Subjektivitas-Anarkis Film Sexy Killers
April 18, 2019Seorang kawan di komunitas yang sama, bercerita dikala kami dari komunitas kajian sinema, Cacophony ID, sedang melakukan persiapan untuk memutar film dokumenter Sexy Killers yang tengah ramai dibicarakan orang-orang dan sekali waktu juga pujian-pujian, sebelum pilpres berlangsung, itu sehari sebelum pemilu dilaksanakan. Kawan saya ini berkisah tentang siapa Dandhy Laksono sang Sutradara yang tidak saya kenali. Dia pernah satu kompetisi dengannya, dan Dandhy konon menjadi juara di kompetisi film yang diselenggarakan di Bali tersebut, serta mengapresiasi kawan-kawan sineas Tasik yang menurut Dandhy saat itu memiliki spirit berkarya yang lebih tinggi darinya, namun keberuntungan belum berpihak pada mereka. “Dandhy ini adalah seorang anti-aturan yang pada satu ketika berkisah, dirinya pernah melakukan sebuah eksperimen di kantornya sendiri dimana ia memasang bendera Nazi dan PKI beberapa hari berturut-turut sampai si Pak Bos datang dan menegurnya bahkan memarahinya”, sebuah kisah yang sederhana, namun menurut saya mencerminkan siapa si pembuat film kontroversial ini. Yang dibuka dengan sebuah babak dimana PLTU dibangun dari tengah kepulauan Indonesia sampai pada Pulau Jawa, menyusuri lautan yang megah dan merona birunya, namun meminta tumbal dari setiap tanah yang disinggahinya; sebuah asap ataukah hanya sekedar pendudukan dengan dinding beton yang melintang disawah dan kebun. Mengusir para petani dari tanahnya sendiri. Bahkan jika mereka tak mau angkat kaki, seolah dengan sukarela pihak PLTU mempersiapkan kuburan di dekat rumah mereka masing-masing. Menyedihkan juga marah. Dalam sudut dramatisasi, film ini menurut saya berusaha menunjukan eksistensi mereka pada model “Cinéma vérité”, dengan ciri khas penggambaran rasa/efek dramatik pada subjek-subjek yang diangkat begitu dalam mampu dieksekusi oleh Dandhy, setiap curahan perasaan para korban PLTU, begitu cepat menggugah kemanusiaan penonton termasuk saya sendiri yang sempat merinding mendengar tangisan para warga sekitar PLTU yang terekam dengan cara sederhana. Belum lagi di babak kedua film ini, kita dusuguhkan sebuah tampilan skema para pemilik saham perusahaan PLTU ini yang ternyata juga dipegang oleh para politisi dari parpol-parpol yang tengah berkontestasi di Pemilu saat ini. Seolah mengolok-olok, film ini membuat kita berpikir; “bajingan politisi yang mengadu domba kita selama ini, menghasut ‘tuk dukung mereka atas dasar kemanusiaan. Justru sementara itu tumbal terus diminta mereka dengan tak pandang bulu kemanusiaan.”
