Darkness, Light, Darkness, by Jan Svankmajer |
Ini mungkin menjadi suatu retrospeksi, di sisi lain juga merupakan prekognisi terhadap masyarakat, dan individu lebih utamanya kepada konsep ekspresi kekaryaan. Dimana kita terkendali oleh kejujuran; hasrat, pornografi, kebrutalan, dan segala kemurkaan. Tapi tak memungkiri untuk mengakui bahwa itu adalah ekspresi, yang akhirnya dieksploitasi oleh Gaspar menjadi sebuah karya yang berakhir (tragisnya) menyenangkan. Malam itu seluruh anggota berlatih seperti biasa di sebuah gedung sekolah kosong pada musim dingin di tahun 1996, salah satu dari mereka; Lou, Gazelle, David. Yang lainnya barangkali sedikit membuat jejaring pertemanan dan bersembunyi mengamati lainnya di sudut lain, bergunjing, dan sedikit omong kosong soal kebajingan-kebajingan; "menari adalah ekspresi" begitu yang dikatakan Gazelle di awal film, diantara lautan tubuh yang mengekspresikan dirinya pada alunan musik yang mengalun dan sedikit brutal nampak oleh karenanya, bersama secangkir sangria, perlahan namun pasti mereka merasakan sesuatu yang janggal mulai menjalar di dalam tubuhnya. Kepada musik tubuh-tubuh itu mulai menyembah ketidak sadaran menjadi sebuah realitas dan ilusi kini menjadikan diri mereka berhasrat untuk mencumbu dirinya sendiri. Persona, mereka mulai menampakan hal itu, sebagai sebuah makna realitas yang terjadi. Dan kita bisa mengatakan segala tarian ini sebagai act of expression itu sendiri, sebagai kalimat dan alur yang mengganti susunan dialektik skenario. Gaspar berusaha membuat ritus Dionisian dalam satu alur tragedi, seperti yang pernah dituliskan Nietzsche, Dionisius sang Dewa anggur, ia menyajikan sebuah kebebasan akan jalan metafisik bagi kaumnya, dalam hal ini para Maenad dan ritus suci mereka, juga dengan melalui paduan suara dithryambik, dan tarian-tarian sakral barbarisme; kebugilan, kekerasan, berahi. Ia menuntun manusia menyampaikan pemahaman metafisiknya melalui rekonstruksi ketabuan. Dan melaluinya Dionisius memberkati dengan segala kesenangan, yang memanglah bagian dari kemanusiaan itu sendiri, sebuah objektivitas-universal dari subjektivitas hasrat dasar individual, dan struktur kesadaran yang menghasut, kepada ilusi yang pantang menyusut. Namun kita harus melihat bagaimana tarian-tarian ini kemudian, sebagai simbol, guna merefleksikan estetikanya kepada ketidak-sadaran, seperti mitos, seperti puisi-puisi lirik, bahkan cerita rakyat. Ia memiliki dosis terhadap kemampuan individu untuk mencapainya, dan bila dibandingkan dengan sebuah karya lukis, ketimbang memilih melukis tragedi dihadapannya, ia melahirkan tragedi tersebut, ia adalah penderitaan dari penderitaan yang tertangguhkan. Geram, dan jerit pesakitan menjalar dalam subjektivitas dengan dosis yang tinggi. Inilah yang menjadi nilai tambah dari tarian-tarian yang disajikan Gaspar dalam Climax. Mengalihkan objektivitas pada efek kontemplatik subjektivitas estetik itu sendiri. Seperti Schiller, ia memancarkan ilham puisi-puisinya dalam cakupan psikologisnya yang ia tak mengerti pula, namun juga tak memberikan jeda kepadanya. Dia bahkan mengaku proses kreatifnya tak melalui kausalitas ide-ide yang teratur, melainkan suatu (ujar Nietzsche) suasana hati musikal. Kini seniman telah mempersonakan