Summer, Albert Camus
Juni 03, 2019Hanya sebuah batu yang membuat kita terhentak atas kebiadaban hidup, dan warga Oran sebagai komunal yang menyajikan pemandangan kontemplatik terhadap yang dinamakan kekejaman matahari diatas kepala. Sungguh jauh mereka, orang-orang ini menghentak kemanusiaan melalui hukuman-hukuman yang dijatuhkan para Dewata melalui semiologi pertikaian dua manusia dalam sebuah ring tinju sebagai pelipur lara atas wajah masyarakat yang terasingkan di sebuah malam yang hangat dan tersembunyi dari sejarah peradaban. Kini apa yang disajikan tentu mengikuti perkembangan dari usia itu sendiri, semakin tua komunal itu berada diantara bukit pasir, semakin menghilangnya wujud kepercayaan kepada yang berkuasa, apapun bentuknya, dan setiap harinya, kau tak perlu menunggu konklusi dari suatu dongeng tentang perkelahian abadi antara surga dan neraka. Namun bilamana ada memori yang terbentuk dengan sendirinya, adalah landskap yang gersang melalui kehampaan Camus menarasikan setiap kecurigaannya pada individu yang ada. Kepada eksistensi dan kebenaran yang tak tersembunyikan. Manusia beriringan bersama yang tak bernyawa, dalam kehilangannya. Lantas, apa yang dilakukan manusia dalam pembukaan yang penuh keluh kesah tadi, sungguhlah mengikuti nalar yang manusiawi, bahwa tak ada yang perlu diperjuangkan dalam realitas yang abnormal. Dan kepercayaan terhadap mitologi atau bahkan bila ada realisme magis seperti di Chile atau Argentina, dongeng hanyalah dongeng. Sabda suci nampaknya telah lama pergi, menjauh dari perjanjian teologi manapun. Dengan begitu, roda akan tetap berputar di Oran, dan tanpa disadari ia hanya sekedar, dan telah lama ia bertempat tinggal di satu tempat yang sama. Seperti gerobak usang yang terbengkalai dan terbalik, orang-orang memandang pada jendela sebuah bar dan melihat gersang di sekitar pemukimannya yang tak bermaksud merefleksikan pada siapa-siapa, kini justru abadi menghuni disana tak peduli siang atau malam. Setiap manusia terefleksikan oleh hal ini, dan saya pun seringkali mengalami keabsurdan yang sama. Namun kemudian lelucon perihal dunia yang nihil seperti yang tersajikan oleh Camus terhadap manusia yang terlanjur terjerembab dalam kenaifannya, sangatlah menghibur. Kita menerimanya sebagai hal yang wajar, dan barangkali memaklumi atas semua keniscayaan tadi dalam wujud yang transparan menelanjangi diri kita. Tapi kemudian penghabisan terhadap yang ada, merupakan pukulan telak bagi siapapun yang merasakan, bahwa keterlibatan para Dewa dan pembangkangan Prometheus seperti dalam essay "Prometheus di Dunia Bawah Tanah", merupakan gambaran bahwa ini masalah serius, dan terwakilkan eksistensi itu bahkan oleh sebuah batu yang tak bersalah dan tak ingin dipersalahkan atas segala kepercayaannya, dan hidup batiniah atas terkutuknya padang Aljazair yang merona dan berasap. Kumpulan essay ini menyajikan keluh kesah manusia dalam menghadapi kehidupan yang ia tahu akan berakhir pada kematian, sepantas apapun kedudukannya dan bagaimana ia memulai sebuah pagi dengan harapan, walau kemudian semuanya ia pikir akan menjadi titik semu dan esok ia akan memikirkan hal yang sama. Bahkan dalam essay "Pohon Buah Badam", kebengisan Napoleon pun tak pelak menjadikannya sebagai manusia angkuh yang tak bertanya tentang bagaimana bentuk kebenaran dan kebajikan tempatnya bersemayam selama ini. Walau pertanyaannya kepada Fontanes, tentang bagaimana melankolik dirinya ketika menghadapi perbandingan antara penguasaan menggunakan pedang dan pikiran, telah terjawab, relevansi hal ini berlaku untuk berabad-abad kemudian, bahwa para penakluk bertransformasi pada wujud yang berbeda dan falsafah yang jelas tak sama. Akan ada masa dimana pendudukan oleh pedang akan terkalahkan dengan orang-orang suci yang merasa sadar bahwa kesalahan masa lalu perlu diakhiri, dan untungnya mereka memiliki batas antara kebenaran diantara peperangan koloni. Menimbulkan retrospektif yang kemudian membangun sebuah kontradiksi selama berabad-abad peradaban manusia. Dan sebagai awal mula dari kontradiksi tadi, setiap insan selayaknya menolak apapun yang telah habis koyak oleh jejak historisnya. Dan seperti yang digaungkan Camus terhadap ketiadaan, bahwa manusia akan merefleksikan dirinya, dan kemudian menyesalinya sebagai perwujudan dari pembenahan yang terwujud dalam prekognisi yang diperkirakan akan menimbulkan kontradiksi baru dalam retrospektif yang lain. Selain itu keindahan Aljazair menawarkan intrik yang rumit antara hubungan Prancis khususnya dengan masyarakat Aljazair dan Algeria tepatnya, seperti dalam essay "Panduan Singkat Untuk Kota Tanpa Masa Lalu", ia menuliskan lebih gamblang daripada yang dituturkan dalam karyanya sebelumnya, "The Stranger" yang begitu penuh kebencian metafor dari wujud gersang alam Aljazair yang kejam menghanyutkan setiap insan kepada sebuah tragedi tak terhindarkan (yakni dalam konteks pembunuhan) penuh idealistik-humanis yang termaafkan, dan bila boleh mengutip kalimat alegoris dari seorang Baudrillard; "segala bentuk pembebasan hasrat". Sebab kemudian adanya perkawinan campuran selama berabad-abad antara orang Eropa dan masyarakat lokal adalah takdir yang harus dibawa dan tak mampu dilawan oleh orang-orang Oran dan berbagai golongan masyarakat Aljazair yang berkedudukan dibawah koloni Prancis. Dan sebagai seorang individu yang memiliki hubungan erat dengan Aljazair, seorang Camus telah berhasil berdamai dengan dirinya sendiri, bertemu dengan perwujudan Amor Fati yang dimaksud Nietzsche dalam setiap epik tragedi kehidupan, dan selayaknya kita pun, bahwa keterikatan lahiriah dan batiniah terhadap masa lalu, dan segala hal yang dicintai, dalam kenaifan manusia yang termaafkan oleh hukum sebab akibat dan gersangnya kesenangan melainkan ambiguitas dari rutinitas hidup, tidakkah justru secara natural membuat kita dengan kesadaran mau melihat hal-hal yang memang secara batin kita gemari sebagai bentuk absah keabadian walau secara makro, yang juga tak sekalipun bersifat melepaskan, bahkan justru mengikat untuk selamanya; kepada memori dan hasrat yang tersembunyi.
0 komentar