CLIMAX, Gaspar Noé
Juni 15, 2019Ini mungkin menjadi suatu retrospeksi, di sisi lain juga merupakan prekognisi terhadap masyarakat, dan individu lebih utamanya kepada konsep ekspresi kekaryaan. Dimana kita terkendali oleh kejujuran; hasrat, pornografi, kebrutalan, dan segala kemurkaan. Tapi tak memungkiri untuk mengakui bahwa itu adalah ekspresi, yang akhirnya dieksploitasi oleh Gaspar menjadi sebuah karya yang berakhir (tragisnya) menyenangkan. Malam itu seluruh anggota berlatih seperti biasa di sebuah gedung sekolah kosong pada musim dingin di tahun 1996, salah satu dari mereka; Lou, Gazelle, David. Yang lainnya barangkali sedikit membuat jejaring pertemanan dan bersembunyi mengamati lainnya di sudut lain, bergunjing, dan sedikit omong kosong soal kebajingan-kebajingan; "menari adalah ekspresi" begitu yang dikatakan Gazelle di awal film, diantara lautan tubuh yang mengekspresikan dirinya pada alunan musik yang mengalun dan sedikit brutal nampak oleh karenanya, bersama secangkir sangria, perlahan namun pasti mereka merasakan sesuatu yang janggal mulai menjalar di dalam tubuhnya. Kepada musik tubuh-tubuh itu mulai menyembah ketidak sadaran menjadi sebuah realitas dan ilusi kini menjadikan diri mereka berhasrat untuk mencumbu dirinya sendiri. Persona, mereka mulai menampakan hal itu, sebagai sebuah makna realitas yang terjadi. Dan kita bisa mengatakan segala tarian ini sebagai act of expression itu sendiri, sebagai kalimat dan alur yang mengganti susunan dialektik skenario. Gaspar berusaha membuat ritus Dionisian dalam satu alur tragedi, seperti yang pernah dituliskan Nietzsche, Dionisius sang Dewa anggur, ia menyajikan sebuah kebebasan akan jalan metafisik bagi kaumnya, dalam hal ini para Maenad dan ritus suci mereka, juga dengan melalui paduan suara dithryambik, dan tarian-tarian sakral barbarisme; kebugilan, kekerasan, berahi. Ia menuntun manusia menyampaikan pemahaman metafisiknya melalui rekonstruksi ketabuan. Dan melaluinya Dionisius memberkati dengan segala kesenangan, yang memanglah bagian dari kemanusiaan itu sendiri, sebuah objektivitas-universal dari subjektivitas hasrat dasar individual, dan struktur kesadaran yang menghasut, kepada ilusi yang pantang menyusut. Namun kita harus melihat bagaimana tarian-tarian ini kemudian, sebagai simbol, guna merefleksikan estetikanya kepada ketidak-sadaran, seperti mitos, seperti puisi-puisi lirik, bahkan cerita rakyat. Ia memiliki dosis terhadap kemampuan individu untuk mencapainya, dan bila dibandingkan dengan sebuah karya lukis, ketimbang memilih melukis tragedi dihadapannya, ia melahirkan tragedi tersebut, ia adalah penderitaan dari penderitaan yang tertangguhkan. Geram, dan jerit pesakitan menjalar dalam subjektivitas dengan dosis yang tinggi. Inilah yang menjadi nilai tambah dari tarian-tarian yang disajikan Gaspar dalam Climax. Mengalihkan objektivitas pada efek kontemplatik subjektivitas estetik itu sendiri. Seperti Schiller, ia memancarkan ilham puisi-puisinya dalam cakupan psikologisnya yang ia tak mengerti pula, namun juga tak memberikan jeda kepadanya. Dia bahkan mengaku proses kreatifnya tak melalui kausalitas ide-ide yang teratur, melainkan suatu (ujar Nietzsche) suasana hati musikal. Kini seniman telah mempersonakan karyanya dalam sebuah cakupan atas kepedihan dan kontradiksi, ia menghasilkan suatu keesaan metafisik asali sebagai gerakan dan tarian, melalui musik ia mengambil citera tersebut guna membangun realismenya kepada sebuah dunia baru, dan melalui klise ia tersampaikan sebagai suatu metafora, Refleksi tadi sejatinya terbebas dari makna, dan konsep dasarnya yang di terjemahkan melalui ilusi. Sang pembuat telah terjebak dalam ritus subjektivitas Dionisian. Dan kepada subjektivitas kita mempertanyakan estetika tadi berakhir dalam kebahasaannya. Ketika citra itu terbentuk dan seorang seniman menerima dirinya sebagai sebuah subjektivitas dalam karyanya sendiri, ia menjauhkan diri dari estetika tersebut. Bahwa tak ada klasifikasi yang masuk kepada dialektiknya, dan bahwa citra objektivitas telah hilang dari realitas objek yang di refleksikan darinya. Sebab memanglah ia adalah seniman, dan dia telah terbebas dari kehendak-kehendak dialektis tadi, melainkan telah melebur dalam subjektivitas kepada citra ilusi. Karena hal tersebutlah kemudian objektivitas tak lagi ada untuk kita, namun ia masih menjadikannya sebagai fenomena estetik secara kolektif. Dan bila para individu dalam tahapan tadi seperti para penari yang berdansa semalam suntuk terbawa pengaruh ilusi, mampu menyublim dirinya dalam dialektis seni asali dan yang paling primitif, ia kini mampu merefleksikan diri kepada subjek, objek, pemain, dan penonton. Yang dengan subjektivitas - pecahan-pecahan tersebut, melalui sebuah evolusi murni, ia akan melahirkan suatu tragedi.
0 komentar