karyanya dalam sebuah cakupan atas kepedihan dan kontradiksi, ia menghasilkan suatu keesaan metafisik asali sebagai gerakan dan tarian, melalui musik ia mengambil citera tersebut guna membangun realismenya kepada sebuah dunia baru, dan melalui klise ia tersampaikan sebagai suatu metafora, Refleksi tadi sejatinya terbebas dari makna, dan konsep dasarnya yang di terjemahkan melalui ilusi. Sang pembuat telah terjebak dalam ritus subjektivitas Dionisian. Dan kepada subjektivitas kita mempertanyakan estetika tadi berakhir dalam kebahasaannya. Ketika citra itu terbentuk dan seorang seniman menerima dirinya sebagai sebuah subjektivitas dalam karyanya sendiri, ia menjauhkan diri dari estetika tersebut. Bahwa tak ada klasifikasi yang masuk kepada dialektiknya, dan bahwa citra objektivitas telah hilang dari realitas objek yang di refleksikan darinya. Sebab memanglah ia adalah seniman, dan dia telah terbebas dari kehendak-kehendak dialektis tadi, melainkan telah melebur dalam subjektivitas kepada citra ilusi. Karena hal tersebutlah kemudian objektivitas tak lagi ada untuk kita, namun ia masih menjadikannya sebagai fenomena estetik secara kolektif. Dan bila para individu dalam tahapan tadi seperti para penari yang berdansa semalam suntuk terbawa pengaruh ilusi, mampu menyublim dirinya dalam dialektis seni asali dan yang paling primitif, ia kini mampu merefleksikan diri kepada subjek, objek, pemain, dan penonton. Yang dengan subjektivitas - pecahan-pecahan tersebut, melalui sebuah evolusi murni, ia akan melahirkan suatu tragedi.
Tidak mampu disalahkan bila kita hidup dalam perspektif hasrat, dan bila bisa mengutip Freud, bahwa manusia seutuhnya dikuasai oleh hal itu sebagaimana manusia lebih banyak terdiri cairan dalam tubuhnya. Struktur masyarakat kemudian membangun sistim atas demi (ironisnya) hasrat atas seduktifitas guna menekan hasrat itu sendiri. Ia membuahkan paradoks memang, namun bila kita maklumi, kita akan mampu bisa berdamai dengannya sebab kita bagian darinya. Asako diciptakan bukan sebagai karakter yang mendominasi justru ia didominasi oleh yang dinamakan sistim komunal, atau bila Barthes menyebutnya sebagai masyarakat strukturalis. Pertentangan menuju kesadaran atas adanya hubungan metafisik dengan relasi biologis Asako, tidak semena-mena menemukan konklusi begitu saja sebagai anti-tesis dari perjalanan biologisnya. Asako bertemu Baku ketika ia berusia sangat muda, mungkin belasan, di Osaka. Dengan cara yang unik, mereka bertemu di suatu eksibisi fotografi. Disanalah kemudian pertemuan janggal tersebut membuahkan kisah cinta remaja, yang seperti kita duga, lebih kepada ketertarikan fisik ketimbang pada sifat dan itu natural. Kemudian Baku menghilang tiba-tiba pada suatu pagi dan tak pernah kembali. Dan kisah meloncat dua tahun setelahnya, di Tokyo dimana secara kebetulan lagi, Asako bertemu seseorang yang sangat mirip dengan Baku, dia bernama Ryohei. Dia orang berbeda, namun memiliki fisik yang sama. Tak disangka ternyata, kecanggungan Asako kala dihadapkan kronik janggal yang tak terduga seperti itu, memikat hati Ryohei untuk menjalin hubungan asmara bersamanya, dan menepis secara sadar keanehan-keanehan. Dan ketika beberapa tahun berlalu, sehingga Asako hampir melupakan Baku, kawannya