Merah

Oktober 01, 2018


Photo by Leonard Cohen

“Kau bisa melakukannya, Harris. Kenapa kau tidak mau melakukannya untukku?”, tanya kakek, dengan cerutu yang masih mengepul dari mulutnya. Kursinya bergoyang dengan tempo yang sama berulang-ulang, tepat disamping jendela menghadap pekarangan.

“Tidak bisa, aku tidak bisa melakukannya, kau tahu kenapa,” kurasa nada bicaraku sudah mulai naik sekarang. Namun kakek hanya merengut kesal, memandang ke arah luar.

Dia sudah berumur hampir sembilan puluh tahun. Dan walaupun begitu, badannya tetap bugar seperti pria berusia tiga puluh tahun atau sebelumnya, malah. Tapi seperti kebanyakan orang tua lainnya diluar sana, semakin kau menua, semakin kau merasa – atau orang-orang setidaknya merasa – bahwa kau akan semakin mendekati sifat seorang anak kecil lagi. Itulah yang terjadi sekarang, walaupun ia bugar, tidak pikun, dan bahkan masih sanggup menghisap cerutu yang mana bagiku, seorang pemuda yang masih diusia tiga puluh tahun-an tidak mampu melakukannya. Dia lebih terlihat seperti anak kecil, lebih dari siapapun di keluarga kami. Namun kami masih menghormatinya, selayaknya orang tua pada umumnya, memang itu yang seharusnya dilakukan oleh mereka yang merasa masih muda.

Tidak jarang, hal-hal aneh yang ia utarakan harus dituruti oleh mereka yang muda, seperti satu hari kami harus mencabuti semua rumput dihalaman rumahnya hingga habis tak tersisa, bahkan satu helai pun tidak boleh tersisa. Sepertinya gampang, itu yang ada di benak kami, hingga kami melakukannya, itu tak mudah, akan tersisa, satu potong, atau beberapa helai yang masih menancap walaupun itu sebenarnya sudah kasat mata, bagi kami, namun tidak bagi kakek. Jika itu yang terjadi, kami akan terkena omel karenanya, sebab kata seorang adik perempuanku yang bungsu, kakek pernah memiliki kenangan buruk tentang rerumputan, bahwa pada suatu pagi buta ia menemukan anjing kesayangannya terbunuh diantara rerumputan, dengan darah yang mengalir diantaranya. Tidak tahu siapa yang melakukannya.

Seperti halnya bunga kamboja pula, seorang adik perempuanku – adik pertama, anak kedua lebih tepatnya – pada suatu hari, pernah membawakan bunga kamboja untuk hadiah ulang tahun kakek. Berharap satu hari bisa di pajang di salah satu sudut ruang di rumah tuanya. Dan ketika itu, ia mengucapkan terimakasih kepada semua cucunya karena telah memberikan hadiah dengan senyum sumringah diantara wajah keriputnya, namun tidak dengan adik perempuanku yang memberinya bunga kamboja, ia hanya menerimanya tanpa ekspresi, berjalan ke halaman, dan membakarnya saat itu juga. Konon dan ia pernah bercerita pada salah satu dari kami, pada adik perempuanku yang bungsu, bahwa seorang kawannya di masa lalu terbunuh akibat gejolak konflik di Kamboja. Dan hal itu membuatnya phobia dengan apapun yang bertajuk “kamboja”, bahkan bila itu bunga yang indah sekalipun, dan tak ada hubungannya sama sekali.

Dan kini, sudah beberapa hari ia menginap di rumahku, keluargaku sedang berlibur ke luar negeri, menghabiskan hari libur akhir tahun untuk beberapa hari, isteri dan anak-anakku, sementara aku tetap berada disini, mengerjakan beberapa pekerjaan yang tertunda, beberapa tumpuk pekerjaan yang belum aku selesaikan di kantor sebelum liburan terpaksa aku bawa, dan dengan syarat, harus selesai tepat waktu tiga hari di awal tahun, sehingga ketika adik perempuanku yang bungsu menghubungiku untuk merawat kakek, sebenarnya aku keberatan, ditambah kedua orang tuaku sudah meninggal, lantas tersisa hanya diriku bersama dua saudari yang sudah jarang bertemu, sibuk dengan pekerjaan, dan urusan keluarga masing-masing.

