Asako I & II, Ryusuke Hamaguchi
Juni 13, 2019Tidak mampu disalahkan bila kita hidup dalam perspektif hasrat, dan bila bisa mengutip Freud, bahwa manusia seutuhnya dikuasai oleh hal itu sebagaimana manusia lebih banyak terdiri cairan dalam tubuhnya. Struktur masyarakat kemudian membangun sistim atas demi (ironisnya) hasrat atas seduktifitas guna menekan hasrat itu sendiri. Ia membuahkan paradoks memang, namun bila kita maklumi, kita akan mampu bisa berdamai dengannya sebab kita bagian darinya. Asako diciptakan bukan sebagai karakter yang mendominasi justru ia didominasi oleh yang dinamakan sistim komunal, atau bila Barthes menyebutnya sebagai masyarakat strukturalis. Pertentangan menuju kesadaran atas adanya hubungan metafisik dengan relasi biologis Asako, tidak semena-mena menemukan konklusi begitu saja sebagai anti-tesis dari perjalanan biologisnya. Asako bertemu Baku ketika ia berusia sangat muda, mungkin belasan, di Osaka. Dengan cara yang unik, mereka bertemu di suatu eksibisi fotografi. Disanalah kemudian pertemuan janggal tersebut membuahkan kisah cinta remaja, yang seperti kita duga, lebih kepada ketertarikan fisik ketimbang pada sifat dan itu natural. Kemudian Baku menghilang tiba-tiba pada suatu pagi dan tak pernah kembali. Dan kisah meloncat dua tahun setelahnya, di Tokyo dimana secara kebetulan lagi, Asako bertemu seseorang yang sangat mirip dengan Baku, dia bernama Ryohei. Dia orang berbeda, namun memiliki fisik yang sama. Tak disangka ternyata, kecanggungan Asako kala dihadapkan kronik janggal yang tak terduga seperti itu, memikat hati Ryohei untuk menjalin hubungan asmara bersamanya, dan menepis secara sadar keanehan-keanehan. Dan ketika beberapa tahun berlalu, sehingga Asako hampir melupakan Baku, kawannya dari Osaka menyampaikan bahwa Baku kini menjadi seorang model. Obsesi itu kemudian tumbuh lagi, dan secara mengejutkan Baku menyadarinya, dan ia "menculik" Asako secara terang-terangan pada satu acara makan malam bersama kekasihnya, juga teman-temannya. Dimana Asako kemudian menyadari bahwa ia sedang lari dari sesuatu ketika ia menemukan obsesinya, terhadap Baku sebagai persona yang tak kaku bila dibanding Ryohei, sebagai persona yang sempurna dalam hidupnya. Ia merefleksikan segala obsesi itu diantara kehidupan yang tersusun secara sempurna, berlindung kepada tatanan masyarakat, ia menyadarinya sebagai sebuah takdir. Dan Asako sebagai peran utamanya, menemukan kembali segala hal yang hilang, seolah realitas, dia menampilkan kenangan dan memori kepada setiap perjalanan yang menculik sifat biologisnya, melalui perjalanan yang ia bahkan tak sadari telah terlampau jauh. Manifest discourse menjebak Asako, dalam ketidak sadarannya, kepada kepercayaan bahwa obsesinya telah hilang dan sebuah takdir ia tak lagi bersamanya, inilah yang melahirkan karakter Ryohei dan pertemuan mereka, walau secara realitas ia tentu bukanlah sebuah ilusi, dimana pada saat yang bersamaan sebuah komunal menjebaknya melalui ilusi realitas itu sendiri, sistim masyarakat struktural membuat berahi itu hilang kepada metafisik persona. Bagi Baudrillard hal itu dapat kita pahami; "wacana wadak (manifest discourse), mempunyai sebuah penampakan, sebuah penampakan yang dilahirkan, yang diubah oleh pemunculan makna. Interpretasi adalah apa yang memecah penampakan dan permainan wacana wadak dan, dengan menerapkan wacana laten (laten discourse), menghasilkan makna sejati." Ia adalah bentuk seduktifitas yang memang dimiliki manusia sebagai sebuah takdir dan bukan saja sebagai bagian biologis manusia. Manifest discourse menghasilkan wacana persona yang dirubah oleh makna-makna, bila kita menilik kepada kemunculan dua karakter dengan dua sifat yang berbeda, Ryohei yang berada pada tatanan masyarakat dengan latar belakang dia sebagai sebuah pegawai perusahaan di Tokyo. Dan Baku sebagai seorang entertainer, dan seorang manusia yang memiliki prinsip bebas. Dalam rentan waktu memori yang lama dan berbeda dari seorang individu, kita menemukan sebuah ilusi atas realitas tersebut. Kita membaginya kepada dua discourse sebelumnya, dimana karakter utama menilik kepada ironi ilusi realitas itu sendiri, memori kemudian persona (termasuk latar belakang). Dan pertanyaan ini merujuk kepada interpretasi itu sendiri. Yang kita tahu menghasilkan dua pemaknaan realitas dari sebuah tatanan sistim sosial: strukturalis, dan dekonstruksi. Namun akankah itu menghasilkan konklusi? Penampakan, atau tanda, dan bahkan persona dari wacana-wacana ini selalu menimbulkan dekonstruksi pun atas anti-tesis terhadapnya, bila kita melihat dalam lingkup birahi dan obsesi, ia mencuri tumbal kepada penyimpangan asmara, ujar Baudrillard. Namun kepada tanda-tanda itu sendiri, antara pertemuan, sebuah realitas dan sifat metafisik dari takdir asmara, ia lebih penting dari kebenaran itu sendiri. Inilah mengapa interpretasi itu merupakan chaos dalam prosesnya, ia berlawanan bahkan kepada berahi dan obsesi tadi, dan akan selalu lebih berat kepada kekacauan yang tersirkulasi.
0 komentar