dari Osaka menyampaikan bahwa Baku kini menjadi seorang model. Obsesi itu kemudian tumbuh lagi, dan secara mengejutkan Baku menyadarinya, dan ia "menculik" Asako secara terang-terangan pada satu acara makan malam bersama kekasihnya, juga teman-temannya. Dimana Asako kemudian menyadari bahwa ia sedang lari dari sesuatu ketika ia menemukan obsesinya, terhadap Baku sebagai persona yang tak kaku bila dibanding Ryohei, sebagai persona yang sempurna dalam hidupnya. Ia merefleksikan segala obsesi itu diantara kehidupan yang tersusun secara sempurna, berlindung kepada tatanan masyarakat, ia menyadarinya sebagai sebuah takdir. Dan Asako sebagai peran utamanya, menemukan kembali segala hal yang hilang, seolah realitas, dia menampilkan kenangan dan memori kepada setiap perjalanan yang menculik sifat biologisnya, melalui perjalanan yang ia bahkan tak sadari telah terlampau jauh. Manifest discourse menjebak Asako, dalam ketidak sadarannya, kepada kepercayaan bahwa obsesinya telah hilang dan sebuah takdir ia tak lagi bersamanya, inilah yang melahirkan karakter Ryohei dan pertemuan mereka, walau secara realitas ia tentu bukanlah sebuah ilusi, dimana pada saat yang bersamaan sebuah komunal menjebaknya melalui ilusi realitas itu sendiri, sistim masyarakat struktural membuat berahi itu hilang kepada metafisik persona. Bagi Baudrillard hal itu dapat kita pahami; "wacana wadak (manifest discourse), mempunyai sebuah penampakan, sebuah penampakan yang dilahirkan, yang diubah oleh pemunculan makna. Interpretasi adalah apa yang memecah penampakan dan permainan wacana wadak dan, dengan menerapkan wacana laten (laten discourse), menghasilkan makna sejati." Ia adalah bentuk seduktifitas yang memang dimiliki manusia sebagai sebuah takdir dan bukan saja sebagai bagian biologis manusia. Manifest discourse menghasilkan wacana persona yang dirubah oleh makna-makna, bila kita menilik kepada kemunculan dua karakter dengan dua sifat yang berbeda, Ryohei yang berada pada tatanan masyarakat dengan latar belakang dia sebagai sebuah pegawai perusahaan di Tokyo. Dan Baku sebagai seorang entertainer, dan seorang manusia yang memiliki prinsip bebas. Dalam rentan waktu memori yang lama dan berbeda dari seorang individu, kita menemukan sebuah ilusi atas realitas tersebut. Kita membaginya kepada dua discourse sebelumnya, dimana karakter utama menilik kepada ironi ilusi realitas itu sendiri, memori kemudian persona (termasuk latar belakang). Dan pertanyaan ini merujuk kepada interpretasi itu sendiri. Yang kita tahu menghasilkan dua pemaknaan realitas dari sebuah tatanan sistim sosial: strukturalis, dan dekonstruksi. Namun akankah itu menghasilkan konklusi? Penampakan, atau tanda, dan bahkan persona dari wacana-wacana ini selalu menimbulkan dekonstruksi pun atas anti-tesis terhadapnya, bila kita melihat dalam lingkup birahi dan obsesi, ia mencuri tumbal kepada penyimpangan asmara, ujar Baudrillard. Namun kepada tanda-tanda itu sendiri, antara pertemuan, sebuah realitas dan sifat metafisik dari takdir asmara, ia lebih penting dari kebenaran itu sendiri. Inilah mengapa interpretasi itu merupakan chaos dalam prosesnya, ia berlawanan bahkan kepada berahi dan obsesi tadi, dan akan selalu lebih berat kepada kekacauan yang tersirkulasi.