Walau
hanya dihadiri sekitar 10 atau mungkin belasan orang saja di basecamp Komunitas
Cermin Tasikmalaya yang beralamat di Jalan Pemuda, No. 2A. Diskusi perihal
bagaimana film dokumenter ini disajikan cukup menarik, dialog saya bersama kawan-kawan
dari media jurnalistik dan beberapa tokoh kebudayaan di kota Tasikmalaya
menggugah saya untuk membahas bagaimana data-data dalam film ini justru
menimbulkan polemik diantara para pemilih menjelang pemilu yang diselenggarakan
keesokan harinya. Ada sekitar empat atau lima “lubang” dalam penyampaian film
ini yang membuat diskusi malam itu berbeda dari diskusi di beberapa kampus yang
juga diselenggarakan beberapa hari sebelumnya di kota Tasikmalaya, yang
akhirnya hanya menjadikannya sebagai “Tuhan” dari golongan putih yang sedang
dikampanyekan musabab kemuakan terhadap para kandidat yang tak menawarkan
solusi apapun selain main aman. Lubang
itu celakanya justru berada di babak pertama film, yang hampir semuanya
menggiring penonton untuk percaya pada kebengisan pemerintah, berdasarkan
opini-opini warga sekitar yang merasa dikhianati. Seperti PLTU di Batam yang
menurut kesaksian warga belum membeli tanah sawahnya namun telah menduduki
tanah tersebut untuk dibangun PLTU. Atau demo pembangunan PLTU di Jawa Tengah
yang tak ditanggapi, namun menurut Presiden telah diserahkan kepada Pak Gubernur
Ganjar Pranowo. Atau mungkin perihal adanya kemungkinan penggunaan energi
tenaga surya yang seharusnya menurut warga dapat dimanfaatkan ketimbang
membangun PLTU yang begitu mahal. Tanpa melakukan crosscheck dari sudut pandang
instansi pemerintah, atau hukum, atau bahkan pihak yang terkait apalagi pihak
PLTU. Aneh, ketika beberapa kawan yang mengenal Dandhy justru mengatakan, sang
Sutradara ini adalah sekaligus seorang Jurnalis pada mulanya, dengan rekam
jejak seperti itu, ia justru seolah tak mengerti etika Jurnalistik yang bernama
“Cover Both Side” atau bahasa sederhananya “Objektivitas” yang seharusnya bisa
didapati atau setidaknya dapat didekati dengan cara menyuguhkan dua sudut
pandang dari dua pihak yang bahkan berlawanan. Pendapat saya ini kemudian
diteruskan oleh beberapa kawan jurnalis lainnya – tentu tanpa pandang bulu
keberpihakan politik – yang turut pula memprotes film ini sebagai film
Propaganda ala-ala Leni Riefenstahl-nya Nazi kaum Golput ketimbang film yang
berusaha menyorot kemanusiaan yang tengah diinjak-injak penguasa. Jika memang
film dokumenter ini berusaha menyorot kemanusiaan, alhasil, alih-alih membunuh
Pemerintah melaluinya, film ini justru terlebih utama lagi membunuh objektivitas
para penontonnya sendiri.
Sebagai
sebuah retrospektif sederhana dalam sudut pandang sinema tentang bagaimana objektivitas
itu dapat dibangun sebenarnya, saya jadi teringat sebuah film dokumenter
berjudul “Gimme Shelter” tahun 1970 yang disutradarai oleh Maysles Brothers.
Yang merekam bagaimana bengisnya “free concert” Rolling Stones di bagian Utara California, tepatnya di
Altmont Speedway, pada tahun 1969. Sebuah konser yang disepakati sendiri oleh
para personel band The Rolling Stones, untuk bebas sama sekali dari pengawalan
security guard. Dihadiri sekitar 80.000 penonton secara gratis, alhasil konser
itu berujung pada kekacauan juga kekerasan yang semakin menyebar dan meluas.
Memakan beberapa korban jiwa, dan beberapa puluh lagi korban luka. Film yang
juga menjadi tolak ukur pembaruan sinema dokumenter pada masanya ini,
menggunakan teknik yang sedikit nyeleneh, yaitu membiarkan semua yang ada di
hadapan kamera bercerita tanpa perlu sutradara terlibat atau masuk lebih dalam
kepada subjeknya. Ketika konser usai, para saksi mengungkapkan opininya perihal
siapa yang bertanggung jawab, dan hanya muncul satu nama; “Hell’s Angels”,
sebuah klub motor yang disebut sebagai biang kekacauan. Film beranjak kemudian
pada sudut pandang anggota klub motor ini, tanpa banyak interview atau
intervensi voice-over/narasi kepada penonton guna menggiring opini. Para
anggota klub motor ini kemudian hanya menceritakan kronologi kejadian menurut
pandangan mereka. Semacam pembelaan di satu pengadilan terbuka, mungkin. Tapi
impact yang dihasilkan adalah objektivitas yang ditawarkan, film ini tak
menawarkan konklusi apapun, secara hukum bahkan moralitas, namun kemudian mampu
memberikan pilihan dan sebuah gambaran yang jelas. Pada akhirnya penonton yang
menilai semuanya, siapa yang bersalah, dan dipihak manakan Anda kini berada.