Namun mengingat diantara kita bertiga, hanya adikku yang paling muda yang selalu setia merawatnya, selagi adikku yang pertama sibuk dengan karirnya di luar negeri. Aku rasa tidak ada salahnya memberinya waktu berlibur hanya untuk beberapa minggu, aku pun mengiyakan dengan semacam keterpaksaan. Sebab, masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan dengan menggunakan komputer di rumah bersama beberapa dokumen yang menumpuk. Aku jelas tidak bisa menghabiskan berhari-hari liburan tahun baru sepenuhnya hanya berdua bersama kakek di rumah tuanya yang reyot. Membawanya ke rumahku sendiri adalah satu-satunya hal yang mungkin terjadi.

“Aku tidak tahan melihatnya, kau harus menyingkirkannya,” ujar kakek. Menghisap cerutu disamping jendela, dengan tubuhnya yang sedikit bongkok, “Aku akan pergi jika kau tidak melakukannya.”

“Tidak. Aku tidak mungkin menyingkirkan semua barang ini hanya karena mereka memiliki warna merah di permukaannya,” balasku.

Beberapa barang dirumahku memang didominasi oleh warna merah, sampul buku, case komputer, smartphone, jaket, sweater, bahkan beberapa ruangan di rumah ini juga didominasi oleh cat berwarna merah terang. Bukan salahku itu terjadi di rumah ini, karena aku, anak-anak dan isteriku memang menyukai warna merah yang mencolok, kata mereka, itu warna yang memotivasi kehidupan. Setidaknya alasan itu dapat kuterima. Membuat keluarga kami seolah tanpa sadar begitu idealis dengan hal-hal semacam itu.

“Kau tahu aku tidak menyukai warna itu, apa kau pernah melihat warna merah dirumahku?” tanya dia sedikit sewot rupanya, memandang sinis ke arahku dan kembali berpaling ke jendela.

Aku tidak membalas sejenak pertanyaan itu, memang aku tidak pernah melihat apapun berwarna merah dirumah tuanya. Tapi, aku benar-benar tidak pernah menganggap serius soal ketakutan kakek terhadap warna merah, dari semua phobia yang pernah ia idap, seperti rumput, dan bunga kamboja, warna merah adalah satu-satunya hal yang konyol. Konon, ketika ia masih muda, sekitar usia enam belas tahun, saat masih bersekolah di ibukota, seorang siswa di sekolah rakyat sering menjahilinya, satu orang yang sering kakek gunjingkan tentang kenakalannya kala tidak ada satu pembicaraan yang harus diperbincangkan, topik si anak nakal itulah yang akan membuatnya bisa tetap terus meracau.
Ia pernah berjalan menuju sekolah pada suatu pagi, belum ada aspal kala itu hingga perkotaan ibukota nampak seperti pedesaan dengan pepohonannya yang asri, dan si anak nakal ada di ujung jalan, tepat pada jalur yang akan dilewati si kakek. Dia adalah seorang pendiam kala masih di sekolah rakyat, maka si anak nakal sangat gemar untuk menjahilinya, ketika ia melintas, si anak nakal menjegal kakinya, hingga tubuh kakek terjatuh kedalam tanah yang masih serupa lempung, sebab hujan semalam lalu. Membuatnya menangis dan tak berani kembali ke sekolah untuk beberapa waktu. Dan konyolnya, warna merah selalu mengingatkan warna tubuh pensil yang selalu di pakai si anak nakal kala menulis di dalam kelasnya. Kelas yang sama dimana kakek juga berada.

Aku sempat tertawa karena cerita itu, maksudku, itu kenangan masa kecil, kurasa semua orang akan memaklumi kesalahan anak kecil seperti kau memaklumi keselahanmu atau kejadian konyol yang pernah kau lakukan ketika masih beranjak sepuluh atau sebelas tahun, dahulu. Namun kakek adalah pengingat yang jitu, dia tidak akan melupakan kejadian yang pernah membuatnya meringis hati.

“Aku tidak akan membuang barang-barangku sendiri kakek, tidak akan pernah,” ujarku padanya.

“Terserahlah,” balas dia.

