Peirce Menemani Pria Ini Untuk Mencari Gadisnya

Mei 28, 2019


Burning, Lee Chang-dong (2018)

Dalam teori Peirce, bahwa semua yang ada di alam semesta adalah tanda. Ia mengutarakan dengan bahasanya, bahkan bila itu harus melalui ketidak bahasaan itu sendiri. Ini merajuk pada bentuk seni yang primitive, tarian-tarian sesembahan para Dewa yang dilakukan masyarakat Yunani menyeberangi dimensi manusia pada dimensi batin yang lainnya, dengan cara yang liar dan cenderung dalam bentuk kultus yang tak beraturan, sebelum jika merujuk pada pedapat Nietzsche, terjadi jauh sebelum masa dialektik Sokrates tiba. Dan dalam perencanaan berkesenian semacam itu, sebuah penciptaan harus melalui; Representasi, Objek, dan Innerpretatif. Bagi Peirce ini berarti, dari Representatif itu menuju Innerpretatif berarti sebuah tanda harus melalui pada yang dinamakan, Sintasis, Semantis, (hubungan tanda – acuan) dan Pragmatik (maksud konteks dan makna).
Sepanjang penciptaan itu terjadi, sepertinya apa yang dilakukan Lee Chang-dong sangat mengacu baku pada satu hal ini. Dan semua itu terjalin dalam bentuk hubungan karakter dan ketidak sadaran alam dalam membahasakannya. Burning, adalah adaptasi dari cerita pendek karya Haruki Murakami yang berjudul Barn Burning dalam kumcernya, The Elephant Vanish. Namun walau mengambil setting dan waktu di Korsel, jauh dari gaya bercerita Jepang yang kental di kisah orisinilnya. Burning, dapat mereduksi pemikiran Murakami tadi, dengan gaya semiotic Peirce, dan bila kita membandingkannya dengan semiotic Saussure, jelas ada perbedaan yang mencolok.
 Mengisahkan karakter bernama Jong-soo yang secara kebetulan bertemu kawan lamanya, Hae-mi pada suatu hari. Membuat kedekatan itu terjalin dan Hae-mi membujuk Jong-soo untuk secara sukarela mau mengurus kucingnya bernama Boil di apartemennya, sementara ia pergi untuk berjalan-jalan ke Afrika Selatan. Terdengar sangat mudah kedekatan itu terjalin nampaknya, dan sementara kita seolah membaca Hae-mi yang berusaha memanfaatkan Jong-soo, namun pada akhirnya ternyata mereka bahkan berhubungan intim sebelum kepergian Hae-mi. Namun setelah penantian akan kembalinnya Hae-mi, karakter lain yang begitu misterius datang bersamaan dengan kepulangan Hae-mi. Sosok konglomerat bernama Ben, yang sejak awal, justru nampak memiliki ketertarikan dengan Hae-mi. Sementara Jong-soo tentu cemburu dibuatnya. Hingga pada akhirnya, secara misterius Hae-mi menghilang dan kecurigaan Jong-soo tertuju pada Ben, belum lagi sebelum menghilangnya Hae-mi, dirinya pernah berkisah pada Jong-soo tentang kebiasaannya, membakar ladang milik orang lain.
Film ini banyak menyajikan kebetulan-kebetulan; seperti kebetulan akan kedatangan Hae-mi, kebetulan Boil tak ingin menampakan diri, kebetulan kedatangan Ben, dll. Hal  ini menguatkan film ini pada teori Peirce tentang keberhubungan tanda-tanda akan bahasa yang paling tak terbahasakan. Adanya keterkaitan antar tanda membuat film ini menyuguhkan efek sebab-akibat yang terkesan absurd dan mendekati surreal, terlepas dari kisah aslinya yang ditulis oleh seorang penulis surrealis. Namun bila kita melihatnya dalam kacamata Peirce, maka perjalanan karakter seperti Jong-soo dalam menerjemahkan tanda-tanda yang pernah terlintas dihadapannya sebagai yang pertama adalah Sinsign dalam representative dramaturginya; Nampak dalam bagaimana Jong-soo melihat “membakar” dalam sudut pandang yang natural, sementara kita penonton disuguhkan sebuah kiasan yang mengambang antara naturalism atau surrealism. Bahwa kemudian karakter mengetahui bahwa hobi membakar tadi bukanlah yang ia lihat itu merupakan bagian Objek yang mengambil pada ranah indeks, terlihat bagaimana Jong-soo menyusun berbagai kegiatan keseharian Ben, dan apa yang dikatakan Ben tentang Hae-mi, dapat menyusun pada satu konklusi yang membahasakan bagaimana nasib Hae-mi yang tak terkatakan oleh Lee Chang-dong dalam film ini. Lantas bagaimana sosok Hae-mi di kisahkan pada akhirnya, jatuh pada model Rheme yang bagi Peirce merupakan hepotesa bagi pertanda yang dianggapnya individualistis. Jong-soo adalah hakim seperti para penonton yang menyangka bahwa Hae-mi dibunuh, dan konteks hakim disini bukanlah peradilan, namun melalui aspek-aspek prasangka yang tadi disuarakan Jong-soo melalui investigasinya yang begitu terpengaruh rasa cintanya terhadap karakter Hae-mi. Yang artinya, Ben adalah kemustahilan bagi sebuah pembelaan itu sendiri; Subjektivitas. Seperti seorang sutradara documenter mengarahkan narasumber dan bahkan opini public tentang suatu hal, dan mungkin sedikit perihal keberpihakan. Maka kemudian Peirce membawa Lee Chang-dong berbahasa yang tak dapat dibahasakan, oleh Jong-soo, ataupun penonton, dan bahkan Hae-mi dan Ben tak diberi ruang untuk menyentuh ranah itu.
Seperti yang bagi Nietzsche kritisi dari dialektik Sokrates yang saat itu begitu terbawa arus seni modern abad 19. Bahwa berkesenian yang seharusnya adalah berkesenian dalam penciptaan yang universal, dalam tanda-tanda yang menyuarakan tandanya sendiri, tak terganggu oleh manusia, tak terganggu oleh individu yang menciptanya, lagi. Bahkan bila seni itu mati, biarkan ia mati dengan sendiri.

You Might Also Like

0 komentar