Merenungi Tubuh Chantal Akerman

Juni 01, 2019

Je, Tu, Il, Elle (Chantal Akerman, 1974)

Perjuangan wanita berawal dari tempat tidur menuju tempat tidur. Ia kembali meraih hidupnya di dapur dan kembali mengurus perabotan dan sesekali mungkin, mengurus bunga-bunga taman. Ada masanya ia akan merindu pada sebuah masa lalu yang bisu, dan kemudian membaca surat-surat dan membuat dunia yang ia inginkan dalam kepalanya. New York nampak sebagai pengasingan, dan kita melihat rindang awan kelabu, menuju siang yang sendu. Ah, Ibu bertanya tentang kabarnya dan rasa-rasanya mungkin seseorang harus menjawabnya. Kemudian beberapa hari kemudian, beliau masih menunggu. Tidak ada yang dapat menghiraukan pertanyaan kematian diantara ketiganya, seperti Baudrillard berpesan bahwa sinema berisi berahi terdalam setiap insan, dan akan berakhir pada kematian, tidak dengan yang lain. Ia akan mengejarnya, dan hingga saat itu tiba, manusia akan hidup bersamanya. Lalu apa yang ditawarkan berahi, dan setiap perjalanan spiritual wanita disetiap kisah-kisah? Kemungkinan menuju pada ritus, sebuah bentuk absolut pemujaan kepada yang ada, dimana setiap sentuhan menjadikannya sebuah kecabulan yang termaafkan, dan dari setiap kesetaraan yang dibangun feminisme, Chantal menerapkannya pada titik yang tertinggi, yaitu melalui kebugilan. Menjadi sebuah tanda, yaitu tanda-tanda dari pakaian yang sejatinya merupakan sebuah kode komunikasi rahasia diantara objek atau subjek kepada yang lainnya. Ketika itu dilepas, tanda-tanda akan berhambur dan bersirkulasi pada tanda-tanda tadi, yaitu desain kebugilan atau desain phallus. Semakin ia mendekati pada kejujuran seksualitas itu, manusia akan menjadi semakin tenggelam dalam ilusi, ia akan menyadari ketiadaannya dan menjadikannya sebuah ketiadaan yang termaafkan, dan kepada distorsi di setiap jengkalnya, manusia memenuhi ekspresi dari hasrat tersebut. Yang tersajikan paling dalam pada tubuh manusia, dan bila berkata feminisme, wanita dengan segala kemujuran tubuhnya merupakan penggambaran mutlak bagi stereotip hilangnya nyawa realitas. Ketika suatu suku pedalaman dengan santainya mempertontonkan setiap inci dari sudut tubuhnya pada rutinitas keseharian, mereka berpikir bahwa apa yang ada di tubuhnya, setiap kulitnya adalah wajah dan identitas. Maka Hegel berkata bahwa ketika manusia berusaha melihat dunianya sebagai kebalikan dari binatang, menghadirkan ritme jantung, kita berkata tentang seni yang menggambarkan setiap inci dari permukaannya, fenomena dan penampakan dirinya menjadi tampak bagi roh itu. Maka tiada lagi ketelanjangan, ia menjadi bagian dan manusia menjadi jiwa sebenar-benarnya jiwa kepadanya. Ketika Chantal membawa ranah feminis itu kepada sinema, ia melakukan pergerakan dan sedikit menggeser etika simbolik itu, memutarkan ironi dari feminitas sebagai parodi dalam lingkup paradoks sosial. Ketika feminitas itu tergambarkan pada sosok Jeanne Dielman maka, yang dimaksud adalah perlawanan terhadap hirarki maskulinitas. Pria sebagai bagian dari paradoks itu, dianggap sebagai parodi, ketika karakter menemukan tragedi di dalamnya, dan banyak kritikus menyayangkan Dielman yang kemudian membunuh karakter Pria setelah mereka bercinta, dan menganggapnya sebagai kedok atas ketidakberdayaan wanita yang mana bertolak belakang dengan persepsi Dielman yang dibawakan Chantal sejak awal, yaitu ketangguhan feminin. Sepertinya ini dimaksudkan pada konteks yang lebih tinggi dari sekedar kesinambungan keperluan adegan, dan mungkin sedikit perihal idealismenya tadi. Ketika maskulinitas diterapkan dalam hirarki yang begitu tinggi seperti apa yang terjadi pada Eropa masa itu, apa yang dilakukan Chantal dalam karya-karyanya dapat kita sebut sebagai over-stimulate terhadap feminitas, ia merangsang feminitas secara lebih besar lagi. Bayangkan ketika karakter wanita menjadikan dirinya, sebagai wahana permainan dari pencarian ini, maka kemudian terdapat kesinambungan antara permainan wanita dan tantangan identitasnya. Saute Ma Ville, adalah contoh dari karya Chantal yang ingin menyampaikan permainan ini dalam lingkup yang personal begitupun dengan Jeanne Dielman. Hal ini tak ada beda dengan seorang pria yang menyamar dan menemukan bentuk feminin dalam dirinya, dengan menjadi shemale atau waria, tanpa menanggalkan maskulinitasnya. Disinilah nihilisme mencuat, sebab ketika satu persona sengaja ingin memparodikan persona yang lainnya, dapat diartikan semacam pelacuran sakral terhadapnya, terhadap libido yang tak pernah terpuaskan. Tapi, feminitas dan maskulinitas yang berusaha diseimbangkan dalam suatu persona ini mungkin ada pada batas kepalsuannya sendiri, dimana idealisme utopis tentang segala hal menyangkut kesempurnaan, adalah contoh radikal yang sangat bertolak belakang dengan statement politis feminisme itu sendiri yang dapat kita amati, sebagai penolakan terhadap eksistensinya. Dan bagi Freud, terbuangnya feminitas, merupakan kekuatannya sendiri.

You Might Also Like

0 komentar