Adieu Au Langage, Jean Luc-Godard

Mei 30, 2019

Goodbye to Language, Jean Luc-Godard (2014)

Ada perasaan yang mengganggu ketika melihat kesinambungan antara pertemuan sepasang kekasih dan footage seekor anjing. Ada percakapan diantara keduanya yang tak terperikan, dimana satu garis abu diantara mereka, dilanggar dan diutarakan dalam kebahasaan yang ambigu, seolah air pun berusaha berkomunikasi dengan seekor anjing milik Godard yang sebenarnya ia tahu, tidak akan dapat tersampaikan. Namun ia akan mencobanya lagi, dan kembali menemui ketidak pastian. Sementara secara alamiah, air sungai tersebut pun merefleksikan alam dedaunan dan menelanjangi dirinya, mengungkapkan apa yang ada di dalam dasarnya. Kata-kata seperti ujaran Ball, adalah kenihilan. Ia menyebabkan perbudakan dan penjarahan makna-makna hingga peperangan tiba dan manusia berjatuhan dalam kematian juga depresi berkepanjangan. Para Dadais akan menganggapnya sebagai pemberontakan ketika mereka mendeklarasikan anti kemapanan. Seni sebagai suatu pencapaian tersendiri, berhak lepas dari manusia. Dan Godard, meneruskannya dengan memisahkan manusia dari apa yang menghubungkan satu dan yang lainnya. Yang menimbulkan kesenjangan abu tadi, ia melebar dan memperjarak manusia dibawah ras binatang-binatang. Jika kesendirian manusia adalah akhir dari dunia, maka tak ada yang dapat dilakukan selain menjadi kanak-kanak, lagi, dan tentu hanya dapat dicapai dalam keniscayaan; sebuah kebebasan yang terbagi diantara kemanusiaan itu sendiri. Namun sepertinya, suku Apache telah mendapat ilham itu jauh sebelum kita, bahwa mereka melihat dunia diluar sana, sebagai hutan belantara, yang asing dan patut diasingkan. Dan peperangan, dan dongeng-dongeng hantu dihadirkan dalam wujud yang realistis apa adanya. Seperti Gabriel Garcia Marquez, melihatnya sebagai keabsolutan dunia, terwujud darinya untuk dan kepadanya. Ada alasan mengapa, realis magis lahir di negeri-negeri Amerika Selatan, sebab sebuah dunia terlahir dari penjarahan kata-kata dan perbudakan makna. Ia mensinyalir surrealitas dalam kemelut peperangan dan senjata, belum lagi kepada kartel-kartel narkotika yang menjalar hampir seluruh penjuru dunia menawarkan sebuah dunia yang mustahil dicapai manusia. Dunia dongeng yang dikendarai oleh peperangan, menghapuskan kemustahilan, mengawinkan keduanya dalam realitas yang absolut. Dan bila dinobatkan dalam lingkup kisah asmara, kebisuan setelah mereka adalah perselingkuhan seorang wanita yang bersembunyi dari suaminya yang entah kemana. Mencari makna, dalam selimut yang ia kenakan bersama pria asing diatas ranjang rumahnya, yang dalam hubungannya, memiliki kesetaraan dalam perasaan, dan rasa yang tak terjelaskan. Dunia feminin inilah yang dijadikan Godard sebagai contoh dalam penghabisan kata-kata diantara manusia, kebingungan atas dirinya dan keterasingan alam terhadapnya. Ia meranggas pada kebisuan, dan realitas air sungai yang menelanjangi alam di bawahnya. Dari hantu-hantu suara yang mendesir bengis mengiris telinga, dengan soundscape yang dibuat; seorang Mary Shelley menulis kisah horror dimasanya. Dan Van Gogh hadir dalam auto exposure dedaunan yang berkilau dan belantara yang ingin mengungkapkan dirinya pada kemanusiaan yang konon beradab tadi, dari ketimpangan warna, dan terganggunya batas diantara mereka, sebuah ekspresionisme yang tak dimaksudkan. Dimana wanita itu berusaha berkata pada kebajingan para binatang diluar sana, yang selalu dan menjadi satu-satunya makhluk yang dapat melihat bejatnya dunia, bahwa ada keterhubungan, ada keselarasan yang tak mampu disampaikan oleh kata-kata, selain dari makna. Ia akan tetap bisu seperti dalam permainan dadu dan imaji kanak-kanak yang dilihat karakter wanita sebagai metafor dunia yang berpisah-pisah. Dimana sebenarnya keselarasan ada, dan terlahir dalam wujud manusia, pada mulanya.

You Might Also Like

0 komentar