Hanya sebuah batu yang membuat kita terhentak atas kebiadaban hidup, dan warga Oran sebagai komunal yang menyajikan pemandangan kontemplatik terhadap yang dinamakan kekejaman matahari diatas kepala. Sungguh jauh mereka, orang-orang ini menghentak kemanusiaan melalui hukuman-hukuman yang dijatuhkan para Dewata melalui semiologi pertikaian dua manusia dalam sebuah ring tinju sebagai pelipur lara atas wajah masyarakat yang terasingkan di sebuah malam yang hangat dan tersembunyi dari sejarah peradaban. Kini apa yang disajikan tentu mengikuti perkembangan dari usia itu sendiri, semakin tua komunal itu berada diantara bukit pasir, semakin menghilangnya wujud kepercayaan kepada yang berkuasa, apapun bentuknya, dan setiap harinya, kau tak perlu menunggu konklusi dari suatu dongeng tentang perkelahian abadi antara surga dan neraka. Namun bilamana ada memori yang terbentuk dengan sendirinya, adalah landskap yang gersang melalui kehampaan Camus menarasikan setiap kecurigaannya pada individu yang ada. Kepada eksistensi dan kebenaran yang tak tersembunyikan. Manusia beriringan bersama yang tak bernyawa, dalam kehilangannya. Lantas, apa yang dilakukan manusia dalam pembukaan yang penuh keluh kesah tadi, sungguhlah mengikuti nalar yang manusiawi, bahwa tak ada yang perlu diperjuangkan dalam realitas yang abnormal. Dan kepercayaan terhadap mitologi atau bahkan bila ada realisme magis seperti di Chile atau Argentina, dongeng hanyalah dongeng. Sabda suci nampaknya telah lama pergi, menjauh dari perjanjian teologi manapun. Dengan begitu, roda akan tetap berputar di Oran, dan tanpa disadari ia hanya sekedar, dan telah lama ia bertempat tinggal di satu tempat yang sama. Seperti gerobak usang yang terbengkalai dan terbalik, orang-orang memandang pada jendela sebuah bar dan melihat gersang di sekitar pemukimannya yang tak bermaksud merefleksikan pada siapa-siapa, kini justru abadi menghuni disana tak peduli siang atau malam. Setiap manusia terefleksikan oleh hal ini, dan saya pun seringkali mengalami keabsurdan yang sama. Namun kemudian lelucon perihal dunia yang nihil seperti yang tersajikan oleh Camus terhadap manusia yang terlanjur terjerembab dalam kenaifannya, sangatlah menghibur. Kita menerimanya sebagai hal yang wajar, dan barangkali memaklumi atas semua keniscayaan tadi dalam wujud yang transparan menelanjangi diri kita. Tapi kemudian penghabisan terhadap yang ada, merupakan pukulan telak bagi siapapun yang merasakan, bahwa keterlibatan para Dewa dan pembangkangan Prometheus seperti dalam essay "Prometheus di Dunia Bawah Tanah", merupakan gambaran bahwa ini masalah serius, dan terwakilkan eksistensi itu bahkan oleh sebuah batu yang tak bersalah dan tak ingin dipersalahkan atas segala kepercayaannya, dan hidup batiniah atas terkutuknya padang Aljazair yang merona dan berasap. Kumpulan essay ini menyajikan keluh kesah manusia dalam menghadapi kehidupan yang ia tahu akan berakhir pada kematian, sepantas apapun kedudukannya dan bagaimana ia memulai sebuah pagi dengan harapan, walau kemudian semuanya ia pikir akan menjadi titik semu dan esok ia akan memikirkan hal yang sama. Bahkan dalam essay "Pohon Buah Badam", kebengisan Napoleon pun tak pelak menjadikannya sebagai manusia angkuh yang tak bertanya tentang bagaimana bentuk kebenaran dan kebajikan tempatnya bersemayam selama ini. Walau pertanyaannya kepada Fontanes, tentang bagaimana melankolik dirinya ketika menghadapi perbandingan antara penguasaan menggunakan pedang dan pikiran, telah