Sehari atau dua hari setelah itu aku berusaha tidak memperdulikannya walaupun berkali-kali aku dimarahi olehnya. Hingga satu hari ketika malam tahun baru, tiba-tiba dia menghilang. 

Malam itu kakek tidak ada di dalam rumah, aku yang masih sibuk bekerja di ruang kerja pribadi mengerjakan beberapa tumpuk pekerjaan sembari berharap: bisa selesai dengan segera kala tahun baru tiba dengan mentarinya yang muncul pagi hari nanti, harus tertunda. Dengan mobil sedan, aku mencarinya, kota tengah begitu riang dengan gegap gempita kembang api yang menyala-nyala, kota sedang riuh kala itu, sial, akan sulit bila mencarinya dengan kondisi jalanan padat seperti ini. Hingga jam dua menjelang tiga pagi, aku belum bertemu dengannya. Dan ketika aku sampai pada satu persimpangan di sebuah perumahan yang cukup elit, aku melihatnya, berada di sebuah taman yang cukup luas, namun kosong. Ia mencerabuti rerumputan di tanah halaman perumahan tersebut, dan aku taksir saat itu, karena ia tak betah dengan semua yang nampak dihadapannya.

“Apa yang sedang kau lakukan disini?” tanyaku, “Ayo kita kembali kerumah, sudah pagi. Orang-orang akan memarahi kakek bila melihat taman itu dirusak.”

“Tidak, aku tidak mau pulang,” jawabnya dengan suara parau. “Bagaimana orang-orang bisa bertahan hidup dengan cara seperti ini, rumput ini sungguh mengganggu, orang-orang sudah gila sepertinya.”

“Tidak, taman ini lebih indah bila ditumbuhi rumput,” aku memegang lengan kakek segera, langsung mengajaknya bangkit dan memapah tubuhnya yang sedikit bongkok berjalan perlahan menuju mobil.

“Aku tidak akan pulang bila kau tidak membuang warna-warna merah itu.”

Aku hanya menghela nafas, dan mengiyakan dengan semacam ketidak pedulian, yang terpenting ia pulang dan tidak ada seorang pun disini yang tahu rumput taman itu sudah dicerabuti hampir setengah lahan.

Sehari setelahnya, aku tidak memperdulikan ucapanku padanya pagi itu, dan tetap fokus menyelesaikan semua pekerjaan. Hingga tepat pada pagi hari – dan itu adalah pukul sepuluh pagi, tepat satu hari sebelum pulangnya istri dan anak-anakku dari liburan akhir tahun mereka. Aku mencari kakek di setiap sudut rumah, sebab ketika aku terbangun hari ini aku tidak menemuinya sama sekali, ia tak ada di lorong, tak pula nampak di kamarnya, aku hanya terus mencari di setiap ruangan di lantai dua. Hanya saja, memang tidak ada siapapun disana selain diriku sendiri.
Hingga sampai di lantai bawah, di ruang kerjaku mula-mula, membuka pintunya, hanya membuatku lantas membatu. Yang kulihat di dalamnya hanya: barang-barangku sudah lenyap, di dalam ruangan. Tidak ada komputer, smartphone, ataupun semua barang lainnya yang memiliki warna merah di permukaannya. Bahkan dokumen dan sketsa-sketsa proyek yang selalu aku simpan di dalam sebuah map berwarna merah rupanya lenyap juga. Raib begitu saja, bahkan selembar pun tak bersisa. Semuanya lenyap. Aku tidak bisa berkata apapun selain memanggil dan mencari kakek, penasaran apa yang sudah dilakukannya. Di toilet, semuanya kosong, tak ada sabun mandi dengan wadah merah, tak ada sika gigi dengan warna merah, semua yang memiliki warna merah seakan sirna, dan bahkan di ruang baca tak jauh di lorong yang sama, semua buku tercecer berserak di lantai, dan tak ada sama sekali buku yang memiliki warna sampul merah satu pun, seolah lenyap ditelan bumi. Lukisan-lukisan, dan photo keluarga yang memiliki warna merah di dalam gambarnya pun ikut lenyap. Bukan main, rasanya seperti kau tidak pernah kenal dengan warna yang bernama ‘merah’. 

