural-mural di dinding sepanjang jalanan dan segala macam isinya yang dipenuhi oleh hujat-hujatan, mobil terbakar dan roda ban tergeletak dengan api membara di lapisannya, hingga kemudian sekelompok orang itu sekejap menghancurkan kaca bagian depan dan bagian belakang mobil kami. Lee dan Maya, aku tak sempat melihat wajah mereka yang duduk di bagian belakang, mereka berteriak menangis meminta tolong padaku, ketika disaat yang sama kaca mobil di hadapanku pun telah lantak.
“Entah apakah itu terjadi pada pagi ini? Atau kemarin? Semua orang disini tak ada yang pernah mau menjawab dengan pasti tentang kapan itu terjadi?”, si pria tua itu nampak berkata lirih padanya.
            “Entahlah tuan,” si pemuda memandang pada hamparan sawah yang diiringi racau mesin-mesin yang tengah bergejolak di bawah telapak kaki mereka. “Aku pun tak tahu, dan sejauh yang aku tahu bahkan aku sendiri hampir kehabisan kertas di dalam buku ini, entah berapa lama lagi waktu yang harus ditempuh untuk menuju stasiun pemberhentian terakhir, sebab sebelum hari itu, dia pernah berkata akan bertemu denganku disana.
            Hanya saja bila aku bisa, aku ingin kembali ke Universitas, mengajaknya kembali untuk pulang masuk ke dalam rumah masa kecil kami, bermain keong atau permainan-permainan lainnya semacam ular tangga dan sejenisnya, hanya kita berdua, membalikan memori tentang segalanya yang tak lagi terulang sejak masa remaja, daripada harus menghadapi segerombol pasukan yang mengepung Universitas ku pada hari itu. Namun aku yakin hal itu seharusnya tak akan pernah terjadi.”, si pemuda mengelus-elus dadanya, sebuah kemeja yang nampak bolong-bolong dan robek di balik jas almamaternya.
            “Sampai beberapa saat yang lalu, aku ingin Tuhan tak pernah mengabulkan do’aku di masa lampau,” tambah si pemuda kemudian, “ dan andaikan itu terjadi, dia tak akan menunggu ku di stasiun berikutnya; andai itu terjadi, aku tak akan mau menghabiskan seluruh lembar kertas dalam buku ini; andai itu terjadi, anda mungkin masih akan berada di rumah anda yang nyaman bersama istri dan anak yang setia menanti.”
            “Aku tak ingin mengindahkan hal-hal seperti itu nak, sebab sejauh apapun aku menyalahkan segala sesuatunya, aku tetap selalu ingin kembali pada istriku setiap terbangun pada pagi hari, kembali di waktu yang sama, dan berdiam di dalam rumah menonton televisi dan mendengarkan lagu keroncong lama tanpa secuil ketakutan dan marabahaya di sofa-sofa yang empuk bersama anak-anak kami,” balas si pria tua, “Lagipula aku tak menemukan mereka berdua ada di dalam gerbong ini, seseorang pasti telah mengambil mereka di pagi hari tadi, atau kemarin, atau dahulu kala, ketika sekelompok orang menghancurkan mobil kami.
            Namun selalu saja aku teringat saat senja ketika Lee pertama kali terlahir di ruang persalinan itu, membuat aku bersyukur pernah bertemu dan menikah dengan istriku, dan itu tak terbantahkan lagipula.”
            Mereka terdiam untuk waktu yang cukup lama, hingga tersadar bahwa matahari perlahan sedang terbenam di ufuk barat; lautan memantulkan cahaya jingga, seraya ombak tarasa hening dan hampa, begitu tenang; sebuah trowongan telah nampak di depan mata.
            “Aku tak lagi berharap untuk kembali dengan segala sesuatu yang sama tuan. Aku tak ingin meninggalkannya sendirian lagi,” ungkap si pemuda setelah beberapa saat membisu pada si pria tua, “Setidaknya itu yang aku inginkan, setelah aku bertemu dengannya di gerbang stasiun kelak.”
Namun nampaknya si pria tua itu telah tertidur di atas bangkunya, terpejam matanya dalam mimpi-mimpi serta dengkuran yang jinak, mengakhiri percakapan diantara dia dan si pemuda.
            Kini kereta itu akhirnya melintasi terowongan tersebut, sebuah terowongan tua yang sangat gelap, dan perlahan segalanya menjadi begitu senyap.


Andika W. Putra

You Might Also Like

0 komentar