terjawab, relevansi hal ini berlaku untuk berabad-abad kemudian, bahwa para penakluk bertransformasi pada wujud yang berbeda dan falsafah yang jelas tak sama. Akan ada masa dimana pendudukan oleh pedang akan terkalahkan dengan orang-orang suci yang merasa sadar bahwa kesalahan masa lalu perlu diakhiri, dan untungnya mereka memiliki batas antara kebenaran diantara peperangan koloni. Menimbulkan retrospektif yang kemudian membangun sebuah kontradiksi selama berabad-abad peradaban manusia. Dan sebagai awal mula dari kontradiksi tadi, setiap insan selayaknya menolak apapun yang telah habis koyak oleh jejak historisnya. Dan seperti yang digaungkan Camus terhadap ketiadaan, bahwa manusia akan merefleksikan dirinya, dan kemudian menyesalinya sebagai perwujudan dari pembenahan yang terwujud dalam prekognisi yang diperkirakan akan menimbulkan kontradiksi baru dalam retrospektif yang lain. Selain itu keindahan Aljazair menawarkan intrik yang rumit antara hubungan Prancis khususnya dengan masyarakat Aljazair dan Algeria tepatnya, seperti dalam essay "Panduan Singkat Untuk Kota Tanpa Masa Lalu", ia menuliskan lebih gamblang daripada yang dituturkan dalam karyanya sebelumnya, "The Stranger" yang begitu penuh kebencian metafor dari wujud gersang alam Aljazair yang kejam menghanyutkan setiap insan kepada sebuah tragedi tak terhindarkan (yakni dalam konteks pembunuhan) penuh idealistik-humanis yang termaafkan, dan bila boleh mengutip kalimat alegoris dari seorang Baudrillard; "segala bentuk pembebasan hasrat". Sebab kemudian adanya perkawinan campuran selama berabad-abad antara orang Eropa dan masyarakat lokal adalah takdir yang harus dibawa dan tak mampu dilawan oleh orang-orang Oran dan berbagai golongan masyarakat Aljazair yang berkedudukan dibawah koloni Prancis. Dan sebagai seorang individu yang memiliki hubungan erat dengan Aljazair, seorang Camus telah berhasil berdamai dengan dirinya sendiri, bertemu dengan perwujudan Amor Fati yang dimaksud Nietzsche dalam setiap epik tragedi kehidupan, dan selayaknya kita pun, bahwa keterikatan lahiriah dan batiniah terhadap masa lalu, dan segala hal yang dicintai, dalam kenaifan manusia yang termaafkan oleh hukum sebab akibat dan gersangnya kesenangan melainkan ambiguitas dari rutinitas hidup, tidakkah justru secara natural membuat kita dengan kesadaran mau melihat hal-hal yang memang secara batin kita gemari sebagai bentuk absah keabadian walau secara makro, yang juga tak sekalipun bersifat melepaskan, bahkan justru mengikat untuk selamanya; kepada memori dan hasrat yang tersembunyi.
Je, Tu, Il, Elle (Chantal Akerman, 1974)
|
Contoh visual montase Kuleshov effect. |
Bayangkan anda melihat sebuah frame yang berisi tentang seseorang yang mengobrol satu dan yang lainnya dalam satu sequence lalu kemudian anda disuguhkan oleh titik fram yang secara tiba-tiba bahwa diantara adegan itu terselip pola cutting dalam beberapa detik, yang hanya menyuguhkan layar hitam namun seolah begitu, kisah, dialog, suara tetap berjalan seperti biasa, dan anda masih dapat merasakan semuanya tetap berjalan normal bahkan bila sisi layar kosong nan hitam itu dihilangkan sama sekali. Bila di masa lalu kita disuguhkan cara bertutur melalui editing sinema yang tetap bervisual walaupun berjuxtapose, seperti yang disajikan teori montase. Maka hal ini belum menyuguhkan apapun. Teknik editing seperti ini, muncul belakangan seperti yang disajikan dalam beberapa karya sinema yang pernah berkontribusi dalam beberapa festival