Dan disudut ruangan selanjutnya, tepat di ruang keluarga, hampir semua barang lenyap, sofa, boneka, majalah, hingga karpet, dan buku bacaan anak-anak yang biasa tergeletak disana ikut lenyap. Bahkan, cat tembok yang mulanya berwarna merah kini berubah warna menjadi putih, kuning, orange, hijau, dan biru, dengan semacam kemalasan untuk menggunakan kuas dengan menutupi warna sebelumnya, hingga nampak semuanya hanya berserakan dengan cara menumpahkan semua isi cat milikku yang aku simpan di basement dengan begitu saja ke dinding ruang keluarga, menempel dengan seadanya. Dan aku prediksi hal yang sama, juga akan – dan mungkin sudah terjadi – di kamar anakku, di garasi, dan di dapur.

Kakek meringkuk disudut ruang keluarga, dengan peluh yang membanjiri keningnya, mengalir di segala keriput wajahnya, seraya bernafas dengan begitu tersenggal-senggal, seperti seseorang yang sudah melakukan kerja bakti di komplek perumahan ini. Aku hanya berjalan menuju jendela yang menghadap ke arah halaman, dengan ditemani suara bergemericik yang tiada lelah terus mendera telinga soalnya. Dan itulah, disanalah, semua barang hilang tadi menumpuk, di halamanku, semuanya menumpuk, berserak, dengan balutan api yang membara di pagi hari, begitu menyala terang, membuat diriku tak bisa berkata apapun saat itu juga. Selain meratapi asap hitam mengepul hanya beberapa meter dari gerbang pekarangan.

“Kakek, apa yang kau lakukan?” tanyaku tak berapa lama kemudian, dengan semacam ketidak percayaan.

“Mereka membuatku frustasi, mereka seperti hantu,” jawab dia dengan masih meringkuk di sudut ruang, seperti anak kecil yang begitu ketakutan. “Aku tidak bisa membiarkan mereka terus menyiksaku,”

Aku berjalan ke arahnya dan duduk bersila dihadapannya, dengan kepala tertunduk setengah tak percaya. “Kita bisa menjualnya jika kau mau,” jawabku.

“Kau tidak akan mau melakukannya, aku tahu itu.” Ia memandang tajam ke arahku.

“Kau tahu kek,” aku tertunduk tak lagi menatapnya, menghela nafas panjang, “Aku mungkin sudah kehilangan pekerjaanku sekarang, detik ini. Semua itu, termasuk semua hasil pekerjaanku, aku harus menyerahkannya pagi besok kepada pimpinanku. Dan sekarang, rasanya itu tidak mungkin lagi,” aku melihat ke arahnya.

“Jika pun mungkin aku harus mengerjakannya dari awal lagi, itu akan memakan waktu yang lama lagi. Aku tidak percaya itu bisa terjadi.”

“Ya, itu benar,” balasnya lantas. “Apapun itu, masih ada kemungkinan, masih ada waktu, bukan begitu? dan setidaknya kau masih bisa melakukannya lagi,” kata dia, nampak tersenyum sumringah sekarang, setelah berhari-hari sebelumnya hanya merengut roman di balik jendela menghadap pekarangan.

“Berharaplah Harris, teruslah berharap dan jangan berhenti, sebab sebenarnya itu adalah doa, bagaimanapun juga,” tambahnya.

Aku hanya terdiam, berpindah duduk di sebelahnya bersandar pada tembok dengan cat yang tak tentu rupa dipermukaannya. Selama beberapa saat, menghela nafas panjang dan meringkuk seperti dia, menenggelamkan wajahku sendiri diantara kedua lengan, tak percaya semua ini bisa terjadi, di pagi hari yang nampak cerah dan baik-baik saja, sepertinya. Dengan semacam keputusasaan, aku berharap seseorang dari dua saudariku akan datang dari balik pintu rumah, atau setidaknya menghubungiku dengan segera, pagi ini juga, mengambil alih kakek, dan mengurusnya di rumah reyot miliknya.
Disamping, aku melihat kakek bersandar pada tembok dan nampak sedang khusyuk menyesap sebatang cerutu.



Andika W. Putra

You Might Also Like

0 komentar