Hal yang sama pun terjadi dari film karya Joshua Oppenheimer, yaitu “Jagal”.
Dimana tanpa banyak intervensi Joshua sebagai sutradara terhadap moralitas si
Pembunuh “para anggota tertuduh PKI” ini. Penonton dengan sendirinya dibuat
jijik dengan kelakukan Anwar Kongo dan kelompoknya di daerah tersebut yang
membunuh dengan bengis dan seolah bersenang-senang atas dasar yang beragam,
sentimen bisnis bioskop, dan mungkin sedikit perihal Nasionalisme. Hal ini
mampu dicapai oleh film-film model Cinéma vérité, sebuah protes terhadap seni
dokumenter yang sebelumnya hanya berbentuk bak puisi gambar. Dan mencoba dengan
menekankan diri pada subjek diharapkan rasa juga realitas sinema dokumenter
mampu digalangkan dengan sendirinya. Namun bukan dengan intervensi si
sutradara. Sebuah kegagalan dalam teori ini sebagai contoh, pernah dialami oleh
film “Chronique d’un été” karya Jean Rouch tahun 1961. Dimana dalam film yang
mengandalkan kamera 16mm itu, Sutradara berusaha masuk kepada subjek untuk
mengungkapkan rasa mereka, berkeliling di jalanan Paris, dan menanyai “apakah
dirimu bahagia?” Dan kemudian mengumpulkan beberapa orang dengan ras yang
berbeda dalam satu meja, dan mengarahkan mereka untuk saling mengenal satu sama
lainnya. Lantas walau secara model film ini masuk pada golongan sinema
dokumenter realis, namun secara esensi objektivitas, para kritikus sedikit ogah
untuk menganggapnya sebagai bagian dari model awal sinema dokumenter realis apalagi
sebagai acuan. Walaupun memang, rasa dari model realitas itu sendiri mampu
dihadirkannya secara gamblang. Selebihnya tak berbeda, dari film experimental
sosial yang ada.
Objektivitas
mutlak dalam sinema sejatinya memang sulit untuk diraih, semua contoh tadi
memiliki kadar subjektivitasnya sendiri tergantung jejak kultur dan historis
sosial yang ada dimana film itu diangkat, namun setidaknya subjektivitas mampu
ditekan dan objektivitas mampu didekati dan ditampilkan dalam usahanya untuk
menggambarkan sebuah tragedi, yang mana dapat kita lihat akhirnya membentuk
beberapa opsi bagi para penontonnya, apakah anda ingin berada di sudut kontra
atau tidak. Jika memang film Sexy Killers ini ingin menggapai sebuah kebenaran
yang manusiawi sesuai tematik yang ia angkat, dan jika Dandhy memanglah seorang
Jurnalis, tentu objektivitas seperti ini seharusnya menjadi sebuah tolak ukur
yang ia pikirkan berulang kali untuk menciptakan sebuah karya yang lugas dan
jelas, dan juga setidaknya harus memiliki opsi, tidak melulu hanya soal rasa
apalagi bernaung dalam nama kemanusiaan yang mutlak sesuai narasi demi memikat
simpati publik. Disinilah permasalahannya, idealismenya yang sedikit anarkis terlalu
terlibat dalam Sexy Killers yang celakanya begitu konspiratif. Sebuah kisah
pendek dari kawan saya perihal bagaimana ia menolak sebuah aturan/pola pikir
yang sama dan terkesan begitu rebel. Membuat saya berpikir, adanya kemungkinan
film ini membawa sebuah misi ideologi diluar pembangunan realisme dokumenter
itu sendiri. Dengan momentum yang krusial dimana film ini dirilis dan
diputarkan secara independen dan masif di beberapa daerah. Dengan konteks dan
narasi yang begitu sensitif, seolah tanpa kajian ulang. Saya sedang melihat
karya seorang Michel Moore yang secara bias dipengaruhi oleh keberpihakannya
kepada pergerakan sayap kiri, dan seorang Leni Riefenstahl yang sedang membuat/menghidupkan
lagi poros ketiga dalam skema per-politikan Indonesia dengan waktu yang
terhitung begitu cepat.
Tasikmalaya, 17 April 2019
0 komentar