terkenal. Umumnya seperti yang dilakukan Gaspar dalam film Enter The Void, termasuk dalam apa yang dinamakan Couper, yaitu editing yang memang sengaja diperuntukan untuk kebutuhan editing itu sendiri, tak tersentuh oleh kreatifitas selain kebutuhan sinema, seperti selayaknya, disisi lain ada anti-tesis dari teknik tersebut yang dinamakan Monter yaitu teknik editing yang sengaja dilakukan untuk kebutuhan kreatifitas dan cenderung konseptual dan hal ini melahirkan montase. Salah satu film yang menurut saya menggunakan teknik pada ranah ini adalah The Hungry Lion karya Takaomi Ogata, yang juga beberapa kali dalam adegan filmnya menyajikan kekosongan "tak bermakna" yang dimaksud. Bahwa kemudian bukannya, membuat penonton memahami, seperti yang disinyalir oleh Kuleshov Effect, juxtapose shot yang seolah sengaja dilakukan dengan tetap mengedepankan efek psikologis antara penonton dan karakter di dalam film tersebut. Takaomi seolah tidak menyajikan apapun, dalam korelasi diantara shot sebelum dan setelahnya. Kini setelah apa yang tersajikan, beberapa sinema kontemporer memperoleh apa yang dikatakan Gilles Deleuze sebagai jarak antara ide, konsep kreatif, dan pembuatnya. Ada sebuah jarak diantaranya, yang dinamakan celah bahwa setiap penggagas sebuah karya hanya akan menemukan keterbatasannya, yaitu di dalam teori space-time sinema. Jika semua kreator memiliki keahlian untuk menciptakan konsep, yang mana dijelaskan Deleuze bahwa konsep tidak ada dengan sendirinya melainkan ia akan berselingkuh dengan pola konsep lainnya untuk menciptakan keterhubungan, maka space-time merupakan salah satu yang dirancang oleh seorang seniman selain time-movement. Namun begitu, space-time pun terancang oleh kesengajaan, yaitu oleh sentuhan bilamana Deleuze menerjemahkannya dengan sebuah telapak tangan, maka tidak ada kebebasan mutlak bagi seorang seniman membentuk sebuah ide kepada konsep yang bahkan sekali lagi, tidak tercipta dengan sendirinya, ia akan terbatas oleh semacam arketipe, seperti yang diungkapkan Jung. Maka The Hungry Lion, sedikitnya menyentuh ranah ketidakberdayaan sinema itu. Ia menginjakkan kaki pada ranah Monter, sementara disisi lain ia dipengaruhi oleh Couper. Tidak ada teori pasti yang mengatakan hal ini karena, seni kontemporer terlalu liberal untuk mengatakannya sebagai sebuah teori, saya sendiri lebih suka menyebutnya "Blank-movement". Adalah ketika cutting yang diterapkan sebagai sebuah montase, diantara pemikiran penonton yang merujuk pada karakter, didukung oleh setiap elemen lainnya, dalam hal ini visual dirubah menjadi soundscape, yang kemudian tanpa memutus time-movement dalam pikiran penonton, film akan terus membangun atmosfernya sementara visual tetap menggambarkan emosi yang terdalam dan paling rendah dari kemanusiaan dan yang paling kosong dalam aspek sinema itu sendiri, seperti karakter utama dari The Hungry Lion, yaitu seorang gadis yang terhimpit oleh orang-orang sekitarnya, dan bahkan keluarganya sendiri karena kasus pornografinya. Cara bertutur demikian membangun apa yang kita sebut sebagai montase, hanya saja ketika montase masih mengharuskan dan ketika sinema menganggap ketiadaan visual atau sinematografi sebagai sebenar-benarnya kekosongan artistik itu sendiri, Blank-movement mengakuisisinya sebagai kebahasaan baru dengan mengandalkan konsep Monter dan perkawinannya yang sementara itu dengan soundscape kepada setiap konsep yang dilahirkan sinema kontemporer pada masa sekarang dan yang akan datang.
Goodbye to Language, Jean Luc-Godard (2014) |
Ada perasaan yang mengganggu ketika melihat kesinambungan antara pertemuan sepasang kekasih dan footage seekor anjing. Ada percakapan diantara keduanya yang tak terperikan, dimana satu garis abu diantara mereka, dilanggar dan diutarakan dalam kebahasaan yang ambigu, seolah air pun berusaha berkomunikasi dengan seekor anjing milik Godard yang sebenarnya ia tahu, tidak akan dapat tersampaikan. Namun ia akan mencobanya lagi, dan kembali menemui ketidak pastian. Sementara secara alamiah, air sungai tersebut pun merefleksikan alam dedaunan dan menelanjangi dirinya, mengungkapkan apa yang ada di dalam dasarnya. Kata-kata seperti ujaran Ball, adalah kenihilan. Ia menyebabkan perbudakan dan penjarahan makna-makna hingga peperangan tiba dan manusia berjatuhan dalam kematian juga depresi berkepanjangan. Para Dadais akan menganggapnya sebagai pemberontakan ketika mereka mendeklarasikan anti kemapanan. Seni sebagai suatu pencapaian tersendiri, berhak lepas dari manusia. Dan Godard, meneruskannya dengan memisahkan manusia dari apa yang menghubungkan satu dan yang lainnya. Yang menimbulkan kesenjangan abu tadi, ia melebar dan memperjarak manusia dibawah ras binatang-binatang. Jika kesendirian manusia adalah akhir dari dunia, maka tak ada yang dapat dilakukan selain menjadi kanak-kanak, lagi, dan tentu hanya dapat dicapai dalam keniscayaan; sebuah kebebasan yang terbagi diantara kemanusiaan itu sendiri. Namun sepertinya, suku Apache telah mendapat ilham itu jauh sebelum kita, bahwa mereka melihat dunia diluar sana, sebagai hutan belantara, yang asing dan patut diasingkan. Dan peperangan, dan dongeng-dongeng hantu dihadirkan dalam wujud yang realistis apa adanya. Seperti Gabriel Garcia Marquez, melihatnya sebagai keabsolutan dunia, terwujud darinya untuk dan kepadanya. Ada alasan mengapa, realis magis lahir di negeri-negeri Amerika Selatan, sebab sebuah dunia terlahir dari penjarahan kata-kata dan perbudakan makna. Ia mensinyalir surrealitas dalam kemelut peperangan dan senjata, belum lagi kepada kartel-kartel narkotika yang menjalar hampir seluruh penjuru dunia menawarkan sebuah dunia yang mustahil dicapai manusia. Dunia dongeng yang dikendarai oleh peperangan, menghapuskan kemustahilan, mengawinkan keduanya dalam realitas yang absolut. Dan bila dinobatkan dalam lingkup kisah asmara, kebisuan setelah mereka adalah perselingkuhan seorang wanita yang bersembunyi dari suaminya yang entah kemana. Mencari makna, dalam selimut yang ia kenakan bersama pria asing diatas ranjang rumahnya, yang dalam hubungannya, memiliki kesetaraan dalam perasaan, dan rasa yang tak terjelaskan. Dunia feminin inilah yang dijadikan Godard sebagai contoh dalam penghabisan kata-kata diantara manusia, kebingungan atas dirinya dan keterasingan alam terhadapnya. Ia meranggas pada kebisuan, dan realitas air sungai yang menelanjangi alam di bawahnya. Dari hantu-hantu suara yang mendesir bengis mengiris telinga, dengan soundscape yang dibuat; seorang Mary Shelley menulis kisah horror dimasanya. Dan Van Gogh hadir dalam auto exposure dedaunan yang berkilau dan belantara yang ingin mengungkapkan dirinya pada kemanusiaan yang konon beradab tadi, dari ketimpangan warna, dan terganggunya batas diantara mereka, sebuah ekspresionisme yang tak dimaksudkan. Dimana wanita itu berusaha berkata pada kebajingan para binatang diluar sana, yang selalu dan menjadi satu-satunya makhluk yang dapat melihat bejatnya dunia, bahwa ada keterhubungan, ada keselarasan yang tak mampu disampaikan oleh kata-kata, selain dari makna. Ia akan tetap bisu seperti dalam permainan dadu dan imaji kanak-kanak yang dilihat karakter wanita sebagai metafor dunia yang berpisah-pisah. Dimana sebenarnya keselarasan ada, dan terlahir dalam wujud manusia, pada mulanya.